"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stay away.
“Stop!” Tama berpaling dengan cepat dan menatap laki-laki paruh baya yang baru saja menamparnya. Membalas tatapan sengit pria itu dengan tak kalah garang. Setelah orang-orang tau bahwa Julian adalah putera sang Direktur, sekarang mereka akan tau bahwa Tama pun ternyata iya. Dan surprise-nya lagi, keduanya adalah anak kembar. Sungguh, dia ingin bertepuk tangan kepada ayahnya yang tidak bisa menjaga lisan.
“A—apa maksudnya, Pak?” Rahmat adalah salah satu orang yang tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Masih kental di dalam ingatan saat mengetahui Julian adalah anak bos besar. Dan sekarang dia kembali merinding karena hal yang sama. Tama Sean Wijaya, SPV andalannya itu, ternyata putera direktur utama juga? How come? Fenomena apa ini?
Sora, Kayla, Axel, Jo, sama sekali tidak berkutik. Fakta itu sangat mengejutkan. Sulit untuk dipercaya. Jadi, selama ini Tama juga menyembunyikan sesuatu yang begitu penting dari mereka? Jauh sebelum Julian datang, mereka sudah berteman dengan laki-laki itu hampir dua tahun lamanya. Namun, dia tidak pernah menceritakan apapun tentang dirinya.
Lagian… bukankah nama belakang mereka berbeda? Wijaya dan Atmaja. Kembar dari mana? Tapi tidak mungkin sekelas pak Direktur bohong bukan?
Tidak ada yang berkenan menjawab pertanyaan Rahmat. Gerakan Tama justru lebih menarik perhatian mereka. Laki-laki itu berdiri dan keluar dari meja. Mungkin sudah muak berada di dalam sini. Dia keluar tanpa berpamitan. Sekalipun kepada bapak Direktur dan juga manajernya sendiri.
Melihat itu, Giselle juga ikut berdiri dan mengejar sang kekasih. Dia juga masih belum percaya atas apa yang dia dengar. Tapi sekarang bukanlah saatnya untuk bengong. Dia harus mulai menunjukkan simpati yang lebih kepada Tama. Bukankah seharusnya begitu?
***
Gosip besar tak terelakkan beredar di semua grup-grup chat. Yang pasti bukan di grup besar kantor. Tidak mungkin, karena di dalamnya ada Julian dan juga Tama. Sekarang lebih ke grup masing-masing divisi, atau geng tertentu. Semuanya membahas tentang identitas Tama yang baru saja terungkap.
‘Lah, gimana-gimana? Jadi si Tama juga anak Direktur? Waahh. Kenapa dua-duanya memilih kerja jadi karyawan biasa ya?'
‘Kembar? Serius? Mirip juga enggak, kembar dari mananya??’
‘Tapi bukannya si Julian nama belakangnya Atmaja, ya? Si Tama ‘kan Wijaya. Kembar gimana?’
‘Pantes, mobil BMW. Gue udah feeling sih, itu anak bukan orang sembarangan.’
‘Eh, aki baru ngeh kalau Tama itu nggak terlalu kaget waktu kita heboh soal si Julian. Kalian pada sadar nggak sih? Dia kayak santai aja gitu. Pantesan, ternyata kembarannya.'
‘Kalau beneran anak kembar, gila ya si Sora. Ditaksir dua anak dirut sekaligus. Kalau gue jadi dia, gue pacarin dua-duanya sih. Ha-ha-ha-ha.’
'Tapi asli loh nggak ada mirip-miripnya. Karakter aja beda jauh. Si Tama bad boy, si Julian sweet boy.’
Dan semua pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab sampai pak Direktur sendiri yang menjelaskan semuanya. Tapi sepertinya impossible dalam waktu dekat melihat kekisruhan yang terjadi di dalam ruangan AR.
Sebenarnya, segala sesuatu yang terlontar dari mulut beliau, sudah pastilah sebuah kebenaran. Sekelas Direktur nggak mungkin ngadi-ngadi di depan banyak orang ‘kan? Apalagi faktor yang membuat dia keceplosan itu adalah, karena marah Tama dan Julian yang saling adu jotos.
