NovelToon NovelToon
Umbral

Umbral

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rudi Setyawan

Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 — Terseret Dalam Halusinasi

RAYAN mengernyitkan alisnya ketika melihat siluet mungil berkelebat ke ruang loker—dan sosoknya menghilang di balik pintu yang sedikit terbuka. Dia kaget bukan karena anak kecil itu muncul. Tapi karena sosok mungil itu ternyata memang ada. Nyaris secara refleks dia bergerak ke arah ruang loker.

Davin dan Tari menoleh kaget. “Bro, lo mau ke mana?”

“Ada anak kecil ke ruang loker,” sahut Rayan tanpa menoleh.

“Oh, shit!” keluh Davin pelan. “Bro, dia bukan….”

Dia tak melanjutkan kalimatnya ketika melihat Rayan meluncur cepat ke ruang loker. Dia bertukar pandang dengan Tari—tegang. Tanpa perlu dijelaskan mereka dapat menebak apa yang terjadi pada Rayan. Mereka bergegas mengejar langkah cowok itu.

Rayan setengah berlari melintasi tepi kolam anak-anak menuju ruang loker. Suara langkahnya bergema di bangunan terbuka itu.

“Bro, tunggu!” panggil Davin.

Tapi Rayan tak menoleh.

Begitu dia mendorong pintu ruang loker, udara di dalam terasa lebih dingin lagi. Cahaya matahari yang masuk lewat ventilasi menimbulkan gurat-gurat debu di udara. Dia celingukan mencari sosok mungil itu.

Davin dan Tari berhenti di balik punggungnya dengan napas sedikit terengah.

“Gue liat anak kecil itu masuk ke sini,” ujar Rayan pelan. “Dia ngintip kita. Aku mau tahu siapa anak itu.”

“Ray, di sini nggak ada siapa-siapa,” ujar Tari sambil menatap barisan loker berkarat yang memanjang ke belakang ruangan.

Namun dari sudut matanya, dia sempat menangkap sesuatu—gerakan cepat di ujung lorong loker. Seperti bayangan tubuh mungil yang menghilang di sudut gelap. Mungkin cuma pantulan cahaya, meskipun dia sendiri ragu dengan pikirannya.

Davin menatap mata sahabatnya. Dia makin yakin bahwa pikiran Rayan tidak berjalan normal. Tidak ada rasa takut dalam tatapan Rayan. Tidak ada ragu. Hanya rasa penasaran. Davin sendiri merasa kecut berada di ruang loker, teringat pada apa yang dialaminya bersama Tari kemarin. Tapi Rayan tidak.

Rayan melangkah lebih ke dalam, seakan-akan bau lembap dan dingin tembok berjamur tidak berpengaruh sama sekali bagi dirinya. Bibirnya bahkan menyunggingkan senyum tipis—seperti sedang menikmati permainan rahasia yang tak seorang pun mengerti.

“Lo nggak ngerasa apa-apa, Bro?” suara Davin nyaris tercekat.

Rayan berhenti sebentar, lalu menoleh dengan tatapan datar. “Apa yang harus gue rasain? Takut? Ini cuma ruang loker, Prof.”

Tari menelan ludah. Dia mengusap lengannya yang merinding. Tapi dia yakin bulu kuduknya berdiri hanya karena respons tubuhnya terhadap rasa takut dan cemas. Tidak ada siapa-siapa di ruang loker, kecuali mereka bertiga. Dia tidak ada merasakan “kehadiran” di sekitar mereka.

Dia terus berusaha mengendalikan kegugupannya. “Mana anak itu, Ray? Kamu udah melihatnya?”

“Dia ada di sini,” sahut Rayan. Dia mendekati salah satu loker yang pintunya setengah terbuka. Tangannya meraih gagang berkarat. Dia mendengar sesuatu—napas kecil yang tersengal, seperti ada yang berusaha menahan tangis. Begitu pintu logam berderit terbuka, matanya langsung membelalak.

Di sana, berjongkok seorang anak kecil. Tubuh mungilnya hanya dibalut pakaian renang yang basah kuyup, menempel dingin di kulit yang pucat. Rambutnya meneteskan air, dan kedua mata lebarnya menatap Rayan dengan panik.

“Hei, kenapa kamu di sini…?” bisiknya dengan nada seperti berusaha menenangkan anak itu.

Anak itu tidak menjawab. Dia hanya menggigil, lalu mengulurkan tangannya seolah meminta Rayan untuk mengikutinya.

Davin dan Tari tercekat ketika menyaksikan tingkah Rayan. Davin tiba-tiba waspada. Dia merasa seperti ada peringatan bahaya di dadanya. Dia harus melepaskan sahabatnya dari halusinasi anak kecil akibat terpapar energi Umbral. Dia tahu, dia yakin, ilusi yang tertanam di kepala Rayan adalah buatan entitas nonfisik itu.

Rayan menegakkan tubuh, lalu melangkah tanpa ragu. Dia melihat loker-loker lenyap berganti dengan cahaya kolam renang yang ramai.

“Gila, rame banget di sini,” ujarnya dengan tawa kecil. Langkahnya makin cepat menuju pintu ruang loker.

Davin dan Tari kembali bertukar pandang. Di depan mereka, hanya ada lorong loker yang lengang dan kotor. Tidak ada anak kecil. Tidak ada suara tawa. Tidak ada percikan air. Tidak ada keramaian. Tidak ada apa-apa—kecuali suasana ruang loker yang beku dan mati.

