NovelToon NovelToon
Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Poligami / Janda / Harem / Ibu Mertua Kejam / Tumbal
Popularitas:9.7k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~

Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.

~

Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.

~

Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keanehan Sumi

Sumi tersenyum kecut sambil meletakkan mangkuk yang sudah kosong ke meja pedagang. 

"Tidak, Mbok. Setelah terakhir datang bulan, itu jatah gilir Kangmas bersama Pariyem–satu pekan," jawabnya dengan berbisik. "Lalu setelah ini Lastri. Tidak mungkin saya isi."

Tapi begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, kelebatan memori tentang malam yang ia lewatkan bersama Martin membuat jantungnya berdebar kencang. Bagaimana jika ia hamil setelah semalam?

Sumi cepat-cepat mengusir pikiran itu. Tidak mungkin, pikirnya. Lima belas tahun rahimnya kosong, dan tidak akan mungkin hamil dengan hanya satu malam bersama pria lain.

Tapi bayangan tentang apa yang mereka lakukan—berkali-kali, tanpa rasa lelah—membuat sekujur kulitnya meremang. Benar-benar aneh. 

Sumi menggelengkan kepala, berusaha mengusir ingatan yang terus bermunculan, tapi mengingat ritual telur bulus yang telah dilakukannya, Sumi semakin was-was. 

Dari sudut matanya, ia melihat seorang tukang jamu gendong berjalan di kejauhan.

"Mbok," panggilnya pada Mbok Sinem. "Tolong belikan saya beberapa buah-buahan. Salak dan rambutan, kalau ada."

Ia mengeluarkan uang dari kantung kecil yang terselip di dalam stagennya dan memberikannya pada Mbok Sinem. Setelah abdinya pergi, Sumi memanggil tukang jamu yang kebetulan lewat di dekatnya.

"Mbok Jamu, ke sini sebentar."

Tukang jamu itu menghampiri dengan wajah ramah, mengenali pelanggan bangsawan yang berpotensi membayar lebih. Ia meletakkan keranjang anyaman bambunya ke tanah, lalu berlutut.

"Ndoro Ayu mau jamu apa? Rapet wangi? Galian singset?" tawarnya, menyebutkan jamu-jamu yang biasa diminati perempuan bangsawan untuk menjaga kecantikan dan kepuasan suami.

Sumi tersenyum tipis. "Jamu lancar datang bulan, Mbok. Datang bulan saya biar lancar."

Jamu untuk melancarkan haid adalah cara umum yang digunakan perempuan Jawa untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan pada tahap awal. 

Sambil memandangi tukang jamu yang bersenandung lagu Jawa sambil mengaduk campuran ramuan dengan cangkir bambunya, Sumi merasakan penyesalan yang mendalam. 

Rasanya ia menyesal datang ke dukun. Bukannya menyelesaikan masalah, melakukan apa yang disarankan Ki Jayengrana justru memberinya masalah baru yang lebih pelik.

Bagaimana jika ritual itu ampuh dan dia hamil anak Martin? Hidupnya benar-benar akan hancur. 

Suaminya pasti akan menceraikannya, bukan karena tidak bisa memberikan keturunan, tapi karena memberikan keturunan untuk lelaki lain. 

Nama keluarganya akan tercoreng, dan ia akan diusir dari lingkaran bangsawan dengan aib yang tak terhapuskan.

"Monggo … ini jamunya, Ndoro," tukang jamu menyodorkan cangkir bambu berisi cairan coklat kehitaman yang beraroma pahit. 

Sumi meminumnya dalam beberapa tegukan cepat, menahan napas agar tidak terlalu merasakan pahitnya. 

Tukang jamu, menuangkan botol kaca berisi beras kencur ke dalam gelas Sumi, rasa manis dari ramuan itu menghilangkan pahit yang getir.

Segera setelah itu, Mbok Sinem kembali dengan anyaman daun lontar yang berisi buah-buahan segar, tepat saat Sumi mengembalikan cangkir bambu pada tukang jamu dan membayar.