Ruangan AR sudah kembali ke suasana normal. Tadi Julian sudah ikut ke ruangan direktur. Kini tinggallah Axel, Jo, Sora dan Kayla. Keempat orang itu duduk berkumpul di sebuah meja –lebih tepatnya di meja Sora— untuk membahas ini.
“Pantesan ya, selama ini Tama itu nggak terlalu terusik dengan sikap Julian yang kita bilang introvert.” Kayla memulai. “I mean, sebagai atasan, dia kan suka nge-review kita. Tapi dia nggak pernah permasalahin Julian. Padahal sebelumnya Julian itu terbilang susah banget diajak berbaur. Tapi Tama sama sekali nggak ngerasa itu sebagai sebuah red flag dalam tim kita. Karena dari sononya dia udah paham Julian kayak apa.”
“Bener banget. Waktu pertama kali pak Direktur ngenalin Julian sebagai anaknya, pas kita gathering di restoran, pantesan si Tama diam-diam. Sama sekali nggak ada reaksi yang berlebihan. Sampai besoknya ketemu di ruangan inipun dia santai banget. Sikapnya sama, nggak ada perubahan walau udah tau Julian itu anak direktur.” Jo memberi tanggapannya. Ternyata dia juga sempat menyadari keanehan sikap Tama waktu itu.
“Iya, gue juga ngeh-nya di situ. Tadinya juga gue kira dia bakalan treat Julian berbeda dari yang sebelumnya. Taunya biasa aja. Sama sekali nggak ada perubahan. Ternyata mereka udah saling kenal. Ck. Gue ngerasa kayak dikibulin selama ini.” Axel tak kalah dalam mengeluarkan pendapat. Sungguh wajar ketika dia merasa dipermainkan bukan? Tapi, yah, mau kesal juga tidak bisa, karena itu adalah privasi Tama dan juga Julian.
Hanya Sora yang belum berani berspekulasi apa-apa. Sejak tadi kepalanya dipenuhi oleh kata ‘misi’ yang akhir-akhir ini sering dia dengar dari Tama. Perempuan itu sedang menghubungkan misi itu dengan fakta baru ini.
Kalaulah memang Tama adalah anak direktur juga, apakah dari dulu dia ada di divisi ini hanya demi misi itu? Lantas kenapa dua tahun terakhir ada Julian juga? Apa karena misinya tak kunjung selesai sehingga si kembar harus ikut turun tangan?
Semakin dipikir-pikir, semakin penasaran. Itulah yang dirasakan Sora. Kalau memang dari dulu sudah sengaja ada di divisi AR demi sebuah misi, kemudian kemarin-kemarin ngakunya pacarin Giselle pun demi misi itu, apa itu artinya misi itu ada kaitannya dengan Giselle? Atau orang-orang terdekat perempuan itu? Seperti Pak Rahmat contohnya?
“Guys… menurut kalian, Tama sama Giselle itu pacarannya serius nggak sih?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Axel, Jo dan Kayla pun jadi berpikir.
“Gue malah awalnya mikir kalau dia cuma pengen bikin lo jealous,” jawab Axel. “Eh Taunya sampai sekarang masih bertahan aja. Gedeg gue.”
“Sama. Tapi kalau si Giselle, jelas kepincut sama Tama. Apalagi kalau udah tau kebenarannya kayak gini. Makin nggak mau lepas dia. Lo sama Julian gimana, Ra? Selama ini gue ikut arus aja. Tapi sebenarnya gue tau hati lo buat siapa.” Jo ternyata tidak hanya suka menggombal, namun juga perhatian pada seisi ruangan. Dia sendiri sangat tau kalau Tama menaruh hati pada Tama. Sejak dulu.
“Ck. Gue nggak usah ditanya, Jo. Complicated,” jawab Sora seraya tertawa lirih. Memang itulah kenyataannya.
“Tadi sih kata anak-anak, mereka ribut lagi gara-gara lo.”
“Hah? Ngaco lo, Xel!” Perempuan itu tidak langsung percaya.
