Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang wanita kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan kekasih yang terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
SELAMAT MEMBACA
Adzan subuh berkumandang membangunkan Zevanya, gadis itu merenggangkan tubuh. Namun, tertahan oleh lengan kokoh yang melingkari perutnya. Ia menoleh dan mendapati wajah tampan sang suami yang masih setia bergelayut dengan mimpinya.
Zevanya melihat sekeliling dan ia baru teringat bahwa kemarin malam dirinya tertidur di sofa sembari menunggu suaminya ini pulang. Namun, sekarang dirinya tertidur nyaman di kasur empuk kamar. Membayangkan Wira yang menggendongnya membuat gadis itu malu, sekaligus meringis karena berat badannya sekarang mulai naik.
“Hais,” Zevanya mengetuk dahinya, tetapi tangan kokoh seseorang langsung menghentikannya.
“Kenapa menyakiti diri sendiri?” suara serak nan maskulin itu menyapa pendengaran Zevanya. Si gadis sontak menoleh dan mendapati Wira yang menatapnya dengan lembut.
“M-mas sudah bangun?” gadis itu malah balik bertanya dengan gagap.
“Tolong, jangan menyakiti dirimu lagi.” Tidak menjawab, Wira malah menjauhkan tangan Zevanya pada dahinya. Lalu tanpa persetujuan, pria itu mengecup kening Zevanya tepat dimana gadis itu mengetuknya.
“M-mas,” wajah Zevanya tentu saja merona. Ia pun berniat bangun untuk menghindar dari suaminya ini yang sudah membuat jantungnya tidak tenang.
“Sebentar lagi,” kata Wira tidak melepaskan, ia malah menenggelamkan wajah Zevanya ke dalam dada bidangnya dan ia sendiri mencium pucuk kepala istrinya berulang kali.
“Mas, kita belum subuhan.” Gadis itu mengingatkan, dan barulah Wira mau melepas. Pria itu bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu, sedangkan Zevanya mengambil sejadah dan mukena serta menyiapkan baju untuk suaminya.
Kedua pasutri itu bergantian menggunakan kamar mandi. Wira mengenakan baju dan sarung yang telah disiapkan sang istri. Keduanya pun melaksanakan sholat subuh secara berjamaah.
Wira mengulurkan tangan disambut Zevanya yang menciumnya dengan takjim. Gadis itu juga merasa Wira mencium ubun-ubunnya.
Mata Zevanya berkaca-kaca, sangat mensyukuri nikmat Allah yang memberikan jodoh seperti sosok suaminya. Pria ini begitu lembut memperlakukannya.
“Hei, kenapa menangis?” wajah Wira tampak khawatir, ia mengusap bulir bening yang membanjiri pipi sang istri.
Zevanya menggeleng tetapi dengan isakan semakin membuat Wira khawatir. Ia membantu istrinya melepaskan mukena lalu membawanya ke sofa kamar mereka.
“Ada apa hm? Ayo cerita?” katanya penuh perhatian. Tangannya yang kokoh membawa sang istri ke dalam dekapan hangat, perlahan isakan Zevanya terhenti. Gadis itu mulai tenang dari rasa yang begitu emosional.
Zevanya membalas pelukan Wira menenggelamkan wajahnya pada dada bidang pria itu, rasa tenang serta aman melingkupi.
“Aku sangat bahagia menjadi istri, Mas Wira.” Ungkap gadis itu dari hatinya.
Wira mengusap rambut Zevanya yang tergerai, “Bukan karena perlakukan mama yang keterlaluan padamu kemarin?” mengingat kembali cerita pelayan membuat dada Wira bergemuruh.
Gadis itu melepaskan pelukan mereka dan segera mendongak, “M-mas tahu dari mana?” katanya gugup. Zevanya memang berniat tidak menceritakan pada Wira terkait perlakuan mertuanya karena ia takut hubungan keluarga yang terlihat merenggang ini akan semakin buruk.
“Kamu jangan menutupi sesuatu dariku Zeva, kita sudah berkomitmen untuk saling terbuka.” Ujar Wira memandang lekat mata istrinya. Ia tidak ingin Zevanya menyimpan kesulitannya sendiri.
Zevanya tidak memiliki kata untuk membantah, akhirnya ia hanya bisa mengangguk. “Iya, Mas. Tapi nyo—Ibu hanya aku saja.” Jelas Zevanya tidak ingin mempermasalahkan, Wira berdecak tidak terima dengan alasan itu. Karena menantu perempuan pertama ibunya—istri Evrand itu diperlukan bak tuan putri di rumah ini.
