NovelToon NovelToon
12th Layers

12th Layers

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Misteri
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.

Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19: Perjalanan Jauh

Langkah mereka perlahan melintasi reruntuhan yang sunyi, hanya disertai gemerisik malam dan desir angin yang menyentuh pelan ujung-ujung pakaian. Tak ada suara lain. Ketiga korban itu berjalan di belakang, berpegangan satu sama lain, seakan takut dunia akan menggulung mereka kembali ke dalam perutnya yang gelap. Di depan, Jeffrie Nova melangkah dengan ritme yang tenang, jubahnya sesekali tersapu oleh angin, menyibakkan sedikit siluet pedang tipis yang tersembunyi di balik kain. Di sisi kirinya, Maelon berjalan setengah tertatih, tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tapi matanya tetap awas, penuh pertanyaan yang belum sempat terucap sejak pertempuran berakhir.

“Maelon,” ucap Jeffrie, suaranya cukup rendah namun tak sulit didengar, “kau lihat portal di dalam pabrik itu sebelumnya?”

Maelon menoleh sedikit. “Ya... yang berputar seperti lingkaran cahaya—apa itu?”

Jeffrie Nova tersenyum kecil. Pandangannya menatap jauh ke depan, tapi suaranya tetap pada Maelon. “Itu adalah portal. Gerbang yang menghubungkan tempat ini... ke lapisan kedua.”

Maelon mengerutkan kening. “Dunia atas?” tanyanya. “Apa tempat itu... sama seperti di sini?”

Jeffrie menggeleng perlahan. Langkahnya tak berhenti, tapi sejenak ia memperlambat irama jalannya agar suara berikutnya mengendap dalam ruang di antara mereka.

“Tidak, Maelon. Tempat ini... lapisan pertama... bukanlah bagian dari dunia yang seharusnya ada. Ini hanyalah tempat buangan—sisa dari peradaban lama, reruntuhan yang dibiarkan membusuk setelah perang.”

Maelon menelan ludah. Kata itu menggema dalam pikirannya seperti pukulan—perang. Ia menatap Jeffrie, napasnya sedikit berat.

“Perang?” gumamnya. “Perang apa?”

Langkah Jeffrie terhenti sesaat, dan untuk pertama kalinya, matanya menoleh langsung ke arah Maelon. Ada sesuatu di balik sorot itu—bukan ketakutan, bukan amarah, tapi peringatan.

“Keingintahuan,” katanya lirih, “dapat membunuhmu.”

Hening menyelimuti mereka beberapa detik. Bahkan angin pun seperti menahan napas.

“Berhati-hatilah, Maelon... terhadap rasa ingin tahumu. Beberapa kebenaran tak diciptakan untuk didengar oleh mereka yang belum siap.” Ia menarik napas pelan. “Lebih baik... kau tidak mengetahuinya sama sekali.”

Maelon diam. Tak menjawab. Pertanyaan yang tadi menggantung kini tak berani turun ke lidah.

“Untuk sekarang,” lanjut Jeffrie, sambil kembali melangkah, “lebih baik kita bergegas. Aku akan memberitahumu beberapa hal... nanti. Bila waktunya sudah tepat.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Di belakang, tiga orang yang telah diselamatkan masih diam, namun kini kepala mereka sedikit lebih terangkat, dan langkah mereka sedikit lebih pasti. Sementara malam terus bergulir, perlahan membawa mereka menjauh dari tempat yang seharusnya tak pernah ada.

Kabut menyelimuti jalan setapak yang mereka lalui, bukan sebagai tirai lemah yang bisa ditembus mata, melainkan sebagai jaring pekat yang seolah menyimpan bisikan dari sesuatu yang tersembunyi lebih dalam. Langkah-langkah mereka teredam, nyaris tak terdengar, seperti suara pun enggan bernyanyi di tempat ini. Cahaya samar dari langit yang muram nyaris tak mampu menembus selimut putih yang merayap di sekeliling, dan dalam diam itulah mereka terus berjalan—beriring, tanpa suara, hanya napas dan detak jantung yang terasa menggema di dada masing-masing.

