Tes Tes Tes
Air mata Airin tertahankan lagi ketika mendapatkan tudingan yang begitu menyakitkan dari sang ayah.
Bahkan pipinya memerah, di tampar pria yang begitu dia harapkan menjadi tempat berlindung, hanya karena dia mengatakan ibunya telah dicekik oleh wanita yang sedang menangis sambil merangkulnya itu.
Dugh
"Maafkan aku nona, aku tidak sengaja"
Airin mengangguk paham dan memberikan sedikit senyum pada pria yang meminta maaf padanya barusan. Airin menghela nafas dan kembali menoleh ke arah jendela. Dia akan pulang, kembali ke ayah yang telah mengusirnya tiga tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Tebal Telinga, Mata Dan Hati
Airin keluar dari ruangan Samuel, sepertinya dia berhasil membuat dirinya menjadi asisten pribadi Samuel. Pria dingin dan galak itu meminta Billy menjelaskan apa saja pekerjaan yang harus dilakukan oleh Airin dan menyiapkan ruangan untuk Anna.
Karena memang hanya ada dua ruangan di lantai 17. Dan itu memang instruksi dari Samuel. Maka Airin pun ditempatkan di ruangan yang sama dengan Billy.
Dengan cepat, sebuah meja kerja sudah ada di ruangan Billy.
"Ini semua catatan apa yang disukai dan tidak disukai oleh tuan. Lalu..." Billy mulai memikirkan lagi, apa yang harus dia beritahu pada Samuel.
Karena Samuel mengatakan, jangan memberikan dia pekerjaan yang sedang berjalan. Samuel sepertinya masih meragukan kemampuan Airin.
"Baiklah, aku akan pelajari dalam setengah jam" kata Airin sangat bersemangat.
Sebenarnya Billy cukup senang dengan semangat yang dimiliki Airin itu.
"Oh ya, tuan Billy. Apa kamu juga yang menyiapkan makan siang untuk paman?" tanya Airin.
"Benar"
"Karena tuan Billy sangat sibuk, bagaimana kalau pekerjaan itu berikan saja padaku. Aku yang akan melakukan reservasi, tuan Billy tinggal datang saja bersama paman kesana..."
Airin menjeda ucapannya, sekarang dia sudah menjadi asisten pribadi Samuel. Sepertinya kata paman tidak pantas lagi di ucapkan di kantor.
"Oh ya, tuan Billy. Apa menurutmu aku harus mengganti panggilan untuk paman?" tanya Airin.
Billy sebenarnya ingin berkata iya. Memang agak kurang pantas rasanya kalau di perusahaan, Airin terus memanggil Samuel paman. Tapi, dia juga khawatir kalau karena sarannya ini. Samuel malah tidak senang. Karena dari kaca matanya, Samuel sepertinya punya perhatian lebih pada Airin.
"Itu... itu terserah nona Airin saja"
"Tuan Billy, kalau begitu jangan panggil aku nona. Panggil saja Airin, aku adalah juniormu. Kamu adalah seniorku, aku akan memanggilmu senior" kata Airin yang terlihat begitu antusias dan bersemangat.
Billy tersenyum dan agak bersuara. Dia belum pernah melihat ada wanita yang tidak takut sama sekali, atau cari muka, atau berpura-pura jaim di depan bosnya. Menurutnya Airin sungguh memperlihatkan apa adanya dirinya. Ceria dan penuh semangat.
"Baiklah, aku akan memanggilmu Airin. Dan kamu bisa panggil aku senior"
"Siap senior!" kata Airin yang kembali sangat bersemangat dan memberikan sikap hormat seperti hormat pada tiang pengibaran bendera.
Bukan hanya omong kosong saja, Airin benar-benar menghafalkan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Samuel. Baik itu dari segi makanan, minuman. Tempat meeting, restoran, warna pakaian, aroma parfum, bahkan sampai ke furniture, jenis lukisan dan juga segala macamnya.
Billy sungguh terkesan. Dan semakin respect pada Airin. Kenyataannya memang dia tidak hanya mengandalkan koneksi, tapi juga punya kemampuan.
Sedangkan Billy sibuk mengajarkan banyak hal pekerjaan pada Airin. Di ruangannya, Samuel malah tampak gelisah.
Pria itu sudah dua kali berdiri di depan dinding kaca kantornya itu. Juga sudah tiga kali membalik, membuka, menutup halaman buku yang sama di rak buku yang ada di ruangan itu. Bahkan sudah enam kali, duduk berdiri, duduk berdiri lagi.
