cerita ini adalah kumpulan kisah nyata yang di ambil dari pengalaman horor yang dia alami langsung oleh para narasumber
-"Based On truth stories"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon butet shakirah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kendaraan atau Yang lain?
Kejadian ini berkisah kisaran pada tahun 1989, pada waktu itu udara pagi yang berasa masih dingin ketika Siti bersama keluarganya bersiap-siap di halaman rumah. Di kampung kecil yang sejuk di lereng bukit, dengan suasana Idul Fitri terasa begitu hangat. Ayah dan ibunya, serta keponakan ibunya — Krisna dan Jihan, sibuk memeriksa bawaan. Karena mereka hendak bersilaturahmi ke rumah keluarga dari pihak ibu Siti yang tinggal di kabupaten sebelah. Barulah siang harinya mereka memutuskan berangkat. Namun sebelum berangkat, mereka ingin bersilaturahmi ke rumah tetangga dan beristirahat terlebih dahulu setelah shalat idul Fitri.
Siangnya setelah shalat zuhur dan makan siang, mereka memutuskan langsung berangkat kesana. Karena kendaraan pribadi tidak cukup besar untuk rombongan mereka, akhirnya mereka menyewa angkutan umum— mobil tua berkapasitas delapan orang. Di sudut lain, Faza adalah pacar Siti, sedang membantu Bandi dan istrinya Risma menaikkan tas tentengan ke atas mobil angkutan umum. Tiara, anak kecil berusia lima tahun, sesekali merengek ingin duduk di pangkuan ibunya.
“Pastikan semua sudah dibawa ya, kita nggak bisa balik lagi nanti,” ujar Ibu sambil mengecek ulang kue-kue yang ada di dalam kardus.
“Tenang Bu, semuanya sudah lengkap,” jawab Siti sambil tersenyum, menggenggam tangan Faza yang berdiri di sebelahnya.
Perjalanan selama lima jam berjalan lancar. Jalanan berliku dan menanjak dilalui dengan obrolan ringan dan tawa. Tiara tertidur di pangkuan Risma, sementara Krisna dan Jihan saling bertukar cerita tentang pengalaman Ramadan mereka.
Namun, menjelang Maghrib, hujan deras mengguyur. Jalanan tanah mulai tergenang, dan ketika mereka hampir sampai di tujuan, sopir angkutan menghentikan mobilnya.
“Maaf, Pak, Bu, saya nggak bisa masuk ke desa. Jalannya tergenang banjir. Airnya sampai lutut. Mobil saya bisa mogok nanti,” kata sopir itu sambil menunjuk ke depan.
Ayah Siti mengangguk, “Kalau begitu kita lanjut jalan kaki saja. Desa nggak jauh, kan?”
“Kurang lebih tiga sampai empat jam,” jawab sopir itu.
Tanpa banyak pilihan, mereka semua turun. Hari sudah mulai gelap. Dengan membawa senter dan obor seadanya yang diberikan warga yang tinggal di persimpangan jalan, mereka menyusuri jalan setapak di pinggiran hutan. Air menggenang, dan tanah becek membuat langkah mereka lebih berat.
“Hati-hati, Tiara, sini bapak gendong” kata Bandi pelan, menggendong anaknya yang mulai rewel.
“Sayang, kamu yakin kita lewat sini?” tanya Faza pada Siti, yang berjalan di tengah rombongan.
“Iya, ini jalan satu-satunya. Ibu pernah cerita kalau kita mau ke rumah nantulang Salma ya lewat hutan kecil ini,” jawab Siti dengan suara kecil kepada Faza untuk mencoba terdengar tenang.
Tiba-tiba, sekitar dua jam kemudian setelah mereka berjalan, Siti berhenti mendadak.
“Tunggu... kalian lihat itu enggak?” ujarnya pelan sambil menunjuk ke arah pohon-pohon lebat di kejauhan. Ada cahaya kecil berkelip—seperti lampu mobil tua yang pelan mendekat.
“Lihat Apa?” tanya Jihan. “Enggak ada apa-apa.”
“Sumpah, aku lihat. Itu kayak... lampu, mana tau itu kendaraan yang mau lewat. siapa tau kita bisa minta tolong.” bisik Siti.
Krisna mengernyitkan dahi. “Jangan bercanda, Sit. Kita semua capek.”
“Aku enggak bercanda. Serius. Coba lihat lagi deh. Di sana!”ucap siti yang ngotot perihal apa yang dilihatnya.
Tapi tak seorang pun melihat apa yang dilihat Siti. Hanya Tiara yang tiba-tiba menangis kencang. Teriakannya menggema di antara semak dan pohon tinggi.
“Ssst... ada apa, Nak?” Risma panik, mencoba menenangkan.
“Takut... Tiara takut... Ada yang liatin...”ucap tiara sambil menangis dan ketakutan.
Mendengar itu, Ayah Siti segera mengambil langkah ke depan. Ia memandang sekitar lalu berkata, “Kalian tunggu di sini sebentar. Jangan kemana-mana.”
“Ayah, jangan jauh-jauh!” seru Siti.
“Santai. Ayah cuma mau periksa sekitar pohon besar itu,” katanya sambil menunjuk pohon tua yang batangnya setebal pelukan orang dewasa.
Beberapa menit sunyi. Semua menunggu dengan gugup.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah dedaunan digilas pelan. Ayah Siti muncul dari balik semak.
