di dunia zentaria, ada sebuah kekaisaran yang berdiri megah di benua Laurentia, kekaisaran terbesar memimpin penuh Banua tersebut.
tapi hingga pada akhirnya takdir pun merubah segalanya, pada saat malam hari menjelang fajar kekaisaran tersebut runtuh dan hanya menyisakan puing-puing bangunan.
Kenzie Laurent dan adiknya Reinzie Laurent terpaksa harus berpisah demi keamanan mereka untuk menghindar dari kejaran dari seorang penghianat bernama Zarco.
hingga pada akhirnya takdir pun merubah segalanya, kedua pangeran itu memiliki jalan mereka masing-masing.
> dunia tidak kehilangan harapan dan cahaya, melainkan kegelapan itu sendiri lah kekurangan terangnya <
> "Di dunia yang hanya menghormati kekuatan, kasih sayang bisa menjadi kutukan, dan takdir… bisa jadi pedang yang menebas keluarga sendiri <.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGENALI LINGKUNGAN SEKTE
Pengumuman resmi telah berakhir.
Kerumunan di halaman utama Sekte Gunung Langit perlahan mencair, meninggalkan gema bisikan, rasa iri, dan ketegangan yang belum sepenuhnya hilang. Beberapa murid baru tampak bersemangat, sebagian lain murung, sementara para murid lama kembali ke rutinitas seolah tak terjadi apa-apa.
Kenzie berdiri agak terpisah.
Jubah murid dalam yang kini melekat di tubuhnya terasa… asing. Bukan karena berat kainnya, melainkan karena jarak tak kasatmata yang tercipta di sekelilingnya. Tatapan yang tertuju padanya berbeda—lebih tajam, lebih berhati-hati.
Rava mendekat lebih dulu, diikuti Liera dan Ryujin.
“Jadi…” Rava menggaruk pipinya sambil tersenyum kaku, “kau langsung naik kelas, ya.”
Kenzie mengangguk pelan. “Sepertinya begitu.”
Liera menatap jubah Kenzie, lalu menghela napas kecil. “Rasanya aneh. Kita baru masuk, tapi sudah dipisahkan.”
“Setidaknya dipisahkan secara resmi,” sahut Ryujin santai. “Bukan karena diusir.”
Rava menoleh. “Kau selalu melihat sisi terang, ya?”
“Tentu,” jawab Ryujin tanpa ragu. “Kalau tidak, hidup ini terlalu serius.”
Kenzie melirik Ryujin sekilas. Ia masih belum sepenuhnya memahami pria itu—muncul tiba-tiba saat pendaftaran, berbicara seolah sudah mengenal semua orang, tapi matanya… selalu mengamati.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya Ryujin tiba-tiba pada Kenzie.
“Mengenali lingkungan sekte,” jawab Kenzie jujur. “Setidaknya tahu di mana aku berpijak.”
Ryujin tersenyum lebar. “Kalau begitu, kami ikut.”
Rava mengernyit. “Bukankah kita murid luar?.. Memasuki area murid dalam—bukannya sedikit...”
“Kita tidak masuk asrama murid dalam,” potong Ryujin. “Kita hanya jalan-jalan. Kaki tidak punya status.”
Liera menahan tawa. “Itu logika yang aneh… tapi masuk akal.”
Kenzie mengangguk. “Tidak masalah. Selama tidak melanggar aturan.”
Mereka mulai berjalan menyusuri jalur batu yang membelah kompleks sekte. Bangunan-bangunan menjulang dengan arsitektur kuno, paviliun latihan terbuka, menara observasi, dan taman meditasi yang sunyi.
Beberapa murid dalam melintas dan menatap Kenzie dengan ekspresi beragam.
Ryujin mendekat ke Rava dan berbisik, “Hei, kau sadar tidak? Sejak tadi mereka menatap Kenzie seperti melihat senjata berjalan.”
Rava berbisik balik, “Dan kau menatapnya seperti ingin ikut pegang senjata itu.”
Ryujin terkekeh. “Aku hanya suka hal yang tidak biasa.”
Mereka berjalan hingga masuk are murid luar dan melewati lapangan latihan murid luar. Beberapa kelompok sedang berlatih dasar pernapasan dan gerakan pedang. Ryujin berhenti sejenak, mengamati.
“Terlalu kaku,” komentarnya.
Rava melirik. “Kau memang jago?”
“Tidak,” jawab Ryujin cepat. “Tapi aku jago menilai gerakan seseorang.”
Seolah dikutuk oleh ucapannya, seorang murid terpeleset dan jatuh terduduk.
Tawa kecil pecah di sekitar mereka.
Rava menatap Ryujin dengan wajah datar. “Kau ini pembawa sial atau peramal?”
"Insting bertahan hidup,” jawab Ryujin bangga.
Liera tertawa, menutup mulutnya. Bahkan Kenzie tak bisa menahan senyum tipis.
