Prayitno, seorang pria miskin yang nekat merantau ke kota besar demi mencari ibunya yang hilang, justru terperangkap dalam kehidupan penuh penderitaan dan kesuraman. Setelah diusir dari kontrakan, ia dan keluarganya tinggal di rumah mewah milik Nyonya Suryati, yang ternyata menyimpan rahasia kelam. Teror mistis dan kematian tragis menghantui mereka, mengungkap sisi gelap pesugihan yang menuntut tumbal darah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sumur Tua
Langit sore itu kelabu, seolah tahu ada ritual yang akan membelah batas antara dunia manusia dan alam arwah.
Mbah Gondo dan para santri segera menuju ke halaman belakang. Di halaman belakang rumah Nyonya Suryati, semak belukar yang dulu tak terurus kini terbabat rapi. Para Santri tampak kelelahan setelah bekerja bakti membersihkan tempat itu. Mbah Gondo mulai menandai setiap sudut ruangan.
Di tengah halaman, berdiri sumur tua dengan batu bata hitam legam yang mengeluarkan hawa dingin.
Prayitno telah tiada. Namun perjuangannya belum usai. Nurul, bersama Aryo dan bantuan dari Mbah Gondo serta para santri dari pesantren tua di lereng Gunung Merbabu, bersiap menuntaskan kegelapan yang telah lama bersarang di rumah itu.
Ini adalah ritual terakhir untuk memutus hubungan sang penjaga dengan warisan leluhurnya.
Nurul menyimpan harapan besar. Berharap pengorbanan suaminya tak sia-sia. Ia berharap putranya bisa terbebas dari kutukan keluarga sang ayah.
"Semoga kamu jadi yang terakhir Mas, jangan biarkan mereka mengambil putra kita,"
Mbah Gondo berdiri di depan sumur. Matanya memejam, tangannya menelusuri dinding sumur yang retak.
“Sumur ini bukan sekadar sumber air. Ini adalah gerbang. Gerbang tumbal. Darah yang tertumpah di sini tidak pernah mengering.”
Aryo yang berdiri tak jauh darinya tampak pucat. Bocah itu menggenggam jimat pemberian ayahnya dengan erat. Tubuhnya gemetar, tapi tatapannya tetap menantang.
Nurul mendekati anaknya, merangkul bahunya. “Kita akan selesaikan ini, Le. Demi Ayah, demi semua korban.”
Mbah Gondo memberikan instruksi. Para santri mengelilingi sumur membentuk lingkaran, masing-masing membawa tongkat kayu jati, bunga tujuh rupa, dan kain kafan. Empat titik ditandai sebagai penjuru mata angin, timur, barat, utara, dan selatan. Di setiap titik ditancapkan tongkat dengan doa dan rapalan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
“Apa yang sebenarnya akan kita lakukan, Mbah?” tanya Nurul.
“Menutup gerbang ini. Tapi sebelum tertutup, arwah yang terikat akan keluar. Mereka haus darah. Tapi kita tidak akan mundur.”
Ritual pun dimulai. Mbah Gondo membuka kitab tua berisi doa-doa kuno dalam bahasa Jawa Kawi. Ia mulai melantunkan mantra, suaranya menggema, disambut angin dingin yang tiba-tiba berhembus.
Sumur itu bergetar. Asap hitam keluar perlahan dari mulutnya, mengepul ke udara seperti kabut malam. Lalu terdengar suara tangisan. Pelan, samar, tapi memilukan.
Aryo memegang kepalanya. “Ibu… dia… memanggilku lagi…” ucapnya dengan tatapan sendu
Nurul panik. Ia memeluk anaknya erat. “Jangan dengarkan suara itu. Kamu bersama ibu sekarang.”
Tapi suara itu semakin kuat. Tiba-tiba wajah-wajah muncul dari asap yang keluar dari dalam sumur. Perempuan muda, lelaki tua, anak-anak kecil. Wajah mereka penuh luka dan ketakutan. Roh para tumbal. Mereka tidak marah, mereka meminta tolong.
Salah satu roh mendekat ke arah Aryo. Sosoknya seperti perempuan tua dengan wajah membusuk, tapi matanya penuh duka. “Prayitno…” gumamnya.
“Anakku…”
Nurul tertegun.
“Itu… Ningsih?” jawabnya
Sosok itu tersenyum pilu sebelum memudar. Tapi kemudian, tanah di sekitar sumur pecah. Dari dalamnya, muncul sosok Nenek Mariani
tapi jauh berbeda dari tubuh renta sebelumnya. Kini, tubuhnya tinggi, melayang, dengan rambut panjang menjuntai hingga tanah, matanya merah menyala, dan kulitnya seperti tanah kering penuh retakan.