"Ndoro minum jamu apa?" tanya Mbok Sinem, tatapannya penuh selidik.

"Jamu biasa, Mbok," jawab Sumi, menghindari tatapan abdinya. "Ayo kita pulang. Cari delman yang bisa mengantar kita ke rumah."

Mereka menaiki delman yang membawa mereka kembali ke Dalem Prawirataman. Sepanjang perjalanan, Sumi terdiam, kata-kata Martin yang meminta pertanggungjawabannya terus terngiang, membuatnya semakin ketakutan.

Setibanya di rumah, Sumi merasa lega mendapati sang suami tidak ada. Sepertinya Raden Mas Soedarsono memang tidak pulang semalam, mungkin menginap di Kadipaten.

"Mbok, tolong siapkan sarapan lagi untuk saya," perintahnya pada Mbok Sinem begitu mereka masuk ke rumah. "Saya masih sangat lapar."

Sementara Mbok Sinem berlalu ke dapur, Sumi bergegas ke kamarnya, tidak sabar untuk membersihkan diri. 

Ia merasa kotor, tidak hanya secara fisik tapi juga spiritual. Jika ia punya pilihan, Sumi ingin membersihkan tidak hanya tubuhnya, tapi juga ingatannya tentang malam itu.

Dengan tergesa ia membuka pakaiannya yang terasa lembab oleh embun malam dan lumut batu. 

Di depan cermin besar berbingkai kayu ukir, Sumi terpaku. Tubuhnya dipenuhi tanda-tanda kemerahan yang mulai menggelap, terutama di sekitar leher, bahu, dan dada. Bukti nyata dari apa yang terjadi semalam, yang tidak bisa ia sangkal.

Ada campuran rasa jijik dan gairah yang membingungkan, yang membuat Sumi semakin membenci dirinya sendiri.

Ia buru-buru ke pekiwan khusus—kamar mandi pribadi—untuknya. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tidak meminta Mbok Sinem untuk membantunya menggosok tubuh. 

Sumi menggosok tubuhnya sendiri dengan lulur berbahan kunyit, jeruk nipis, dan beras yang biasanya digunakan untuk menghaluskan kulit. 

Ia menggosok dengan kekuatan berlebih, seakan dengan itu bisa menghilangkan bekas-bekas yang ditinggalkan Martin di tubuhnya.

Bukannya hilang, kulit di sekitar tanda-tanda itu justru semakin kemerahan dan pedih. Tapi rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan sakit di hatinya. 

Sumi mandi sambil menangis, menyiramkan sebanyak mungkin air dingin dari bak mandi besar di kamar mandi ke tubuhnya.

Usai mandi, Sumi mengenakan kebaya hijau dengan kerah tinggi, sengaja memilih model yang bisa menutupi bekas-bekas kemerahan semalam yang kini semakin menggelap. 

Untuk bekas yang masih terlihat di leher, ia mengaburkannya dengan cara mengeriknya menggunakan koin, sehingga terlihat seperti baru saja selesai melakukan "kerokan"—pengobatan tradisional Jawa untuk masuk angin.

Di depan cermin, Sumi memeriksa penampilannya dengan saksama. Kebaya hijau muda dengan sulaman halus di bagian dada tampak sempurna membungkus tubuhnya. 

Sanggulnya ditata sederhana namun rapi, dihiasi tusuk konde perak bermotif bunga melati yang sederhana serta rangkaian bunga melati segar.

Dengan penampilan yang sudah sempurna, Sumi melangkah menuju ruang makan. Bubur di pasar tadi jauh dari rasa cukup, dan setelah mandi, ia kembali merasa kelaparan. 

Aneh sekali, biasanya ia hanya butuh sedikit makanan untuk merasa kenyang. Tapi sejak pagi ini, perutnya seperti lubang tanpa dasar.

Sumi duduk seorang diri di meja makan besar yang biasanya digunakan untuk keluarga dan tamu penting. 

Para abdi telah menyiapkan sarapan lengkap—nasi putih, semur ayam, sayur lodeh, dan beberapa lauk pendamping lainnya. 

