“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 19
"Kemari lah, duduk disini!”
Tanpa ragu Lastri melangkah, mengikis habis jarak, dia duduk di kursi kayu jati yang puncak sandarannya berukir kepala burung Garuda, tepat di samping wanita tua berbibir merah hasil dari mengunyah daun sirih, buah pinang dan kapur sirih (menginang).
“Ada apa, Ni?” tanya Lastri lembut.
“Panggil saja Mak Indun, sama seperti lainnya. Saya hendak mengusukmu, memeriksa apakah kau sehat atau memiliki penyakit tertentu,” ungkapnya tanpa basa-basi.
Lastri menggeser sedikit posisi duduk, menjadi menyamping agar berhadapan dengan Mak Indun. “Maaf sebelumnya, saya tak serasi dengan pijatan. Sering memar-memar kulitnya setelah di kusuk apalagi dikerokin.”
“Bila ingin mengecek saya sehat ataupun tidak, bukankah hal tersebut tugas seorang Bidan ataupun tenaga medis di puskesmas?” tanyanya dengan kening berkerut, pura-pura terlihat bingung.
Nyonya Samini terlihat tidak sabaran, ketika hendak menyela, Mak Indun memperingatinya lewat tatapan tajam.
“Saya paham bila kau terlahir dan dibesarkan di kota, tapi di desa, memang seperti inilah caranya. Nyonya Samini hanya mau dilayani oleh orang sehat, bukan berpenyakitan, terlebih dia takut kalau salah satu pekerjanya memiliki penyakit menular.” Mak Indun menelisik bagian depan Lastri, matanya terang-terangan menatap lekat.
Lastri berdiri, tangannya membuka kemeja bergaris-garis yang dia kenakan, tanpa ragu melepaskan baju itu dari badannya. Tinggallah bra kemben yang bertali bahu lebar dan panjangnya hingga di bawah pusar, dalaman itu membentuk lekuk tubuh sintalnya.
“Apa saya seperti seseorang yang mengidap penyakit mematikan atau menular?” Lastri perlahan memutar badan, netranya bertemu tatap dengan juragan Bahri yang keberadaannya tersembunyi, tertutupi lemari pajangan. Laki-laki tua bangka itu terlihat tidak berkedip.
Wajah Samini merah padam, dia merasa dipermalukan dikarenakan baru kali ini ada yang begitu berani menolak mentah-mentah keinginannya. Lastri bukan saja menunjukkan raut enggan, tapi juga menantang.
“Tolong perhatikan baik-baik badan segar bugar ini! Kulit saya juga berwarna cerah, tidak kusam apalagi kusut seperti orang kurang sehat. Perut saya pun.” Ia tepuk-tepuk lembut perut datar nya. “Sama sekali tak buncit ataupun bergelambir, jelas saya memiliki berat badan ideal, tidak menimbun lemak yang seringkali menyimpan penyakit.”
“CUKUP!” Samini berteriak, dia merasa tersindir dikarenakan memiliki badan lumayan subur, perut buncit seperti wanita hamil tiga bulan. “Kalau kau tak mau menjalani tes seperti gadis-gadis lainnya kala melamar pekerjaan di sini, bergegaslah keluar dari rumahku!”
Lastri menunduk dalam. “Maaf, Nyonya. Anda boleh menerapkan aturan, tapi saya juga berhak menolak bila hal itu dirasa kurang sopan. Saya di sini mau dipekerjakan sebagai seorang pembantu rumah tangga, bukannya wanita penghibur laki-laki hidung belang yang diharuskan masih perawan agar harga jualnya mahal.”
“Kau_kau! KELUAR!!” Jari telunjuknya sampai bergetar, emosinya tak lagi terbendung.
“Baik, Nyonya.” Lastri mengambil baju yang tadi dia letakkan disamping Mak Indun, perlahan dan tidak terburu-buru mengenakannya.
Mak Indun tersenyum penuh maksud, dirinya sempat melihat ranumnya buah dada yang mencuat kala Lastri membungkuk.
Lastri sedikit membungkuk, lalu dia melangkah menuju pintu depan, melawati Hardi yang menatapnya dengan sorot mata penuh nafsu binatang.