“Ih bener, sebelum pada rame ngerumunin mereka, ada yang sempat dengar kalau mereka sebut-sebut nama lo. Ini si Tama memang aneh. Dia juga suka sama lo tapi pacaran gak jelas sama si Giselle. Ada apa sih sebenarnya?”
Ingin rasanya menjawab pertanyaan Axel barusan. Tapi Sora tidak ingin membuat orang-orang semakin membenci Giselle. Lagian dugaannya tadi belum tentu benar bukan?
Keempat orang itu menoleh saat seseorang kembali masuk ke dalam ruangan. Bersama selirnya.
“Back to work.” Tama memerintah sambil kembali ke meja kerjanya. Otomatis Kayla, Axel dan Jo meninggalkan meja Sora dan duduk di kursinya masing-masing.
Tama melihat meja Julian kosong. Sudah bisa ditebak sang kembaran sedang ada di mana.
“Lo semua nggak usah liat gue sebagai orang lain. Tetap liat gue sebagai teman kalian yang dulu. Atasan kalian di sini. Paham ya?” Tama meminta semua timnya untuk mengabaikan kejadian tadi. Dia ingin semuanya tetap sama seperti sedia kala.
“Tapi, Bos. Beneran lo dan Julian kembar? Kok nggak ada mirip-miripnya?” Dan Tama harus bersyukur punya bawahan cablak seperti Jo ini. Mereka cepat paham dengan instruksinya barusan. Ruangan langsung cair lagi.
“Long story. Intinya sejak kecil kita dibesarkan di tempat yang berbeda, dengan cara yang berbeda. Lagian nggak semua orang kembar harus mirip.” Tiba-tiba saja Julian masuk dan menjawab pertanyaan Jo. Padahal Tama sudah siap-siap menjawab dengan kalimat yang sama.
“Correct. Dan siapa yang menyandang nama belakang direktur, dia lah yang selama ini hidup dengan segala kenyamanan dan bergelimang harta,” timpal Tama cuek.
Julian sudah duduk di kursinya juga. “Itu pilihan lo sendiri. Jangan nyalahin orang lain.”
“Kayaknya ada history panjang yang sebenarnya seru kalau diceritakan ke kita-kita. Tapi kayaknya tunggu lo berdua adem dulu. Stop berantem guys.” Axel langsung menengahi. “Sekarang kita semua lagi shock karena ternyata kalian adalah saudara kembar. Dan seisi gedung ini juga pasti penasaran kenapa kalian ada di sini, alih-alih jadi petinggi di perusahaan. Kalian nggak lagi ada misi or something ‘kan?”
Lah? Sora kaget mendengar pertanyaan polos Axel. Pakai acara ditanya secara gamblang. Ya mana mungkin mau ngaku.
Tidak ada yang menjawab, baik Tama maupun Julian. Dan setelah itu Axel mengangkat kedua pundaknya tanda menyerah. Sadar karena barusan dia sudah bertanya sesuatu yang sedikit privasi.
“Lo berdua nggak mau jawab juga nggak apa-apa. Yang jelas, kita di sini maunya lo berdua akur, jangan gontok-gontokan lagi. Jangan bikin nama divisi kita jelek, guys. Gimanapun kita udah solid dari dulu. Harusnya tambah solid lagi karena ada saudara kembar di sini. Anak direktur pulak. Harusnya habis ini kita makin sering hang out keluar, dibayarin sama kalian.”
Sebuah bola kertas yang mengenai jidat Axel menjadi penutup pidato dadakan laki-laki itu. Dan datangnya sudah jelas dari arah samping. Siapa lagi kalau bukan si Jo?
***
Malam harinya Sora tak kunjung bisa terpejam. Mengetahui fakta kalau Tama adalah anak direktur di tempat dia bekerja, menimbulkan sedikit ‘rasa’ lain yang membuat dirinya seperti sedang hidup di dimensi lain. Aneh. Tapi inilah kenyataannya. Satu hal yang tidak pernah diduga oleh siapapun.