Saat mereka melanjutkan perjalanan ke area yang lebih tenang, sebuah suara pria terdengar dari sisi jalur.
“Kelompok murid baru?”
Seorang pria berdiri di bawah bayangan pohon pinus tua. Jubahnya abu-abu tua—tanda murid luar lama. Rambut cokelatnya diikat longgar, wajahnya menampakkan bekas luka tipis di pelipis, memberi kesan petualang berpengalaman.
“Aku Alaric Veyron,” katanya sambil mengangguk singkat. “Murid luar… cukup lama.”
Matanya menatap Kenzie sejenak, lalu beralih ke yang lain. “Yang ini murid dalam,” ucapnya tenang. “Dan kalian… murid luar baru.”
Ryujin mengangkat alis. “Cepat juga kamu menilainya.”
Alaric tersenyum tipis. “Pengalaman murid lama”
Rava membungkuk sopan. “Kami sedang mengenali lingkungan sekte.”
“Bagus,” jawab Alaric. “Sebagian besar murid luar menghabiskan minggu pertama hanya tersesat.”
“Dan minggu kedua menyadari mereka tersesat,” tambah Ryujin.
Alaric tertawa kecil. “Benar.”
Ia menatap Rava, Liera, dan Ryujin lebih serius. “Jika kalian mau, aku bisa menunjukkan area-area penting untuk murid luar. Jalur latihan, tempat makan yang layak, dan tempat yang sebaiknya dihindari.”
“Diindari?” tanya Liera.
“Ya. Terutama jika kalian tidak ingin berurusan dengan murid dalam elit.”
Ryujin melirik Kenzie. “Terlambat. Kita telah menarik perhatian mereka”
Kenzie menghela napas pelan. “Aku akan berjalan sendiri dan di jalurku sendiri.”
Alaric mengangguk menghormati. “Dan itu bijak. Aku sangat menghormatinya”
Ia kembali menatap murid luar. “Aku tidak akan mencampuri urusan murid dalam. Tapi untuk kalian—aku bisa jadi mentor sementara.”
Rava menoleh pada Liera, lalu Ryujin. Mereka mengangguk.
“Kalau begitu,” kata Ryujin ceria, “aku setuju. Selama kau tahu tempat makan yang tidak membuat perut memberontak.”
Alaric tersenyum lebar. “Ikuti aku. Dan selamat datang di Sekte Gunung Langit.”
Kenzie berhenti sejenak, memandang mereka berjalan menjauh bersama Alaric.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan jarak antara jalur yang ia tempuh… dan jalur teman-temannya.
Namun ia tahu satu hal— Perjalanan mereka baru saja dimulai.
Dan jalur itu, cepat atau lambat, akan kembali bersinggungan.
Langkah kaki mereka menjauh, suara percakapan perlahan memudar di antara pepohonan pinus dan bangunan batu.
Kenzie tetap berdiri di tempatnya beberapa detik lebih lama.
Ia tidak menoleh saat tawa kecil Ryujin kembali terdengar di kejauhan, atau ketika suara Rava terdengar sedikit gugup menanyakan sesuatu pada Alaric. Ia hanya menghela napas pelan, lalu berbalik ke arah berlawanan.
Menuju area murid dalam.
Jalur batu di sisi ini lebih sempit namun rapi. Pilar-pilar tinggi berukir simbol qi menjulang di kiri kanan, memancarkan tekanan halus yang hampir tak terasa—namun konstan. Udara di sini lebih tenang, lebih berat, seolah setiap napas harus dilakukan dengan kesadaran penuh.
Beberapa murid dalam melintas.
Tidak ada sapaan.
Tidak ada ejekan.
Hanya tatapan singkat—menilai, menimbang, lalu berlalu.
Kenzie menyadari sesuatu:
di tempat ini, keheningan bukan tanda damai, melainkan seleksi.
Ia melewati sebuah paviliun meditasi. Di dalamnya, beberapa murid duduk bersila, qi mereka berputar perlahan, stabil, terkontrol. Tidak satu pun membuka mata saat Kenzie lewat, namun tekanan qi mereka sedikit berubah—seolah merespons keberadaannya.
Ia berhenti sejenak.
Menutup mata.
Menahan napas.
Resonansi energi Ki di dalam tubuhnya bergetar samar, lalu mereda saat ia menenangkan diri. Arvendel pernah berkata: kekuatan yang tidak dikendalikan adalah undangan bagi masalah.
Kenzie membuka mata kembali.
“Ini jalurku sekarang,” gumamnya pelan.
Ia melanjutkan langkah menuju kompleks asrama murid dalam. Bangunan-bangunan di sana lebih sedikit, lebih luas, dan dijaga formasi Ki halus yang hampir tak terlihat. Setiap langkah terasa seperti ujian tak tertulis—bukan untuk kekuatan, tapi untuk keteguhan.
Dan awal dari sesuatu yang jauh lebih berat.