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Sumi mengambil nasi, menatapnya dalam piring porselen putih yang biasanya hanya ia isi satu centong nasi.

Ia makan dengan terburu-buru, sesekali menoleh ke kanan dan kiri, berharap tak ada yang melihat caranya yang tidak seperti biasa. 

Mbok Sinem sengaja ia tugaskan untuk menyiapkan segala keperluan pijat, menjauhkannya dari ruang makan agar tidak melihat kelaparan aneh yang dialaminya.

Sumi memandangi potongan ayam semur di hadapannya. Ia sudah menghabiskan dua potong—dua kali lebih banyak dari porsi normalnya. 

Tapi perutnya masih terasa kosong, seolah belum menerima makanan sama sekali. Setelah memastikan tidak ada abdi yang melintas di dekat ruang makan, ia mengambil satu potong lagi, memakannya dengan lahap.

"Ndoro Ayu sudah selesai?" tanya seorang abdi muda yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

Sumi tersentak kaget, hampir tersedak. "Ya," jawabnya cepat, menyeka sudut bibirnya dengan serbet. "Bawa semuanya ke dapur, ganti juga taplak mejanya dengan yang bersih."

Abdi itu mengangguk patuh, meski matanya sedikit membelalak melihat piring-piring yang hampir kosong. 

Tidak biasanya Raden Ayu menghabiskan makanan sebanyak itu. Tapi tentu saja, sebagai abdi yang tahu etika, ia tidak berkomentar.

Setelah sarapan, seperti rutinitas hariannya, Sumi berkeliling Dalem Prawirataman untuk memantau pekerjaan para abdi. 

Kali ini, ia harus berjuang melawan kantuk yang terus menyerang. Berkali-kali ia menutup mulutnya yang menguap dengan kipas lipat, berusaha tetap terjaga saat memantau para abdi yang sedang membersihkan pendopo dan menyiram tanaman.

Saat melewati gandhok sebelah barat—paviliun di sisi barat yang menjadi kediaman Pariyem—Sumi mendengar teriakan kasar perempuan muda itu pada seorang abdi dalem.

"Bawa ayamnya ke sini!" suara Pariyem terdengar melengking pada abdi yang membereskan meja makan. “Kenapa hanya ada telur di sini? Ndoro mas kan tidak pulang, seharusnya masih ada sisa banyak ayam, pasti kalian yang makan.”

Sumi menghela napas panjang. Ia menghampiri gandhok kulon dan berdiri di ambang pintu ruang depan. 

Di sana, Pariyem duduk di kursi, makan daging ayam dengan rakus. Gadis muda yang dulu bertubuh ramping itu kini tampak gemuk dengan pipi bulat dan perut yang membuncit. 

Sumi berdeham keras, membuat Pariyem tersedak kaget.

"Ehh ... Ndoro Ayu," sapanya dengan buru-buru meletakkan potongan paha ayam semur.

Sumi berdiri dengan anggun, mengamati meja di mana berbagai toples kaca berisi kue-kue kering tersusun rapi. Beberapa di antaranya sudah hampir kosong, padahal baru diisi kemarin.

"Ndoro Ayu? Saya kira menginap di Kadipaten dengan Ndoro Mas," ucap Pariyem, suaranya dibuat-buat manis.

"Tidak, saya pulang lebih dulu. Tidak enak badan," jawab Sumi, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan Pariyem.

Secara otomatis, Pariyem berpindah dari kursinya ke lantai kayu, duduk bersimpuh—posisi yang menunjukkan perbedaan status antara garwo padmi dan garwo ampil. Meski dalam satu rumah, hierarki tetap sangat ketat.

Sumi memandangi Pariyem sejenak, matanya menelusuri perut perempuan muda itu yang semakin hari semakin membesar. 

"Kamu belum datang bulan juga, Yem?" tanya Sumi langsung.

Pariyem tergagap, "Su-ehh ... belum, Ndoro."

Sumi mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Pariyem yang mulai berkeringat. 

