Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11
Dialah orang itu.
Rais Danuarta kakek dari perempuan yang menabraknya satu bulan lalu.
Perempuan berwajah teduh yang panik di pinggir jalan waktu itu, yang menangis minta maaf sambil memanggil nama "Kakek! Kakek!", sesaat sebelum Ganendra tak sadarkan diri di aspal.
Wajah itu belum pernah hilang dari ingatannya.
"Ganendra?" suara Pak Rais berat dan pelan.
"Apakah... kau yang waktu itu ditabrak cucu saya?"
Ganendra menunduk pelan, lalu mengangguk.
“Benar, Pak… saya yang waktu itu tertabrak di depan masjid tua, dekat jalan Mawar...”
Pak Rais berdiri perlahan. Tongkatnya diketuk pelan ke lantai kayu.
Raut wajahnya berubah. Dari dingin menjadi... terkejut. Matanya menelisik Ganendra dari ujung kepala ke kaki.
"Aku… mencarimu, Nak. Tapi setelah kau hilang dari rumah sakit, aku tak bisa menemukanmu lagi."
"Selama sebulan ini… cucuku merasa bersalah, dan aku menyesal tak lebih cepat menemuimu."
Ganendra mengangguk pelan, menahan guncangan emosi.
"Saya... pergi karena tak sanggup bayar biaya rawat inap, Pak. Saya tak tahu harus cari siapa."
Hening sesaat.
Pak Rais menatap Arvian.
“Arvian, kamu tahu siapa dia sekarang?”
Arvian bingung. “Maksudnya, Pak?”
Pak Rais menghela napas panjang.
“Dia adalah orang yang pernah kita sakiti secara tidak langsung. Tapi hari ini… dia datang ke tempat ini bukan untuk menagih balas, tapi untuk mencari pekerjaan. Mencari harapan.”
Pak Rais melangkah pelan mendekati Ganendra.
“Mulai hari ini, kamu bukan hanya sopir di sini, Nak. Tapi anak asuh RD Grup. Kami akan bimbing kamu, latih kamu, dan bantu kamu bangkit.”
Ganendra menunduk, mata berkaca-kaca.
"Pak… saya tidak butuh dikasihani. Saya hanya ingin diberi kesempatan. Saya ingin bekerja dengan terhormat."
Pak Rais menepuk bahunya. “Dan kamu akan dapatkan itu, Ganendra. Mulai sekarang, hidupmu berubah.”
Di luar gedung RD Grup, matahari terbit dengan sinar lebih hangat dari biasanya.
Dan di dalam dada Ganendra, sebuah harapan baru telah menyala bukan sekadar pekerjaan, tapi jalan takdir yang telah Allah persiapkan lewat luka, lalu disambut oleh pertemuan yang tak terduga.
Beberapa hari kemudian…
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Matahari masih malu-malu menampakkan dirinya di balik tirai awan. Di depan sebuah gerbang megah bergaya kolonial, seorang pria berdiri tegak mengenakan seragam sopir berwarna hitam, sepatu mengilap, dan topi yang ia pegang erat di tangan.
Itulah hari pertama Ganendra menjadi sopir pribadi Tuan Besar Rais Danuarta nama besar yang tak asing di kalangan orang berpengaruh di kota ini.
Langkah kaki Ganendra mantap. Meski jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, wajahnya tetap tenang. Ini bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah titik balik.
Tekadnya sudah bulat sejak ia menginjakkan kaki di rumah itu, ia akan membuktikan bahwa hinaan dan cemoohan di masa lalu tak akan mematahkan arah hidupnya.
Seorang pelayan membukakan pintu masuk utama. Tak lama, seorang pria paruh baya dengan jas rapi dan sorot mata tajam muncul dari balik tangga utama.
“Ganendra, kan?” suara berat itu terdengar tegas namun tidak dingin.
Ganendra segera menunduk sopan. “Iya, Tuan Besar.”
Tuan Rais mengangguk singkat lalu berjalan melewatinya. “Mobil sudah disiapkan?”
“Sudah, Tuan. Di garasi sebelah kanan.”
Ada jeda sejenak. Tuan Rais melirik Ganendra dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai bukan hanya penampilannya, tapi juga tekad di dalam dirinya.