Kembali, Sora mengingat sepenggal kalimat yang terlontar dari Tama maupun Julian. Tentang masa lalu mereka yang sepertinya tidak terlalu baik. Kalau kata Julian, mereka dibesarkan di tempat yang berbeda, dengan cara yang berbeda pula. Apakah itu yang membuat Tama lebih memilih memakai nama ‘Wijaya’ dari pada ‘Atmaja’? Apa Wijaya adalah nama keluarga yang sudah mengasuh Tama sejak kecil? Apa keluarga itulah yang sudah menempa Tama menjadi pribadi yang keras seperti sekarang? Jauh berbeda dengan Julian yang lebih kalem dan tenang.
Sora gelisah. Rasa ingin taunya teramat tinggi. Tapi jelas dia tidak akan mencampuri urusan laki-laki itu. Ingat ‘kan, mereka sudah tidak sedekat dulu lagi?
Tapi ngomong-ngomong, tumben laki-laki itu tidak datang? Tanpa sadar sejak tadi Sora menunggu. Bukankah dia harus mengambil ponselnya? Ponsel yang berisi ratusan foto-foto Sora baik selfie maupun candid. Ck. Bagaimana mungkin dia tega menghapus kalau memang itu sangat berarti bagi Tama?
Waktu kembali bergulir. Ponsel itu tak berhenti bergetar. Banyak notifikasi masuk, entah dari WA, IG dan yang lainnya. Sora harus menahan diri dari godaan untuk memeriksa pesan-pesan tersebut. Cukuplah dia diberi kebebasan untuk membuka galeri. Itu juga sudah merupakan sebuah privilege, karena dia bisa menikmati foto-foto selfi Tama juga.
Pukul sepuluh malam, Sora memutuskan untuk keluar dari kamar. Melihat ruang tamu yang kosong, hatinya ikut-ikutan kosong. Ponsel di tangannya hampir kehabisan daya. Dia tidak punya pengisi daya yang sejenis. Sora juga penasaran apakah Tama sudah pulang dan ada di apartemennya. Kalau ada, dia akan mengembalikan benda ini dan kembali sesegera mungkin.
Perempuan itu membuka pintu dan kembali menutupnya dari luar. Melangkah dengan ragu ke depan pintu apartemen Tama yang hanya berjarak tiga langkah. Dia mulai mengetuk pelan.
“Tam, lo ada di dalam?” tanyanya dengan nada normal.
Tidak ada sahutan.
Ah, bukankah tadi siang direktur menyuruhnya untuk pulang ke rumah? Bodoh! Kenapa Sora bisa lupa? Tama dan Julian pasti sedang ada di sana sekarang. Menunggu sampai karatan pun, Tama tidak akan pulang malam ini.
Sepertinya laki-laki itu memang tidak terlalu membutuhkan ponsel. Sora akan menyerahkannya besok pagi saja.
Dia sudah berbalik saat pintu tiba-tiba terbuka dan tangannya ditarik seseorang dari dalam. Dan selang tiga detik kemudian, tubuhnya sudah menempel di balik pintu yang sudah kembali tertutup, diapit sebuah tubuh besar yang sedang tidak memakai atasan, alias top less.
Napas Sora tercekat. Ternyata dia ada di sini. Tapi kenapa tidak mampir ke sebelah seperti biasanya?
“Kenapa lo lama banget? Gue nungguin lo dari tadi,” tanya pria itu dengan suara berat. Keningnya kini diadu dengan kening Sora yang masih tidak bisa berkutik.
“I—ini… hape lo. Low bat. Gue… gue nggak punya casannya,” jawab Sora terbata. Entah apa alasan dia kehilangan fokus selama beberapa detik tadi.
“Sepertinya lo menghapus sangat banyak foto, sampai harus mengembalikannya semalam ini.”
…
Tama mengangkat dagu Sora, menanti jawaban. “Tell me, Sora. Berapa foto yang lo delete dari ratusan foto yang gue punya?”
Sora menggeleng. “Jangankan menghapus. Gue bahkan nggak berhasil membuka HP lo,” dusta Sora.
“Oh ya?” Tama tersenyum miring. Kemudian dia mengangkat tangan kirinya. Menunjuk dengan dagu sebuah smart watch yang masih melingkar di pergelangan tangan. “Tapi semua aktifitas lo kebaca di sini, Nona.”