"Hati-hati, Yem, kamu jangan sampai bohong. Kalau bohong, Kangmas Soedarsono pasti akan marah besar. Nanti yang akan disalahkan saya lagi."

Ia membuka kipasnya perlahan, mengipasi wajahnya yang mulai berkeringat—entah karena udara yang memang panas atau efek dari ritual semalam. 

"Saya pilih kamu karena kamu masih sangat muda. Ibumu anaknya saja sembilan. Saya kasihan dengan ibumu, kerja keras di sini, malah bapakmu minggat dengan perempuan lain yang lebih muda."

Pariyem menunduk, tidak berani menatap langsung mata Sumi yang menusuk.

"Ibumu sebelum kerja di sini, kerja di rumah orangtua saya dari masih gadis. Jadi kamu harus tahu diri, Yem," lanjut Sumi, nada suaranya tetap tenang namun tajam. "Jangan karena kamu manis dan kuangkat jadi garwo ampil Kangmas, kamu melunjak, tidak tahu aturan, tidak tahu sopan santun, sesuka hati memerintah yang lain."

Sumi melirik pakaian Pariyem yang tampak berlebihan dengan perhiasan emas yang mencolok. 

"Uang yang saya beri, kamu gunakan untuk membeli pakaian baru terus, perhiasan. Ibumu saya lihat pakaiannya masih itu-itu saja, cuma pakai jarik dan kemben. Apa tidak bisa uang itu kamu belikan kebaya satu? Kamu jangan jadi kacang lupa kulit, Yem."

Matanya beralih ke tubuh Pariyem yang semakin membesar. "Lihat badan kamu. Awal kamu menikah dengan Kangmas kurus, sekarang besarnya tiga kali lipat. Dulu Kangmas tertarik melihat kamu awal-awal kerja. Jangan sampai nanti Kangmas malas denganmu. Jaga badan tetap bagus. Ingat delapan adik-adikmu, Yem."

Sumi menutupkan kipas lipatnya ke mulut, menahan kantuk yang kembali menyerang. Ia harus tetap tampak berwibawa di hadapan selir muda ini, tak boleh menunjukkan kelemahan.

"Aku saja yang keturunan ningrat dianggap sebelah mata oleh Kanjeng Ibu, apalagi kamu," lanjutnya setelah berhasil menguasai kantuknya. "Nanti saya yang kena sebagai garwo padmi, dianggap tidak bisa mengatur istri-istri suaminya, dikira tidak adil membagi uang. Kamu sudah diajari pakai kebaya yang rapi, tapi lihat itu pakaianmu berlipat-lipat semua, robek bagian ketiaknya."

Pariyem hanya bisa menunduk, tidak berani membantah. Kebayanya memang terlihat sesak di badan sampai kancing-kancingnya saling tertarik kencang, menunjukkan betapa cepatnya penambahan berat badannya dalam beberapa bulan terakhir.

Setelah merasa cukup memberikan peringatan pada Pariyem, Sumi bangkit dan beralih ke gandhok sebelah timur, tempat Lastri tinggal. 

Berbeda dengan Pariyem yang doyan makan, Lastri duduk di beranda dengan membatik. Badannya langsing cenderung kurus, berpakaian rapi dengan kebaya sederhana namun elegan.

"Selamat pagi, Ndoro Ayu," sapa Lastri dengan senyum ramah, segera meletakkan kain batiknya dan membungkuk dengan dua tangan membentuk sembah.

Sumi membalas dengan anggukan. "Jadwal datang bulanmu masih sepekan lagi, kan, Las?"

"Leres, Ndoro," jawab Lastri sopan.

"Mulai nanti malam Kangmas gilir di tempatmu, ya Las. Siapkan semuanya, pastikan kamar wangi."

"Inggih, Ndoro," Lastri mengangguk patuh.

"Jadi nanti pas kamu datang bulan, ganti giliran di tempat saya," lanjut Sumi, mengingatkan jadwal.

Usai dari tempat Lastri, Sumi kembali ke kamarnya di rumah utama. Di sana, Mbok Sinem sudah menyiapkan segala keperluan untuk pijat. 

Tukang pijat langganan keluarga Prawiratama, seorang perempuan tua bernama Mbok Darmi, sudah duduk di lantai menunggu.

"Mbok, pijat kaki saya saja," perintahnya pada Mbok Darmi. "Badan ke atas tidak usah."

Tanpa menunggu jawaban, Sumi membaringkan tubuhnya di dipan khusus untuk pijat. Baru saja tangan terampil Mbok Darmi mulai memijat kakinya dengan minyak khusus yang menguarkan wangi menenangkan, Sumi sudah tertidur pulas. 

Kelelahan fisik dan mental setelah malam yang panjang di Kedung Wulan akhirnya menguasai tubuhnya.

Mbok Sinem dan Mbok Darmi saling pandang dengan heran. Tidak biasanya Ndoro Ayu langsung tertidur saat dipijat. 

Biasanya ia akan terus berbicara, memberikan arahan, atau membahas pekerjaan rumah tangga dengan Mbok Sinem selama sesi pijat berlangsung.

"Ndoro Ayu sepertinya sangat lelah," bisik Mbok Darmi.

Mbok Sinem mengangguk tanpa berkata-kata. Ia tahu persis apa yang menyebabkan majikannya begitu kelelahan, tapi tentu saja ini rahasia yang harus ia jaga.

Mbok Darmi sambil memijat berbisik-bisik pada Mbok Darmi tentang skandal-skandal yang sedang hangat di antara para ningrat.

Saat pijatannya semakin naik ke atas, ia menemukan bekas merah gelap yang kontras dengan kulit sumi yang kuning langsat, tepat di paha bagian belakang, tak jauh di atas lutut.

“Ndoro ayu, habis jatuh ya, Nem?”

1
ian
tak tahu balas budi kamu yemm
ian
gimana rasa cemburu kang ???
puaaanaaaskan
Fetri Diani
sebagai istri nomor tiga yg selalu dinomor tiga kan.... lahh.. salahnya dimana jal yem? /Facepalm/ ada2 sj ndoro otor ini. /Joyful/
ian
pariyeeeeemmm kamu cari ulah sama emak2 netizen
ian
hadeuuh
Nina Puspitawati
kurangggggg....makin penasaran
Alea 21
Matur suwun up nya ndooroo..
Nina Puspitawati
face the world
Nina Puspitawati
semangat Sumi 😘
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
ndoro ayu sosok priyayi yg benar2 berdarah ningrat
ian
pedihnya sumi berasa sampai sini
Ratna Juwita Ningsih
aku sih dukung Sumi cerai... tapi aku takut dilaknat Allah...🤗
Jati Putro
Ndoro ayu Sumi nasib nya kurang mujur ,
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri
Okta Anindita
semangat Raden Ayu..jangan mau turun derajat,,ihhh apaan dari garwo padmi kok jadi garwo ampil,pasti makan hati banget
Rani
koyoe sing mandul sing lanang.nanti kalau cerai kan biar ketahuan.Retno gak punya2 anak.dan ternyata Pariyem hamil boongan.ben malu sisan Ndoro Ibune.jebule anak e dewe sing mandul
Tati st🍒🍒🍒
kalau g cerai terus hamil anak martin nanti jadi petaka,kalau ketauan ...cerai jadi cibiran dan hinaan...tapi kalau aku lebih baik cerai sih😅
Tati st🍒🍒🍒
istrimu baru dideketin martin aja kamu udah g suka,apakabar sumi yg di madu dah pasti hatinya sakit,perih
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
mgkin martin kebahagian mu to ntah lah suka2 author nya mau gimna yaaa kann
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
idihhh istri mana yg mau di madu terang2an mending mundur lah org selir aja udh 2 trp nglah ini mau nambah lagi dann apa mau di turunin jd seli mndg kaur aja mndg sm martin aja klo gtu
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
nahh ndoro ini bikin dag dig dug deh bacanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!