Mereka melewati reruntuhan besi yang bengkok, seperti tulang-tulang makhluk purba yang telah dikorosi oleh waktu dan kekosongan. Balok-balok raksasa teronggok dalam posisi yang tak lagi masuk akal, saling tindih dengan kabel-kabel putus yang menjulur seperti urat daging mati. Di tengah reruntuhan itu, angin menderu perlahan, membisikkan sesuatu dari zaman yang tak dikenali siapa pun lagi—tentang gedung-gedung yang pernah berdiri megah, dan kini hanya menjadi sarang debu dan mimpi yang gagal.

Lalu batu menggantikan besi. Puing-puing monolit tua membentang di jalur mereka, seperti sisa-sisa kuil atau struktur agung yang telah runtuh—entah oleh waktu, atau oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar kehancuran. Maelon sempat menoleh, menatap sebuah ukiran samar di salah satu dinding yang setengah tenggelam oleh tanah. Simbol. Ia tak mengenalinya, namun matanya seolah mengenang—seolah batu itu menyimpan sesuatu yang pernah disentuh jiwanya di masa lalu.

Namun mereka tak berhenti. Jeffrie berjalan di depan, mantap dan tenang, seperti telah mengenal jalan ini seumur hidupnya. Di belakang, ketiga korban yang baru saja diselamatkan tetap mengikuti, menggenggam harapan seperti lilin yang baru saja dinyalakan setelah terlalu lama tinggal dalam gelap. Maelon menyusul langkah Jeffrie, menatap jalur di depannya saat pohon-pohon mulai muncul satu per satu di antara kabut.

Mereka telah memasuki hutan.

Di sinilah kabut berubah wujud. Tak lagi hanya udara lembap, tapi menjadi sesuatu yang terasa hidup—seperti mata yang mengawasi dari antara dahan, seperti napas panjang yang keluar dari batang pohon yang sudah mati. Tanah di bawah mereka lunak, sesekali berbatu, dan suara ranting patah menyertai setiap langkah yang terlalu berat. Tak ada binatang. Tak ada burung. Hanya keheningan purba yang bergema dari akar sampai ke ujung dedaunan.

Dan mereka terus berjalan, masuk lebih dalam ke jantung kehampaan itu—dengan arah yang hanya Jeffrie ketahui, dan alasan yang hanya waktu bisa ungkapkan.

Perjalanan panjang itu menipiskan tenaga dan menyisakan keheningan yang lebih dalam dari sebelumnya. Langit mulai menggelap, bukan karena malam telah turun, tapi karena kabut di balik hutan semakin menebal dan udara semakin berat. Mereka akhirnya keluar dari belantara itu setelah dua jam berjalan, dan di hadapan mereka terbentang sebuah desa kecil—tersembunyi, nyaris seperti ilusi yang dibentuk dari kelelahan dan ketidakpercayaan.

Desa itu tak besar, tak megah, dan tak terlihat seperti tempat yang bisa disebut "rumah". Namun dibanding reruntuhan besi dan batu, dibanding aroma darah dan debu yang masih melekat di tubuh mereka, tempat ini adalah surga yang tersembunyi di balik luka. Beberapa penjaga bersenjata ringan terlihat berpatroli, mengenakan pakaian gelap tanpa lambang. Mereka tidak bicara, hanya mengamati.

Salah satu dari mereka mendekat saat melihat Jeffrie Nova mendampingi empat sosok asing yang tampak kelelahan. Tatapannya tajam namun tidak mengancam.

“Anggota baru?” tanya sang penjaga, suaranya rendah dan dingin seperti udara senja.

Jeffrie mengangguk pelan, nada bicaranya tenang. “Ya… begitulah. Aku akan membawa mereka ke tempat istirahat dulu.”

Penjaga itu menepuk bahu Jeffrie dengan satu tangan keras namun penuh rasa hormat. “Kerja bagus, Jeff. Kau sudah melakukannya dengan baik.” Lalu ia kembali ke posnya, seolah semuanya sudah dimengerti tanpa perlu dijelaskan lebih jauh.

