Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 - Hujan
"Li...liana?" gumamnya, nyaris tanpa suara. Namun, tak ada jawaban sama sekali.
Ia menatap tempat itu beberapa lama, bahkan bayangan pun tak tertinggal. Hanya udara dingin yang perlahan masuk ke balik jaketnya, membawa rasa kehilangan yang begitu tiba-tiba. Sama seperti sebelumnya, saat hujan berhenti dan Liliana menghilang untuk pertama kalinya.
Sean memejamkan matanya, menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mulai kacau.
Dia tahu, hujan adalah satu-satunya jembatan antara dirinya dan Liliana.
Dan kini, dengan langit yang mulai membuka tirainya, Sean harus menerima bahwa pertemuan mereka kembali berakhir. Namun, hal yang membedakan kali ini adalah rasa di dadanya bukan hanya kehilangan, tapi juga keyakinan bahwa cinta mereka tak lagi sekadar kebetulan.
Ia menghela napas panjang, lalu perlahan tersenyum kecil, meski matanya berkaca-kaca.
"Kalau hujan kembali turun, aku akan menunggumu."
Sean yang masih duduk di pinggir jalan dengan celana basah kuyup, menatap tajam ke langit yang kini sepenuhnya cerah. Ia mendesah kesal, mengingat betapa yakin dirinya terhadap ramalan cuaca yang mengatakan hujan akan turun selama seminggu penuh, padahal ini baru hari kedua.
Dengan emosi yang menumpuk, Sean menendang sebuah batu kecil di jalan dan batu-batu itu terpental, memantul beberapa kali, Sean terus menendangnya dengan kesal hingga akhirnya dia kehilangan keseimbangan dan jatuh langsung ke dalam genangan air yang tersisa di tepi trotoar.
Air membasahi bajunya lebih parah, dan ketika Sean bersiap mengumpat, suara tawa familiar terdengar dari arah belakang.
"Hahaha! Sean? Seriusan? Lu masih aja bisa nyemplung kayak bocah!" ujar Elio sambil menahan tawa, berdiri di pinggir jalan dengan jaket kulit dan senyuman menyebalkan khasnya.
Sean mendesah berat, merasa harga dirinya baru saja dirobek oleh genangan dan tawa temannya.
"Apa-apaan sih, Elio... jangan ketawa kek orang gila," gerutu Sean, berusaha bangkit sambil mengibas-ngibaskan lengan bajunya.
"Udah-udah, sini! Kebetulan banget gue mau ketemu anak-anak, lo ikut gue aja! Siapa tau bisa bikin lo lupa dikit sama—" Elio menghentikan kalimatnya, lalu menyeringai, "Yah, lo taulah siapa."
Sean memicingkan mata. "Gue nggak cerita apa-apa soal itu ke lo."
"Lo nggak perlu," jawab Elio sambil menepuk punggung Sean. "Dari muka lo yang udah kayak orang ditinggal tunangan, gue udah bisa nebak."
Meski malas, Sean akhirnya mengangguk pelan dan mengikuti Elio.
"Ayo deh, tapi jangan berharap gue bisa ketawa."
"Tenang, bro! Kita bukan ngajak ketawa, kita ngajak ngelupain, gimana pun juga lu harusnya tau perempuan secantik dia ga mungkin bakal mau sama laki-laki biasa seperti kita."
Mereka pun berjalan bersama menuju tempat nongkrong anak-anak, sementara di dalam hati Sean, sosok Liliana masih terukir jelas, seakan-akan hujan belum benar-benar berakhir.
Baru saja Elio dan Sean sampai di tongkrongan, suasananya sudah riuh dengan tawa dan obrolan para teman Elio yang sudah berkumpul terlebih dulu di bangku panjang depan sebuah warung kopi penuh, bau kopi hitam, asap rokok, dan suara denting sendok di gelas kaca menyatu dalam hangatnya pertemuan malam itu.
Elio langsung menarik Sean lebih dekat, menepuk punggungnya.
"Guys, ini Sean temen gua yang sering gue ceritain itu, penulis yang katanya selalu galau tapi novelnya best seller," ujar Elio sambil tertawa.
Beberapa dari mereka menyambut dengan senyum ramah dan anggukan, menyodorkan tangan dan memperkenalkan diri.
Sean mencoba tersenyum, menyapa seadanya, meski hatinya masih berat dan pikirannya belum bisa lepas dari Liliana.
Namun saat itu juga, tetesan air hujan yang tipis dan tidak pasti mulai turun dari langit malam.
Beberapa orang langsung bergumam, "Hujan lagi?" dan beranjak masuk ke dalam warung kopi, membawa gelas dan obrolan mereka.
Tapi Sean—dia langsung membeku, napasnya terhenti sejenak.