“Kita lanjut saja jalannya. Enggak jauh lagi kok. Biar cepat sampai, jangan banyak berhenti ya,” katanya tenang, namun wajahnya sedikit pucat.
Rombongan kembali bergerak. Kali ini tanpa suara. Bahkan Tiara pun sudah diam, seolah rasa takutnya tadi lenyap.
Tepat saat tengah malam, akhirnya mereka tiba di rumah kayu besar milik Nantulang Salma. Pintu terbuka, dan suara takbir dari radio kecil menyambut mereka.
"Assalamualaikum, kak" ucap Ibu Siti sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumussalam, Ya Allah! Akhirnya sampai juga! Ayo masuk, masuk...!” seru Nantulang Salma senang, disusul dengan pelukan hangat dan aroma masakan khas Lebaran.
“Maaf kak, kami lama. Jalannya banjir, jadi jalan kaki,” ujar Ibu Siti sambil memeluk kakaknya.
Mereka semua disambut dengan hangat. Teh manis, ketupat, rendang, dan opor ayam terhidang di meja panjang. Namun sebagian besar dari rombongan memilih untuk segera beristirahat setelah makan karena kelelahan.
Hanya Ayah dan Ibu Siti yang tetap duduk di ruang tengah, berbincang bersama Nantulang Salma dan suaminya, Tulang Dul.
“Ada kejadian di jalan ya?” tanya Tulang Dul sambil menyeruput teh.
Ayah Siti menatap istrinya, lalu menatap Tulang Dul. “Sebenarnya... iya.”
“Kenapa?” tanya Nantulang Salma yang mulai cemas.
“Ada yang jaga di jalan tadi,” ujar Ayah Siti pelan.
Tulang Dul dan Nantulang Salma saling pandang. “Kamu lihat?” tanya Tulang Dul serius.
“Awalnya Siti yang lihat. Katanya ada cahaya kecil. Yang lain nggak lihat, cuma dia. Tapi aku curiga, jadi aku cek. Di balik pohon besar itu, aku lihat... mata menyala dua titik. Kuning. Tapi tinggi. Diam. Nggak gerak.”jawab Ayah siti dengan tegas kepada mereka berdua.
“Harimau?” tanya Ibu Siti pelan.
“Bukan harimau biasa. Itu... Penjaga.”ucap ayah siti dengan pelan.
Tulang Dul menarik napas. “Sudah lama kami tak dengar dia muncul. Tapi memang makam tua itu letaknya tak jauh dari jalan yang kalian lewati.”
“Makam siapa?” tanya Ibu Siti.
“Leluhur kita. Buyut kita. Orang sakti. Namanya Opung Wira. Dia minta dimakamkan di sana, jauh dari desa, agar tetap menjaga perbatasan kampung ini.”jawab Ayah siti dengan nada pelan.
Siti yang belum tidur dan mencuri dengar pembicaraan mereka dari balik pintu, perlahan masuk ke ruang tengah.
“Jadi... aku bisa lihat karena... aku keturunan opung Wira?” tanyanya pelan.
Ayahnya mengangguk. “Iya Nak.”
“Lalu kenapa Tiara menangis?”tanya siti sekali lagi
“Anak-anak kadang bisa merasakan yang tak kasat mata.”jawab Ayah siti dengan pelan
“Terus... kenapa Ayah nggak ajak kami kabur?”tanyanya lagi yang masih penasaran.
“Ayah bilang pada dia—penjaga itu—bahwa kita cuma numpang lewat. Mau silaturahmi, makanya ayah minta dia supaya tidak mengganggu. Dia mengerti, lalu mundur dan menghilang.”jelas Ayah dengan tegas
Siti bergidik ngeri. “Kenapa cuma aku dan Ayah yang bisa lihat?”
“Karena kalian yang punya garis darah langsung dari Opung Wira. Dan... mungkin kalian ada ‘kemampuan’.”jawab tulang Dul.
Hening.
Tak lama kemudian, Tulang Dul tersenyum tipis. “Tak apa. Dia tak akan mengganggu. karna dia tau bahwa cucu dari pemiliki makam yang ia jaga didalam hutan. maka dari itu dia menyambut kedatangan kalian.”
Malam itu, meski cerita mengerikan sempat membuat bulu kuduk merinding, semua orang bisa tidur dengan tenang.
Keesokan harinya, suasana Lebaran kembali hangat. Anak-anak bermain kembang api, dan para ibu sibuk menyiapkan makanan. Tapi di hati Siti, ada rasa yang tak biasa.
Faza menghampirinya yang duduk termenung di beranda.
“Kamu baik-baik aja?” tanyanya.
Siti mengangguk. “Aku cuma mikir... ternyata dunia itu lebih luas dari yang kita tahu ya.”
Faza duduk di sampingnya. “Aku percaya sekarang. Soal cahaya semalam. Kamu benar.”
Siti tersenyum tipis. “Cahaya itu bukan bahaya. Tapi... penyambutan. Dan aku bersyukur kita tidak mengalami kendala apapun selama perjalanan pada malam itu.”
Faza menggenggam tangannya. “Terima kasih udah bawa aku ke perjalanan ini.”
Siti menatap jauh ke arah hutan.
Dalam hatinya, ia berjanji, suatu hari nanti, ia akan datang ke makam Opung Wira. Tidak hanya sebagai peziarah, tapi sebagai cucu yang akan menghormati penjaga warisan leluhur.