Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Lira berusaha fokus mengunyah, meski setiap gigitan terasa bagai batu di mulutnya. Yash masih duduk terlalu dekat, tatapannya seolah menelanjangi setiap ekspresi di wajah gadis itu.
Tanpa permisi, Yash mengangkat tangan dan menyelipkan helai rambut Lira yang jatuh di pipinya. Sentuhan itu ringan, namun cukup untuk membuat Lira menegang.
“Jangan menyentuhku,” desis Lira, berusaha menahan diri.
Tapi Yash hanya tersenyum tipis. Jari-jari panjangnya lalu bergeser menyusuri rahang Lira, berhenti tepat di dagunya. Dengan tekanan lembut tapi tegas, ia mengangkat wajah Lira agar menatap matanya.
“Aku bilang jangan menyentuhku!” Lira menepis tangannya, tapi Yash tidak bergeming, malah menunduk lebih dekat. Napasnya hangat menyapu kulit Lira, membuat gadis itu semakin gelisah.
“Kenapa harus menolak kalau matamu jelas-jelas bergetar seperti itu?” bisik Yash, penuh provokasi.
Lira menahan napas, kedua tangannya mengepal erat di pangkuan. Tubuhnya bergetar menahan marah, tapi Yash tampak menikmati setiap detik dari reaksi itu. Ia semakin mendekat, bibirnya hanya sejengkal dari pipi Lira.
Cukup sudah.
Lira tiba-tiba meraih gelas berisi air di meja dan tanpa pikir panjang, menyiramkan isinya tepat ke wajah Yash.
Air dingin membasahi wajah dan rambut pria itu, menetes ke kemeja hitamnya. Untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Yash terdiam, matanya terpejam, rahangnya menegang.
Lira menatapnya dengan dada naik-turun, air mata hampir pecah lagi, namun kali ini penuh amarah. “Itu karena aku muak denganmu, Yash! Kau pikir aku mainanmu?!”
Perlahan, Yash membuka matanya. Tatapannya kini jauh lebih gelap, senyumnya menghilang. Air masih menetes dari dagunya, tapi yang lebih menusuk adalah kilatan bahaya di sorot matanya.
Ia mengusap wajahnya dengan tangan, lalu menunduk, tertawa lirih—dingin, tanpa humor. “Berani sekali kau, Lira…”
Yash perlahan bangkit dari kursinya, tubuh tingginya menjulang menutupi Lira yang masih duduk. Air menetes dari dagu dan kemejanya, tapi ekspresinya tidak lagi santai—mata hitamnya kini menyala dengan amarah yang terpendam.
Lira refleks bersandar ke belakang, kursinya hampir terjungkal. Namun Yash menahan sandaran kursi itu dengan satu tangan, membuatnya terkunci di tempat.
Dengan suara rendah tapi tajam, Yash menunduk hingga wajahnya dekat sekali dengan Lira. “Kau ingin… aku menciummu lagi seperti kemarin?” ucapnya lirih, penuh ancaman.
Lira membelalak, napasnya tercekat. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan getar tubuhnya. “Jangan dekat-dekat aku,” bisiknya, tapi suaranya lemah.
Yash tersenyum tipis—senyum yang lebih menyeramkan daripada tatapan marahnya barusan. “Kalau begitu… jangan pancing aku, Lira. Kau pikir aku tidak bisa menahan diri? Kau salah besar. Aku bisa menahan diriku untuk tidak menyakitimu, tapi kau sendiri yang membuatku ingin melanggar batas itu.”
Tangannya bergerak, menahan dagu Lira agar tetap menatapnya. “Ingat… sekali lagi kau berani melawanku seperti tadi, aku tidak akan sekadar membiarkanmu menyiramku dengan air. Aku akan membungkam mulutmu dengan caraku sendiri.”
Lira terdiam, air matanya mulai berkumpul. Ketegangan di udara begitu pekat, hingga ia merasa seakan sulit bernapas.
Namun setelah beberapa detik, Yash melepaskan dagunya dengan kasar, lalu melangkah mundur sambil mendengus pendek. “Makanlah. Atau kau ingin aku benar-benar menunjukkan maksudku?”
“Sialan,” gumam Lira sambil menunduk, jemarinya meremas sendok. Ia mulai menyendok makanan dengan cepat, seperti ingin segera menyingkir dari meja itu.
Yash yang duduk santai di hadapannya menelengkan kepala. “Aku mendengarnya,” ucapnya pelan tapi tajam.
Lira mendongak, menatapnya dengan mata penuh bara. “Yash sialan.”
Alih-alih marah, Yash justru tertawa rendah, suaranya bergema di ruang makan. “Hahaha… manis sekali kalau keluar dari mulutmu.”
“Bodoh,” desis Lira, lalu ia menaruh sendok dengan suara berdentang di atas meja. Ia menunjuk piring yang kini kosong. “Lihat, aku sudah habiskan makananku. Sekarang biarkan aku pergi.”
Kedua alis Yash terangkat sedikit. “Pergi kemana?” tanyanya ringan, meski tatapan matanya menusuk dalam.
“Aku mau pulang, Yash!” seru Lira dengan nada nyaris pecah. “Ke apartemenku! Tempatku. Bukan di sini.”
Yash terdiam sejenak, lalu berdiri perlahan. Tubuhnya mendekat, bayangannya jatuh panjang di atas tubuh Lira yang masih duduk. Ia membungkuk, bibirnya begitu dekat di telinga Lira hingga napas panasnya terasa.