“Kamu bukan sekadar sopir. Kamu harus jadi bayanganku di jalan. Paham maksudku?”
Ganendra mengangguk mantap. “Saya paham, Tuan. Saya siap.”
Di dalam hatinya, Ganendra mengulang kalimat yang terus menguatkan langkahnya sejak pagi tadi, Hinaan dari mereka aku anggap sebagai doa. Doa yang membuatku sampai di titik ini. Dan aku belum selesai.
Sesekali, saat tidak ada yang memperhatikan, pandangan Ganendra mengembara ke setiap sudut rumah mewah bergaya klasik Eropa itu.
Pilar-pilar tinggi berdiri gagah, dinding-dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan tua yang pasti bernilai fantastis.
Taman depan luas, rumputnya terpangkas rapi, dengan deretan mawar putih yang tampak seperti baru disiram pagi tadi.
Namun bukan kemegahan itu yang membuat matanya sibuk mencari.
Ia sedang mencari sosok itu.
Livia Haura Azalia.
Cucu pertama dari Tuan Besar Rais Danuarta.
Perempuan yang pernah menabraknya tanpa sengaja di sebuah perempatan kecil di pagi hari beberapa bulan lalu. Kala itu, Livia turun dari mobil dengan wajah panik dan mata yang sembab seolah baru saja menangis semalaman.
Meski tubuhnya terhuyung akibat benturan, Ganendra masih sempat menangkap tatapan mata gadis itu, tatapan yang menyimpan luka dalam dan ketakutan yang tidak dimengerti oleh siapa pun, kecuali dirinya.
Sejak saat itu, wajah Livia terpatri dalam memorinya. Bukan karena kecantikannya saja, tapi karena sorot matanya yang mirip dirinya seseorang yang menyimpan badai dalam diam.
Hari ini, rumah besar itu menjadi tempat ia bekerja. Takdir seakan memutar balik jalannya ke arah yang tak pernah ia duga.
Namun, hingga kini, tak ada tanda-tanda keberadaan Livia. Tak ada tawa muda, tak ada langkah kaki ringan yang terdengar dari lantai atas, bahkan tak ada foto dirinya di dinding lorong seperti anggota keluarga lainnya.
“Dia nggak tinggal di sini?” gumam Ganendra pelan, pura-pura mengelap kaca mobil saat melirik ke arah balkon lantai dua.
Hanya angin yang menjawab, menggoyangkan tirai tipis jendela seperti melambaikan harapan.
Ganendra menarik napas panjang, lalu mengencangkan sarung tangan hitam di tangannya. Ia kembali ke dalam perannya sebagai sopir pribadi. Tapi dalam diam, hatinya masih bertanya, Di mana kamu sekarang, Livia? Kenapa rasanya aku harus bertemu lagi denganmu?
Dan tanpa ia sadari, dari balik tirai jendela lantai tiga, sepasang mata memperhatikannya dalam diam mata seorang perempuan yang juga menyimpan kenangan tentang pertemuan singkat di bawah hujan itu.
“Kakek, tunggu!”
Teriakan nyaring itu menggema di halaman depan mansion. Seseorang berlari tergesa-gesa, langkahnya terburu, rok span yang dikenakannya hampir membatasi gerak, namun ia tak peduli. Wajahnya semerah embun pagi yang tertangkap cahaya, rambut panjangnya berantakan diterpa angin.
Ganendra, yang sudah menggenggam kemudi dan hendak melajukan mobil hitam milik Tuan Besar Rais Danuarta, refleks menginjak rem. Pandangannya mengarah ke cermin tengah, menangkap sosok perempuan muda yang baru saja muncul dari pintu utama rumah mewah itu.
Tuan Besar Rais melirik jam tangannya, lalu mendesah.
“Lintang,” gumamnya pelan. “Kebiasaan terlambat.”
Lintang Danuarta mendekati jendela belakang yang setengah terbuka.
“Kakek, barengan aku ya! Sekalian ke kantor. Aku kesiangan!”
Tuan Besar Rais menggeleng tegas, meski suaranya tetap tenang.
“Lintang, Kakek buru-buru ke perusahaan. Kamu bawa mobil sendiri saja. Sudah besar kan? Kak Livia belum balik dari luar negeri, jadi jangan manja. Kakek harus rapat jam delapan.”