Arah pandangannya ke arah jam dinding besar yang terpajang di dinding ruangannya itu. Sudah hampir tiga jam sejak terakhir kali Airin meninggalkan ruangan ini. Dan sama sekali belum datang lagi, Billy juga sama sekali tidak melaporkan apapun.
Mau pegang gagang telepon, rasanya Samuel enggan sekali. Kenapa dia harus memanggil mereka. Memang yang butuh kedua orang itu siapa. Saat dia mau memegang gagang telepon. Yang terpikirkan adalah hal itu, jadi dia mengurungkan niatnya. Padahal, dia penasaran sekali. Apa yang dilakukan oleh Airin dan Billy, kenapa menjelaskan pekerjaan saja lama sekali seperti itu.
Tapi dia malah merasa sangat tidak senang. Dia juga heran, kenapa seperti itu. Selama ini dia tidak pernah merasakan perasaan seperti itu. Pikirannya hanya pada pekerjaan, dan pada penyembuhan penyakit yang kata beberapa dokter ahli di luar negeri tempat dia berobat, hanya masalah psikologis saja.
Selain itu, Samuel adalah orang yang sangat datar. Bahkan pertunangannya dengan Vivi, bisa terjadi atas inisiatif orang tuanya yang memang menjadi target cari perhatian Vivi selama dua tahun, hingga satu tahun yang lalu. Karena usia Samuel memang sudah 29 tahun, tanpa ada riwayat berpacaran. Orang tuanya memutuskan untuk mencarikan tunangan untuk Samuel. Saat itu, orang yang sedang tangguh mengejar Samuel adalah Vivi. Dia seorang dokter, adik ipar pengusaha ternama. Pelukis terkenal, dan rajin sekali ikut acara amal. Kandidat yang sangat cocok menurut kedua orang tua Samuel.
Hingga terjadilah pertunangan itu. Sedangkan Samuel sendiri memang tidak punya perasaan apapun pada Vivi. Pikirnya, yang namanya perasaan akan muncul seiring waktu bersama. Seperti yang sering orang-orang katakan. Nyatanya tidak. Sudah satu tahun bertunangan, Samuel bahkan sama sekali tidak ada keinginan untuk menggandeng tangan Vivi, apalagi menciumnya.
Meski maju mundur, dan antara enggan juga gengsi. Pada akhirnya Samuel merasa tidak tahan lagi. Dia penasaran sekali, apa yang sedang dilakukan oleh Airin dan Billy.
Samuel duduk di kursinya, lalu membuka laptopnya. Dia melakukan panggilan video dengan Billy.
"Ya tuan!"
"Apa dia sangat bebal, sampai butuh waktu begitu lama mengajarinya?" tanya Samuel dengan seenaknya.
Billy terlihat tidak enak. Karena sebenarnya Airin sedang ada di sampingnya.
Begitu Airin mendengar suara Samuel, Airin mendekat ke arah Billy. Membuat blazernya bersentuhan langsung dengan jas Billy. Dan melihat kedekatan keduanya, Samuel langsung melebarkan matanya.
"Tuan, apa ada yang kamu butuhkan?" tanya Airin.
Mata Samuel semakin melebar. Bagaimana bisa wanita itu memanggilnya tuan.
"Tidak ada! menghilang dari pandanganku. Aku mau bicara dengan Billy!" ujarnya yang langsung membuat Airin menghela nafas.
Tapi Airin sama sekali tidak memasukkan ucapan Samuel itu ke dalam hatinya. Samuel adalah satu-satunya kelemahan Vivi. Bagaimanapun, dia akan tahan semua ucapan itu, menebalkan telinga, mata dan hatinya.
Airin segera berdiri dan menjauh.
"Baiklah, silahkan bicara dengan senior. Aku akan kerjakan pekerjaanku!" kata Airin yang malah tersenyum dan kembali ke mejanya.
Samuel yang mendengar Airin memanggil Billy senior. Sedangkan dirinya tuan menjadi kesal.
"Siapa yang menyarankan dia panggil aku tuan?" tanya Samuel pada Billy.
Billy langsung menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. Dengan wajah canggung, campur ngeri juga, karena sepertinya Samuel terlihat tidak senang, Billy berkata.
"Itu... itu..."
***
Bersambung...