Begitu tiba di luar, Rayan menoleh kanan-kiri dengan wajah berbinar seolah benar-benar sedang berada di tengah keramaian. Dia melihat keluarga-keluarga sedang duduk di tribun. Suara tawa dan jeritan riang anak-anak, teriakan peluit penjaga kolam, dan cipratan air yang hanya bisa dia dengar membuat matanya berkilat. Suasana seperti siang hari yang begitu hidup.

Davin langsung melempar ranselnya ke tangan Tari.

Refleks Tari mengangkat ponselnya untuk merekam gerak-gerik Rayan. Seperti Davin, dia juga melihat Rayan seperti dituntun menuju bahaya. Dia tidak punya tenaga untuk menahan langkah Rayan. Sekali dorong saja, tubuh mungilnya pasti terpelanting.

Davin merendengi langkah sahabatnya. Dia berusaha tetap tenang. Dia tahu langkah Rayan mau menuju ke mana. Dia yakin Rayan akan terjun ke kolam dalam apabila tak dicegahnya. Dia sudah siap mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencegah Rayan sebelum sahabatnya terjun ke kolam dalam yang kering.

“Lo mau ke mana, Bro?” tanyanya dengan nada santai.

“Gue mau berenang sebentar, Prof,” sahut Rayan sambil melepaskan jaket kulitnya. Dia terus melangkah menuju kolam dalam yang retak-retak. “Anak itu minta ditemanin….”

Davin memegang lengan sahabatnya. “Kolam itu kering, Bro.”

Rayan tertawa. “Lo jangan ngaco, Prof. Lo nggak liat? Airnya jernih banget, sumpah!”

Davin makin keras mencengkeram lengannya. “Berhenti, Bro! Kolam itu kering! Lo mau mati, hah!”

“Lepasin!” geram Rayan meronta. Wajahnya merah padam. Dia melihat anak kecil itu berlari lincah ke tepi kolam dalam. Kepala mungil itu menoleh padanya sebentar sambil tersenyum samar, lalu dia melompat tanpa suara—tenggelam di permukaan air yang tampak berkilau di bawah cahaya matahari siang.

Dia menepis tangan Davin dengan kasar. Dorongannya membuat Davin sampai terhuyung—dan nyaris terpeleset di kolam anak-anak.

“Jangan halangin gue, Prof! Gue harus nemanin anak itu!”

“Bro, anak itu nggak ada!” balas Davin setengah berteriak. Dia tak akan melepaskan cengkeramannya di lengan Rayan. “Itu cuma halusinasi! Kalau lo terjun ke kolam itu, lo bakal patah tulang, ngerti nggak? Patah leher!”

“Patah leher apaan?” Rayan balas berteriak. “Lepasin gue, Prof! Anak itu butuh gue! Dia nggak boleh berenang sendirian di situ!”

Davin mengunci tubuh Rayan dari belakang. Tidak ada cara lain. Untung tubuhnya seimbang dengan tubuh jangkung Rayan. Dengan sekuat tenaga dia menarik sahabatnya untuk berhenti. Otot lengannya menegang. Dadanya terasa sesak.

Tidak dapat dihindari, mereka bergumul di tepi kolam anak-anak. Rayan terus memberontak. Dia menendang-nendang lantai keramik yang kotor dan licin. Napasnya memburu. Matanya liar seakan melihat dunia yang sama sekali berbeda.

Namun kuncian tangan Davin membuat semua upayanya sia-sia.

“Bro, liat baik-baik kolam itu!” Davin terus berusaha menggoyahkan ilusi sahabatnya. “Kolamnya kering! Nggak ada air—nggak ada orang! Kalau lo lompat ke situ, lo pasti mati konyol!”

Rayan masih beringas untuk menyingkirkan cengkeraman Davin. Namun tenaganya mulai terkuras. Perlahan kesadaran mengikis ilusinya. Dia tidak berontak lagi. Dia seolah baru keluar dari mimpi buruk yang begitu nyata.

“Prof, kenapa lo melukin gue?” gerutunya sambil membebaskan tubuhnya dari kuncian Davin. “Gila! Untung nggak ada orang di sini!”

Davin menghembuskan napas dengan keras. Dia masih terduduk lemas di tepi kolam. Napasnya memburu dan keringatnya bercucuran, meskipun udara di area kolam dingin dan lembap. Dia bergetar bukan hanya karena tenaga yang terkuras, tapi juga karena ketakutan membayangkan apa yang barusan hampir terjadi.

Rayan mengedarkan pandangannya ke sekeliling kolam dengan bingung. Sekelumit bayangan masih membekas di kepalanya—sosok mungil yang berlari ke kolam dalam, kerumunan orang di tribun, anak-anak bermain air sambil menjerit riang di kolam dangkal.

Bulu kuduknya begitu saja meremang. Gila, apa gue tadi beneran mau terjun ke kolam kering itu?

Tari menatap mereka bergantian dengan nanar, seakan tak percaya betapa tipisnya batas hidup-mati barusan. Jantungnya berdentam. Telapak tangannya dingin. Rasa merindingnya makin menjadi-jadi karena kejadian tadi membuat dia sadar: mereka sedang diincar sesuatu yang bukan sekedar halusinasi biasa. Namun mereka bertiga seperti digiring menuju ke kematian….

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!