Kenzie berhenti di depan pintu kayu asramanya. Tangannya terangkat, lalu berhenti di udara sejenak. Ia teringat Rava, Liera, dan Ryujin—jalur mereka yang berbeda, tawa yang masih bisa mereka bagi bersama.
Ia menurunkan tangannya.
Bukan keraguan.
Melainkan penerimaan.
Ia mendorong pintu dan melangkah masuk.
Di baliknya, Sekte Gunung Langit tetap berdiri megah dan sunyi— menyimpan takdir, konflik, dan jalan-jalan yang suatu hari akan kembali bertemu.
......................
Ruangan asrama murid dalam sunyi.
Satu ruangan, satu ranjang kayu sederhana, satu meja rendah, dan rak kecil untuk senjata. Tidak ada hiasan. Tidak ada kenyamanan berlebihan. Segalanya dirancang untuk satu tujuan—disiplin.
Kenzie menutup pintu di belakangnya.
Formasi Ki tipis aktif saat pintu tertutup, menyegel ruang dari kebisingan luar. Ia merasakan tekanan lembut itu menyentuh kulitnya, menguji kestabilan aliran energinya sebelum akhirnya mengendap.
“Jadi beginilah,” gumamnya pelan.
Ia meletakkan pedang di buat vargan di rak, melepas jubah luar, lalu duduk bersila di tengah ruangan. Tidak langsung bermeditasi—ia hanya duduk, membiarkan pikirannya tenang dengan sendirinya.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama.
Dari luar, samar-samar terdengar suara langkah berhenti di depan asrama sebelah. Suara rendah, teredam, namun cukup jelas bagi inderanya yang terlatih.
“…itu dia.”
“Yang menghancurkan Tugu Batu Sihir?”
“Ya. Murid baru.”
“Hmph. Naik kelas tanpa proses.”
Suara langkah menjauh.
Kenzie membuka mata.
Ia tidak marah. Tidak pula terkejut.
Ia sudah menduganya.
Di Sekte Gunung Langit, status bukan ditentukan oleh asal—melainkan oleh legitimasi yang diakui. Dan legitimasi seperti miliknya… selalu mengundang pertanyaan.
Ia berdiri, mengenakan kembali jubah murid dalam, lalu keluar dari asrama.
Langit mulai berubah warna. Senja turun perlahan, cahaya keemasan memantul di puncak menara dan paviliun. Area latihan murid dalam mulai ramai—bukan oleh keributan, melainkan oleh konsentrasi yang pekat.
Kenzie berjalan ke salah satu lapangan kosong di sisi timur.
Lapangan itu dikelilingi pilar batu dengan ukiran formasi dasar. Tanahnya padat, bekas pijakan latihan bertahun-tahun. Di sini, tidak ada murid luar.
Ia berdiri di tengah.
Menarik napas.
Menghembuskannya perlahan.
Ia mulai dengan gerakan dasar—sederhana, efisien, tanpa gaya. Pedang yang dibuatkan oleh vargan bergerak mengikuti napasnya, setiap ayunan stabil, setiap langkah terukur.
Namun…
Tekanan muncul.
Bukan dari tanah. Bukan dari udara.
Melainkan dari tatapan.
Beberapa murid dalam berhenti berlatih, memperhatikan dari kejauhan. Tidak ada yang mendekat, tidak ada yang mengganggu—namun Ki mereka perlahan menegang, membentuk semacam lingkaran tak kasatmata.
Sebuah pengamatan kolektif.
Kenzie menyadarinya, tapi tidak berhenti.
Ia memperlambat gerakan.
Menajamkan kontrol.
Resonansi energi Ki di dalam dirinya bergetar, ingin keluar, namun ia menekannya. Ia hanya menggunakan kekuatan yang “diizinkan”—cukup untuk berlatih, tidak cukup untuk memprovokasi.
Seseorang berdecak pelan.
“Menarik,” suara itu terdengar dari balik pilar.
Seorang murid dalam berdiri dengan tangan terlipat. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam. Jubahnya bersulam garis perak tipis—tanda murid dalam tingkat menengah.
“Kau menahan diri,” katanya. “Atau kau tidak mampu?”
Kenzie menghentikan pedangnya.
Ia menoleh perlahan.
“Aku memilih, menahan diri” jawabnya tenang.
Beberapa murid lain saling pandang.
Murid itu menyipitkan mata, lalu tersenyum tipis—bukan ramah, melainkan tertarik. “Pilihan juga punya harga.”
“Aku tahu.”
Keheningan kembali jatuh.
Murid itu tidak melanjutkan, hanya berbalik dan pergi. Namun sebelum benar-benar menjauh, ia berkata tanpa menoleh, “Latihan murid dalam dimulai besok pagi. Jangan terlambat, murid baru.”
Kenzie mengangguk tipis.
Saat senja berubah menjadi malam, satu hal menjadi jelas baginya— Di jalur murid dalam, tidak ada teman. Tidak ada perlindungan.
Hanya kemampuan untuk bertahan… dan kekuatan untuk membuktikan diri..