“Tidak, Lira,” bisiknya rendah, dingin sekaligus penuh kepastian. “Tidak akan pernah. Mulai sekarang… rumah ini adalah rumahmu juga.”
Lira membeku. Napasnya tercekat, matanya membelalak. “Kau gila…” suaranya hampir tak terdengar.
Yash tersenyum tipis, lalu dengan enteng menegakkan tubuhnya kembali. “Kalau itu definisi gilaku, maka biarlah. Karena aku tidak akan membiarkanmu kembali ke dunia luar. Tidak selagi mereka masih mengejarmu. Dan…” ia berhenti, matanya menyapu wajah Lira, “…tidak selagi aku masih menginginkanmu di sini.”
Lira mengepalkan tangan di pangkuannya, hatinya berkecamuk antara marah, takut, dan perasaan asing yang tak mau ia akui.
...
Langit malam menekan bumi dengan awan hitam pekat. Di kejauhan, kastil batu hitam menjulang di atas tebing, seperti monster purba yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Lentera-lentera api biru berkelip di sepanjang koridor, bayangannya menari di dinding yang penuh pahatan kuno.
Di aula utama, ribuan lilin hitam menyala dengan lidah api yang bergerak tak wajar—kadang menyala ke bawah, kadang menyamping, seakan menolak hukum dunia. Aula itu dipenuhi makhluk-makhluk aneh: roh-roh berwajah retak, tubuh transparan yang dipenuhi cahaya merah darah; makhluk kecil berwujud bayangan dengan mata kuning berkilat; hingga siluet-siluet hitam yang hanya berwujud kabut namun bernafas berat seperti binatang buas.
Di singgasana paling tinggi, Lysander duduk. Tubuhnya tegap, mengenakan mantel panjang berwarna kelam dengan ornamen perak yang berkilau samar. Mata hitamnya yang dalam menyorot tajam ke arah kerumunan. Saat ia berdiri, suasana mendadak hening.
“Wahai para roh…” suaranya dalam, bergema hingga ke dinding-dinding tinggi aula. “Kalian semua sudah merasakan apa yang terjadi kemarin.” Ia mengangkat tangan, dan seberkas cahaya putih keperakan muncul di telapak tangannya—sekilas mirip dengan cahaya yang muncul dari tubuh Lira. Aura itu berdenyut, membuat banyak makhluk berdesis haus.
“Cahaya itu,” Lysander menekankan kata-katanya, “sudah mulai mengeluarkan kekuatannya. Jika ia berhasil menguncinya… gerbang antara dunia kita dan dunia manusia akan tertutup. Kalian tahu apa artinya itu. Kita akan terpenjara… selamanya.”
Riuh rendah suara roh terdengar, beberapa meraung marah, beberapa mendesis. Lysander mengangkat tangan sekali lagi, dan semuanya terdiam.
“Maka, kita tidak punya pilihan selain menghabisi gadis itu sebelum ia berhasil. Siapa pun di antara kalian…” ia menyapu pandangan ke seluruh aula, “…yang mampu membunuhnya, berhak mengambil Cahaya Abadi itu sebagai miliknya.”
Sorak ganas bergema. Beberapa makhluk bertepuk tangan dengan kuku panjang berdarah, yang lain menjilat udara dengan lidah bercabang. Mereka tampak lapar, haus, dan penuh nafsu.
Lysander hanya tersenyum tipis, lalu duduk kembali di singgasananya, membiarkan bayangan hitam di belakangnya berdenyut seperti sayap iblis.
Lysander menyandarkan tubuhnya ke singgasana, jemari panjangnya mengetuk perlahan sandaran tangan yang terbuat dari obsidian. Senyum samar muncul di wajahnya, bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang dingin, penuh ejekan.
Tatapan matanya berkilat tajam, lalu ia mengepalkan tangan hingga percikan cahaya putih yang tadi ditampilkannya hancur menjadi serpihan hitam, seakan menodai kemurniannya. Roh-roh di hadapannya meraung lagi, haus akan darah, haus akan cahaya.
Lysander hanya menegakkan punggungnya dan menatap mereka dengan tatapan seorang penguasa mutlak.
“Berburu sudah dimulai,” ucapnya pelan, penuh keyakinan.
Dengan satu ayunan tangannya, Lysander memberi isyarat. Pintu-pintu raksasa kastil itu berderit terbuka, memuntahkan cahaya merah pekat yang menyorot ke arah aula. Dari sana, derap langkah dan suara mendesis mulai terdengar.
Para roh-roh berwujud kabut hitam melayang keluar, tubuh mereka bergoyang seperti asap yang mencari mangsa. Makhluk-makhluk buas berkuku tajam mengaum, menancapkan cakar ke lantai batu hingga meninggalkan jejak dalam. Ada yang bersayap, ada yang merayap di dinding, bahkan ada yang berjalan dengan empat tangan, seluruhnya haus akan satu hal—cahaya abadi dalam diri Lira.
Langkah mereka bergema, keras, beringas.
Jeritan nyaring terdengar dari makhluk bermulut banyak, disambut oleh sorak liar para roh yang seolah tak sabar menelan jiwa.
"Kita lihat yash apa kali ini, kau bisa melindungi gadismu" gumam Lysander lirih. Seringai mengerikan terlukis di bibirnya.