Dia menatap ke langit lalu ke sekeliling, seakan mencari sesuatu atau seseorang.
Tanpa banyak bicara, Sean langsung berdiri dan berkata, "Maaf, Elio, gue harus pergi!"
"Eh? Lah, Sean!?" Elio belum sempat menghentikannya saat Sean sudah berlari meninggalkan kerumunan, melewati pinggir jalan, menerobos tetesan air yang mulai turun, seakan nalurinya membawa dia kembali ke tempat yang semestinya untuk mencari keberadaan Liliana.
Sedangkan di sisi lain, Liliana kini berada di ruangan yang gelap dan terasa hening, itulah hal pertama yang Liliana rasakan saat tiba-tiba tubuhnya ditarik oleh kekuatan yang tak kasatmata, seolah ruang dan waktu melipat dia dengan sendirinya. Dunia di sekelilingnya kini gelap gulita, tidak ada cahaya, tidak ada arah, tidak ada suara, hanya dirinya dan sosok samar yang mendekat secara perlahan.
Sosok itu tampak seperti, dirinya sendiri, namun tidak sepenuhnya. Aura itu lebih dingin, tenang, dan tak terjangkau. Tatapan kosongnya menembus Liliana tanpa emosi.
“Apa kamu siap untuk kehilangan?” suara lembut itu terdengar samar, seperti gema di dalam pikirannya.
Belum sempat Liliana bertanya, aura itu menarik tangannya dengan kuat, dan sebelum sempat memberontak atau meminta penjelasan cahaya tiba-tiba menyilaukan matanya.
Lalu semuanya menghilang.
Ketika kesadarannya kembali, Liliana terperangah, dia berdiri di seberang jalan, tepat di depan tempat terakhir ia dan Sean turun dari taksi tadi. Langit masih kelabu, hujan masih turun, dan jalanan basah berkilau di bawah lampu kota.
Namun, Sean tidak terlihat di mana pun.
Liliana menoleh ke kiri dan ke kanan, hatinya mulai cemas.
"Sean?" bisiknya, berharap suara itu cukup membawa keajaiban agar Sean muncul kembali.
Tidak ada jawaban sama sekali, hanya suara mobil yang melintas dan angin yang dingin.
Perasaan panik mulai merambat, apa Sean meninggalkanku? Apa aku terlalu lama menghilang? Atau apa dia mencariku? pikir Liliana sambil mulai berjalan pelan di bawah hujan, tanpa peduli air yang membasahi rambut dan bajunya.
Langkahnya cepat berubah menjadi lari kecil, menyeberangi jalan, melihat ke setiap sudut, mencari dan berharap bahwa lelaki yang telah membuat jantungnya berdebar itu akan muncul dan menghampirinya lagi.
Lalu, sebuah suara teriakan kecil terdengar dari kejauhan.
“Liliana!!”
Liliana membalikkan tubuhnya dengan cepat, matanya membelalak.
Sean sedang berlari ke arahnya, karena hujan semakin deras, Sean kini basah kuyup dengan wajah penuh kelegaan setelah melihat sosok Liliana.
Suara langkah kaki Liliana yang berlari perlahan terhenti.
Wajahnya pucat seketika, matanya membelalak saat menyaksikan Sean yang baru saja memanggil namanya dengan penuh semangat, Sean terpeleset di tengah jalan yang licin dan semua terjadi begitu cepat.
Sebuah mobil dari arah berlawanan melaju cukup kencang, klaksonnya memekakkan telinga. Liliana berteriak, "SEAN!!"
Namun semuanya sudah terlambat.
Tubuh Sean terlempar beberapa meter dari titik tabrakan dan suara benturan keras menggema, menghantam udara malam yang sebelumnya hanya dipenuhi suara rintik hujan.
Waktu terasa berhenti, Liliana terpaku diam, air hujan yang bercampur dengan air matanya kini tumpah tanpa dapat dikendalikan. Kakinya gemetar, tubuhnya menggigil, lalu tanpa pikir panjang lagi, dia berlari ke arah Sean yang tergeletak di jalan, tubuhnya tak bergerak.
“Sean! Sean! SEAN!!” teriak Liliana histeris sambil berlutut, memeluk tubuh Sean yang dingin dan basah oleh hujan serta darah yang mulai mengalir di aspal.
“Jangan lakukan ini padaku, jangan pergi! Aku baru saja merasa bahwa aku mencintaimu , cepat kembali!” bisiknya pelan, nyaris tercekat.
Lampu-lampu mobil dari sekitar mulai menyala, beberapa pengendara berhenti, orang-orang berkerumun tapi suara Liliana yang menangis adalah yang paling memilukan di antara semuanya.
"Sean tak sadarkan diri!"