Sial! Sora lupa kalau smart watch itu adalah jalan pintas untuk Tama kalau malas buka HP. Dan…
“Pantas aja lo nggak keberatan ngasih HP lo ke gue. Dasar brengsek!” Sora menempelkan benda yang ada di dalam genggamannya ke dada Tama yang liat. Six pack-nya sungguh menggoda iman.
“Sora, sekalipun gue bucin ke lo, gue tetap ingat kalau hampir delapan puluh persen kerjaan gue ada di ponsel itu. Gue hanya pengen lo tau kalau gue nggak pernah ngelupain lo. Di saat lo menjauh dari gue, foto-foto itulah yang menjadi pengobat rindu gue ke lo. Dan gue semakin yakin kalau ini hanya sementara. Ini hanya persoalan waktu.”
Sora sangat mengerti arah ucapan Tama. Dia pasti sedang membahas ‘misi’ itu.
“Kemarin lo bilang, lo pacaran sama Giselle hanya demi misi itu. Dan setelah Giselle tau lo adalah anak direktur, apa lo pikir dia akan rela lo tinggalin setelah semuanya selesai?”
“Memangnya kenapa? Apa lo mulai mempertimbangkan untuk kembali ke gue?”
Sora menepis tangan Tama dari pipinya. “Nggak ada yang kembali. Kita nggak pernah punya hubungan apa-apa, Tam. Lagian… kalaupun ada, yang seharusnya kembali itu adalah orang yang terlebih dulu pergi meninggalkan. Dan itu adalah lo. Bukan gue.”
Tama termangu. Menatap Sora dengan rasa bersalah yang mulai merasuk sanubari.
“Setelah status gue terungkap, bukankah seharusnya lo sudah bisa menebak apa misi yang gue maksud? Seharusnya lo paham tujuan gue, Ra.” Suara pria itu kembali melemah.
“Hm-m. Sekarang gue paham. Tapi… gue nggak akan bisa lupa gimana lo mematahkan hati gue malam itu. Kata-kata lo sudah merobek harga diri gue, sebagai perempuan yang sudah berbagi segalanya dengan lo selama berbulan-bulan.”
Napas Tama tertahan. Wajah tampannya berubah pias.
“Dan lagi… di depan Giselle lo ngaku nggak pernah tidur sama gue.” Mata perempuan itu sudah berkilat. Hidungnya juga mulai kembang kempis menahan perih. "Gue tau itu aib yang mungkin mustahil untuk diakui, tapi... rasanya seperti terbuang dan nggak dianggap sama sekali."
“Sora….” Tama kelimpungan. Dari mana Sora tau tentang ini? Giselle? Dasar brengsek!
Kedua tangan laki-laki itu bergerak merangkum pipi Sora dan mendekatkan wajah mereka. “Tell me, Giselle bilang apa aja. Dan kapan dia bilang itu ke Lo?"
"Beberapa hari yang lalu, pas kita nggak sengaja ketemu di pantry buat ambil minum."
Dan ingatan Tama pun langsung melayang ke hari dimana dia salah sebut nama perempuan ini di hadapan Giselle.
"Udah gue duga. Kayaknya dia sengaja ngekorin lo, karena gue nggak liat kapan dia keluar dari ruangan."
Sora tidak merespon.
"Lo hanya boleh percaya sama gue, Ra.”
“Jadi, menurut lo Salsa bohong tentang penyangkalan lo yang udah pernah tidur dengan gue?”
“Itu… itu hanya demi misi ini. Tolong mengerti, Ra” mohon Tama serius. Dia tidak tau kalau ucapannya akan dijadikan sebagai senjata oleh Giselle. Dia merasa kecolongan dan menyesal.
“Iya, Tam. Gue ngerti. Tapi kalau gue minta sesuatu dari lo, gue juga harus kabulkan itu.”
Dahi Tama berkerut. Perasannya bilang ini bukanlah sesuatu yang baik.
“Apa? Lo jangan minta yang aneh-aneh.”
“Stay away from me, Tama. Jaga jarak dengan gue. Gue serius.”
***