Lintang mendengus, tangan kirinya bertolak pinggang.
“Tapi mobilku masih di bengkel, Kek! Kalau Kak Livia ada pasti aku nggak bakal kayak gini. Ihh… Kak Livia tuh enak, tinggal bilang ‘ayo’ langsung diantar. Kenapa sih dia lama banget di Belanda? Udah hampir satu bulan lebih nggak pulang-pulang.”
Ganendra menahan nafas.
Belanda. Jadi benar. Livia Haura Azalia gadis yang dulu menabraknya lalu menghilang begitu saja masih berada jauh dari sini.
Tuan Rais membuka pintu mobil sedikit. Suaranya sedikit meninggi, tapi tetap berwibawa.
“Lintang, sudah. Nanti kamu pinjam mobil tante kamu saja, atau pakai supir cadangan. Jangan rewel. Kakek nggak bisa telat hari ini.”
Lintang cemberut, tapi tak membantah. Ia melirik Ganendra sesaat sebelum mundur dua langkah.
“Yaudah, hati-hati di jalan. Bilangin ke sopir barumu, jangan kebut-kebutan. Nanti Kakek masuk angin, baru tahu rasa.”
Tuan Besar Rais hanya tertawa kecil.
“Ganendra sopir yang tenang. Kamu tenang saja.”
Ganendra menunduk hormat, lalu perlahan melajukan mobil keluar dari halaman rumah.
Di dalam mobil, sunyi mengisi ruang.
Namun di dalam hati Ganendra, justru banyak suara yang bergema.
Livia. Belanda. Tiga bulan.
Ia mengingat wajah itu. Mata itu tatapan yang tak pernah bisa ia lupakan meski hanya bertemu beberapa menit di bawah hujan.
Jadi kamu benar-benar pergi, Livia Tapi kenapa aku merasa kita belum selesai?
“Astaghfirullah aladzim aku nggak boleh berfikir seperti itu kami ini hanya majikan dan bawahan.” Batinnya Ganendra.
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca depan mobil, membentuk pola-pola hangat di dasbor. Ganendra tetap tenang di balik kemudi, mengenakan seragam sopir yang kini menjadi bagian dari kesehariannya. Wajahnya tampak tenang, tapi dalam hatinya, ada gelombang harapan yang pelan-pelan tumbuh.
“Semoga pekerjaan ini jadi jalan rezeki yang berkah,” batinnya lirih.
Bekerja di rumah sebesar ini dii bawah bayang-bayang nama besar Rais Danuarta bukanlah perkara sepele. Ia tahu, ini bukan tempat main-main. Tapi Ganendra bukan mencari kemewahan. Ia mencari kesempatan.
Kesempatan untuk mengubah hidup.
Bukan hanya untuk dirinya. Tapi terutama untuk Bu Siti, ibunya yang selama ini hidup sederhana, mengandalkan warung kecil di gang sempit yang pengunjungnya makin hari makin sepi.
"Bu... doakan anakmu kuat kerja di sini. Biar nanti ibu istirahat menjahit. Biar kita nggak terus-terusan mikir bayar sewa kontrakan tiap bulan,” gumamnya dalam hati.
Ia teringat wajah ibunya pagi tadi, saat melepasnya kerja dengan membungkuskan bekal nasi hangat dan sambal teri.
Wajah tua yang mulai dipenuhi garis kelelahan, namun selalu tersenyum tulus setiap kali Ganendra pamit berangkat.
“Ibu nggak pernah minta apa-apa. Tapi aku nggak mau selamanya begini. Aku pengin Ibu ngerasain yang lebih baik meski sedikit.”
Ganendra memandangi kaca spion. Di belakangnya, bangunan megah keluarga Danuarta berdiri gagah, mewah, dan penuh aturan.
Tapi di balik semua itu, ia tahu satu hal
Kalau ia bersungguh-sungguh, kalau ia jaga amanah dan sabar, rumah besar itu bisa jadi titik balik hidupnya.
Bukan untuk jadi kaya. Tapi untuk bisa berkata suatu hari nanti, "Bu, sekarang giliran aku yang bahagiain Ibu.”