Selepas kepergian gadis arogan tadi, Samini terus-menerus mengumpat.
“Aku merasa terhina! Dasar perempuan tak berpendidikan, tak memiliki adab sopan santun, mulutnya sangat kurang ajar!” Ia meraih gelas berisi air teh, meneguk habis isinya, tapi emosinya tetap belum mereda.
Mak Indun menambahkan gambir pada daun sirih, lalu melinting nya lagi. “Jelas beda, sebab dia dibesarkan dalam lingkungan lebih maju. Cara berpikirnya pun kritis, susah ditipu. Lastri itu masih perawan, bisa untuk tumbal berikutnya pada malam satu suro!”
Samini terlihat terkejut, matanya membulat. “Apa Mak Indun, tak salah menerka. Sifat dan sikapnya mirip wanita yang sudah paham adegan dewasa. Lihat saja tadi, bagaimana dia tak punya malu melepaskan baju, dan memamerkan bahu mulusnya itu.”
“Meskipun saya tak bisa memeriksa langsung seperti para gadis terdahulu, tapi mata tua ini masih berfungsi, dapat membedakan mana perawan dan barang bekas.” Mak Indun terlihat tersinggung.
“Maaf, Mak. Apa yang harus kita lakukan, sedangkan dia langsung saya tolak,” akhirnya Samini melembutkan nada suaranya, takut Mak Indun lebih tersinggung lagi.
“Tinggal kau suruh si Surti menyampaikan pesan kepada Lastri, ataupun Mina.”
“Apa kita tak memiliki kandidat lainnya, Mak?” Bahri ikut bergabung, duduk di kursi tunggal.
“Siapa kira-kira yang cocok? Sementara gadis-gadis di wilayah transmigrasi rata-rata sudah menikah. Apa calon menantumu itu bisa dijadikan tumbal?” tantang Mak Indun.
“Tentu tak boleh, Mak!” Hardi mengajukan protes, dia menghampiri orang tuanya. “Bisa runyam urusannya nanti dengan pak lurah, terlebih semua orang telah mengetahui rencana pernikahan kami yang tinggal dua minggu lagi.”
Tanpa adanya kesepakatan, mereka telah memutuskan siapa yang akan dikorbankan untuk persembahan Iblis bertanduk Kerbau. Yakni Lastri.
***
Lastri terkikik geli, kakinya menendang batu kerikil. "Kalian kira aku tak tahu rencana busuk itu."
Tentu saja Lastri mengetahui, jauh-jauh hari sudah mengantisipasinya. Kunti dan Ni Dasah, telah membeberkan semuanya. Bagaimana Bahri dan antek-anteknya memilih korban, sampai saat skenario terjadinya fitnah kala seorang gadis tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Fisiknya memang telah berubah, bukan lagi sepenuhnya Sawitri. Namun dalamannya tetap miliknya yang sudah tak lagi perawan.
Ni Dasah memberikan trik kotor agar Lastri lolos dari tangan Mak Indun.
Dukun beranak itu akan memeriksa calon korban dengan berdalih pijatan. Memastikan bahwa tidak salah terka kalau seorang gadis masihlah perawan. Meraba, meremas di area tertentu, seperti buah dada, panggul, bila masih meragukan, maka akan memasukkan satu jarinya kedalam kewanitaan.
"Kebetulan sekali." Lastri tersenyum culas, tangannya menarik kain jarik, agar naik hingga lutut. Terpampang lah betis kencang dan mulusnya.
Sosoknya belum terlihat, tapi senandung lagu yang dinyanyikan lirih sudah Lastri dengar, dan ia mengenali siapa gerangan.
Seseorang tersenyum lebar, kala melihat gadis cantik yang sedang jadi buah bibir para pemuda desa, ia menambah kecepatan laju Honda Win 100, lalu berhenti tepat di samping Lastri.
"Lastri, hendak kembali ke rumah ya?" Saat yang di tanya mengangguk. "Mari saya antar pulang, tapi kita singgah dulu di kandang Ayam, mau tidak ...?"
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....