Syukurlah saat ini perempuan itu tengah menjaga suaminya yang koma, kalau tidak mereka akan sering bertemu, membuat Wira muak.
***
Di meja makan, Ratna terlihat telah menepati kursinya di samping kursi tengah yang biasanya diduduki oleh Evrand sebagai kepala keluarga menggantikan ayah mereka—Harri Wirawan Sanjaya yang 10 tahun lalu telah meninggal.
Wira dan Zevanya saling pandang, Wira dapat melihat perubahan pada wajah Zevanya. Ia menggenggam tangan gadis itu untuk meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja.
Ratna telah menyantap makanannya tanpa menunggu anak dan menantu yang tak ingin ia akui. Tanpa menghiraukan kehadiran keduanya, wanita itu tetap hikmat melanjutkan makannya yang tersisa setengah.
Wira menarik kursi terlebih dahulu untuk sang istri, barulah ia menarik kursi untuk dirinya sendiri. Zevanya mengambil makanan dan memindahkannya ke dalam piring yang kemudian ia berikan pada Wira.
Pria itu tersenyum menerima piring yang disodorkan sang istri untuk sarapannya, ia kemudian mengisi air ke dalam gelas lalu menyimpannya di dekat Zevanya. Dan semua itu tidak luput dari pandangan Ratna yang selalu mencuri pandang pada keduanya sejak tadi.
Wanita itu memandang sedikit risih, apalagi pada perhatian sang anak pada gadis itu. Ini membuat Ratna berpikir, bahwa selera sang anak menurut dalam memilih pasangan.
Ketiganya menikmati sarapan dengan hikmat, tidak ada yang membuka obrolan, suasana terlihat tenang dengan sesekali diisi dentingan sendok dan piring yang beradu.
Selesai menikmati sarapan, Ratna mengusap mulut dengan pelan. Lirikan matanya tajam pada Zevanya, memindai cara makannya yang kaku. Gadis itu pasti tidak terbiasa menggunakan sendok dan garpu serta pisau makan untuk memotong. Wanita itu menggeleng dengan senyum mengejek.
Tatapannya berpindah pada sang anak, dan wajahnya berangsur biasa tak kala tatapan datar itu mengarah padanya.
“Oh ya, Wira. Bagaimana keadaan kantor, apa semuanya baik-baik saja?” Ratna memulai obrolan tak kala mereka semua telah menghabiskan sarapan.
Wira yang ingin beranjak dengan mengajak Zevanya menjadi mengurungkan niat. “Semuanya baik-baik saja dan tampak stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sekretaris Steven adalah orang yang sangat berdedikasi. Bahkan jam pulang pun dia yang mengatur,” suara Wira terdengar menyindir. Ia tahu Steven berlaku seperti itu atas perintah ibunya yang menginginkan dirinya harus seperti anak kesayangannya—Evrand. Tetapi bukan Wira namanya jika patuh atas semua keinginan sang ibu.
Ratna sama sekali tidak tersinggung atas sindiran itu. “Hm, Mama senang mendengarnya. Tetapi kamu jangan lengah, contohi kakakmu yang bekerja dengan serius tanpa membuang waktu dengan bermain-main.” Katanya sembari melirik pada Zevanya.
Wira memutar bola matanya malas, “Aku bukan Evrand!” katanya singkat. Ratna sejenak tertegun.
“Oh ya Ma, tolong perhatikan kebutuhan rumah.” Segala kebutuhan dan keperluan rumah adalah tanggung jawab Ratna yang mengaturnya dan jika ada yang mempertanyakan tentu membuat ia tersinggung.
“Maksudmu?” wanita itu menaikkan salah satu alisnya.
“Mama seperti kekurangan pelayan sampai menyuruh istriku bekerja sangat keras kemarin,” singgung pria itu. Tidak hanya wajah Ratna yang berubah karena tersinggung, tetapi juga Zevanya yang tanpa pias. Padahal ia sudah mewanti-wanti agar suaminya ini tidak mempermasalahkan.
“Dan kamu juga, Dek. Di rumah istirahat aja. Tidak usah melakukan apa pun, aku kerja kan buat kamu.” Wira menarik istrinya dengan lembut, tanpa berpamitan pada Ratna sama sekali. “Lagi pula apa pun yang kita lakukan tidak akan terlihat baik di hadapan orang yang tidak tepat,” lanjut Wira sedikit mengeraskan suara.
“Mas,” Zevanya melirik mertuanya yang kini berwajah datar, sepertinya wanita itu mendengar apa yang anaknya katakan.