“Berani kalian mengganggu warisan ini?” raungnya.
“Tumbal belum lunas!”
Suara tawa menggema di seluruh halaman. Angin bertiup makin kencang, membuat salah satu santri terpental ke belakang. Nurul berdiri, menggenggam tasbih milik Prayitno.
“Kamu sudah cukup menelan banyak jiwa!” teriaknya.
“Kami akan mengakhiri semua ini!” imbuhnya
Makhluk itu melayang ke arah mereka, membuka mulutnya lebar-lebar, dari dalamnya keluar ribuan lintah hitam melata ke tanah. Para santri mengibaskan jubah dan membaca ayat-ayat untuk mengusirnya.
Mbah Gondo berteriak,
“Sekarang, tutup gerbangnya!”
Empat santri di empat penjuru membaca mantra secara serempak. Tongkat-tongkat yang mereka tanam memancarkan cahaya putih, membentuk lingkaran suci. Dari tanah, cahaya itu menarik satu per satu roh tumbal ke langit. Mereka menjerit, tapi suara jeritan itu bukan kesakitan melainkan kelegaan.
Namun Nenek Mariani tidak tinggal diam. Ia mengangkat kedua tangannya. Dari tanah, keluar tangan-tangan hitam yang mencoba menarik para santri ke dalam bumi.
Nurul melangkah maju, memegang tasbih erat-erat. Ia berdoa, dan dengan seluruh kekuatan cintanya kepada Prayitno dan putranya Danang.
Ia melantunkan ayat-ayat suci. Cahaya dari tasbih itu menyilaukan, menabrak tubuh Nenek Mariani hingga ia menjerit keras. Tubuhnya mulai retak, pecah menjadi pecahan arang yang beterbangan, lalu musnah tertelan pusaran cahaya.
Tanah kembali tenang. Sumur itu kini menyatu dengan bumi, tertutup oleh akar-akar yang saling mengikat. Cahaya lembut menyinari tempat itu.
Danang berbisik pelan, “Ayah bilang… dia akan pulang ke tempat yang tenang.”
Air mata mengalir di pipi Nurul. Ia memeluk anaknya, “Ayah sudah bebas sekarang, Nak. Kita semua sudah bebas.”
Langit yang semula mendung kini cerah. Burung-burung kecil mulai berkicau. Rumah besar milik Suryati yang sebelumnya penuh hawa gelap kini hanya terlihat sebagai bangunan tua biasa.
Mbah Gondo menghapus keringatnya.
“Sudah selesai. Tapi tempat ini tetap harus disegel. Tak boleh ada yang masuk lagi.”
Ia kemudian menyuruh para santri untuk menutup sumur dengan kain putih.
Santri-santri menggelar kain putih di sekeliling sumur. Mereka kemudian membaca doa-doa penutup, lalu meninggalkan halaman itu dalam keheningan yang damai.
Nurul menatap lekat rumah itu sebelum pergi meninggalkannya.
Ada rasa sedih mendalam saat ia harus kehilangan suaminya. Sebuah pengorbanan yang begitu berat, namun bagaimanapun juga ia harus mengikhlaskannya.
Aryo menggenggam erat jemari tangannya.
"Ikhlaskan ayah Bu, aku yakin dia bahagia sekarang karena sudah bisa mengakhiri semuanya," ucapnya lirih
Nurul mengangguk pelan. Ia kemudian memeluk putranya erat.
"Sekarang kamu adalah satu-satunya milik ibu yang tersisa, jangan pernah meninggalkan ibu ya le," bisik nya
Dari kejauhan, di bawah pohon beringin besar, terlihat siluet seorang pria berdiri. Ia menatap Nurul dan Aryo dengan senyum tipis. Cahaya menyoroti wajahnya. Itu… Prayitno. Atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai nya.
Nurul tersenyum menatap pria itu. Ia tahu suaminya sudah tenang, sudah lepas dari cengkeraman kegelapan. Pengorbanannya tidak sia-sia.
Mbah Gondo mengajak keduanya pulang. Pria itu tak lupa mengunci gerbang pintu rumah tua itu.
Ia menghela nafas panjang sebelum melangkah pergi.
"Semoga semuanya sudah berakhir, sekarang aku tinggal menemukan Raka," gumamnya
Tapi saat mereka pergi dan rumah itu ditinggalkan kosong, satu pintu di bawah tanah… perlahan terbuka. Angin dingin berhembus keluar. Asap hitam mengepul membentuk wajah seorang wanita.
Dan suara halus terdengar… “Satu lagi belum…”
jd ngeri