Jeffrie melanjutkan langkahnya, dan Maelon mengikutinya. Ketiga korban itu berjalan perlahan di belakang, tubuh mereka menggigil—bukan karena udara, tapi karena tubuh yang kehabisan tenaga dan pikiran yang belum terbiasa dengan rasa aman. Jeffrie membawa mereka ke sebuah bangunan tua, terbuat dari kayu yang sudah mulai mengelupas. Dindingnya condong ke satu sisi, atapnya disangga oleh tiang yang tampak rapuh, tapi pintunya masih bisa ditutup, dan dari dalam tampak cahaya lilin temaram.

“Setidaknya… beristirahatlah di sini. Tempat ini mungkin bobrok, tapi cukup aman. Penduduk dalam akan membantumu.” Suaranya tak lembut, tapi ada ketulusan samar di sana—ketulusan yang hanya muncul dari seseorang yang tahu bagaimana rasanya berada di ambang kehancuran.

Ketiga orang itu mengangguk. Wanita dengan tubuh kurus dan bibir pecah kembali menunduk, hampir bersujud di depan Jeffrie, namun ditahan oleh bahunya sendiri. Ia hanya berbisik, "Terima kasih," sebelum masuk ke dalam, diikuti dua yang lain.

Jeffrie berbalik. “Ayo, ikut aku.”

Maelon, masih diliputi rasa bingung dan nyeri yang samar di tubuhnya, mengikuti langkah Jeffrie melewati lorong kecil yang menyatu dengan sisi desa. Mereka tiba di sebuah bangunan kecil, lebih tertutup, lebih sunyi. Dindingnya lebih kokoh, pintunya tanpa jendela. Saat mereka masuk, udara di dalam terasa berbeda—lebih hangat, tapi juga lebih berat.

Di dalam ruangan itu, hanya ada satu cahaya: nyala lilin kecil yang meletup tenang di atas meja rendah. Di bawah cahaya remang itu, duduk seorang pria bertopeng. Topengnya bukan dari logam atau kayu biasa, tapi dari bahan gelap yang tampak menyerap cahaya di sekitarnya. Pria itu tak bergerak, hanya duduk seperti patung yang menunggu waktu. Maelon mengenalnya. Bukan dari suara, bukan dari perkenalan, tapi dari rasa… dari tatapan kosong yang disembunyikan topeng itu. Sosok yang pernah muncul sebentar, menyelubungi misi awal ini dalam bayangan niat yang belum terungkap.

Ia menunggu. Dan mereka akhirnya telah tiba.

1
Aisyah Christine
pasti susah utk memahaminya. bagaimana maelon bisa bersatu dan berkomunikasi dgn kekuatan baru
Aisyah Christine
ini kulivator moden thor😂
Aisyah Christine
perjuangan yang belum tuntas.. smoga bisa bekerjasama dgn tubuh yang baru.
Aisyah Christine
entah ini 1 keberkahan atau kutukkn tapi yg jelas maelon semakin kuat
Aisyah Christine
apa kayak parasit? tubuhnya udh pindah ke ank remaja itu?
GrayDarkness: 10/10
total 1 replies
angin kelana
survival..
angin kelana
pertama baca coba lanjut..
GrayDarkness: terima kasih banyak, semoga suka.
total 1 replies
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
Aisyah Christine
tanda dr makhluk aneh itu
Aisyah Christine
lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂
Aisyah Christine
cerita yang menarik. lanjut thor
GrayDarkness: terima kasih, do'ain aja biar bisa dieksekusi dengan baik. kalo ada kesalahan bilang aja biar nanti langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
terima kasih sarannya akan diperbaiki secepatnya
azizan zizan
kekuatan ini datang bukannya dengan paksaan.. di ulang2 terus..
GrayDarkness: done, sedang direview terima kasih. kalo ada yang lain bilang aja, biar langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
Betul, puitis.
Aisyah Christine: gaya bahasa nya lebih pada malay. maka aku faham😂
total 1 replies
azizan zizan
ini novel peribahasa kah apa ini.. alurnya berbelit-belit..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!