kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Mereka bertiga menikmati sarapan bersama di ruang makan mansion yang mewah. Suasana pagi itu terasa hangat dengan aroma masakan rumahan yang lezat.
Setelah piring-piring bersih dan cangkir-cangkir teh tandas, Oma menatap Axel dengan tatapan penuh arti. Sudah ia rencanakan, malam nanti ia akan mengajak Axel makan malam, sekaligus memperkenalkan pria itu kepada seorang wanita yang sudah ia pilih sebagai calon menantunya.
"Axel," panggil Oma lembut, namun dengan nada yang tak bisa dibantah. "Nanti malam Oma harap kamu datang kemari. Oma mau mengenalkan kamu sama seseorang."
Axel yang baru saja meneguk habis tehnya, sontak menaruh cangkir dengan suara sedikit keras. Raut wajahnya berubah datar. Ia sudah hafal betul kebiasaan Oma ini. "Maaf, Oma, Axel tidak bisa." Nada suaranya tegas, tanpa keraguan. "Dan tolong, jangan punya niat menjodohkan Axel lagi. Nanti kalau sudah waktunya, Axel pasti akan membawa calon istri Axel sendiri kemari." Tanpa menunggu balasan dari Oma, Axel berdiri dari kursinya, berbalik, dan melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Rico yang terdiam canggung.
Oma melotot, rahangnya mengeras karena kesal dengan sikap cucunya. "Axel! Oma belum selesai bicara!" desisnya geram, lalu pandangannya beralih pada Rico yang masih terpaku. "Lihat itu, tuanmu, Rico! Tidak ada sopan santunnya!"
Rico, yang tak ingin terjebak dalam perang dingin antara nenek dan cucu itu, segera menunduk hormat. "Rico pamit dulu ya, Oma." Ia bergegas menyusul Axel, meninggalkan Oma yang masih mendengus kesal di meja makan.
Sore Harinya...
Axel dan Rico melaju cepat di jalanan ibu kota yang mulai ramai. Setelah sekitar tiga puluh menit berkendara, mobil mewah mereka memasuki gerbang tinggi mansion pribadi milik Axel. Begitu mobil berhenti, Axel langsung turun. Tanpa membuang waktu, ia bergegas masuk ke dalam kamarnya, membersihkan diri di bawah shower, dan mengganti pakaian dengan setelan santai.
Setelah merasa segar dan nyaman dengan pakaian santai, Axel melangkah menuju balkon kamarnya yang menghadap ke kota. Ia mengeluarkan ponsel, lalu mencari kontak Rara.
Hari sudah menjelang senja, dan ia ingin memastikan gadis itu baik-baik saja.
Panggilan pertama… tidak diangkat.
Panggilan kedua… tetap tidak ada jawaban.
Axel menghela napas, sedikit khawatir. Namun, saat dering ketiga berbunyi, akhirnya terdengar suara Rara menyambut.
"Assalamualaikum, Rara..." salam Axel, nada suaranya penuh kelegaan.
"Waalaikumussalam, Mas," jawab Rara, namun suaranya terdahulu dibuat-buat merajuk. "Kok baru telepon sekarang, sih?"
Axel tersenyum tipis mendengar rengekan manja Rara. "Maaf ya, Sayang. Tadi Mas sampai langsung menemui Oma dulu, terus baru ke mansion ini. Makanya baru bisa telepon kamu." Ia menunggu respons, namun yang terdengar hanya keheningan. Kekhawatiran kembali menyelimuti.
"Sayang... Rara?" panggilnya lagi, kali ini lebih lembut dan hati-hati.
"I-iya, Mas," jawab Rara terbata, seperti ada yang menahan tangis.
Kecemasan Axel langsung memuncak. "Kamu tidak apa-apa kan, Sayang?" tanyanya cepat, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
"Tidak apa-apa, Mas," suara Rara mulai bergetar. "Rara cuma… kangen Nenek."
Axel mengerti sekarang. Rasa rindu dan kesedihan mendalam atas kepergian neneknya masih menghantui Rara.
"Hei, Sayang, jangan menangis, ya," bujuk Axel pelan, suaranya melembut. "Nenek sudah bahagia di sana. Oh ya, kamu sudah sarapan pagi belum? Jangan lupa diminum obatnya ya, Sayang." Ia berusaha mengalihkan perhatian Rara, memberikan perhatian yang hangat.
"Sudah, Mas," jawab Rara, suaranya kini sedikit lebih tenang. " rencananya saya dan Kak Maya mau membeli beberapa bunga untuk ditanam di taman belakang. Boleh, kan, Mas?"
Axel tersenyum simpul. Senang rasanya mendengar Rara kembali bersemangat. "Tentu saja boleh, Sayang. Asal jangan sampai kecapekan, ya. Ajak Steven juga, oke?" Perintah itu lebih mirip sebuah perhatian.
"Siap, Komandan!" seru Rara dengan tawa renyah, membuat Axel ikut tersenyum.
Mendengar tawa Rara, hati Axel terasa lebih ringan. Ia membiarkan Rara melanjutkan ceritanya tentang rencana menanam bunga, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengakhiri panggilan. Ia tahu, di sisi lain, tugas serius sudah menunggunya.
Tepat setelah ia menutup telepon, ketukan lembut terdengar di pintu kamarnya. "Masuk," sahut Axel. Pintu terbuka, menampakkan Tomy, asisten kepercayaannya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi serius.
"Maaf mengganggu, Tuan," ujar Tomy, melangkah masuk dan menyerahkan sebuah flashdisk hitam kepada Axel. "Saya ingin menyerahkan flashdisk ini. Isinya adalah hasil penyelidikan kami mengenai kematian Nenek Asih."
Wajah Axel langsung berubah. Senyumnya lenyap, digantikan raut serius. Ia menerima flashdisk itu, jemarinya memilin benda kecil tersebut. "Oke, Tom. Terima kasih." Ia memejamkan mata sesaat, memproses informasi yang baru saja ia terima. "Bonusmu akan saya transfer."
"Terima kasih, Bos." Tomy mengangguk hormat, lalu berbalik dan pergi, menuju markas tempat ia dan timnya bekerja. Ia meninggalkan Axel seorang diri, tenggelam dalam pikiran yang kembali diselimut kegelapan.
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu