Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dave Kembali di Hina
Keesokan harinya Dave mendapatkan undangannya pernikahan dari Andre. Seorang teman lama mengundangnya nanti malam. sebenarnya undangan tersebut sudah ada bersama Andre sejak beberapa hari yang lalu, tapi baru sekarang ia berikan kepada Dave karena selama ini Andre tahu kalau Dave tidak pernah menghadiri acara apapun sejak kecelakaan.
"Aku akan datang!" seru Dave cukup mengejutkan Andre.
"Kau serius?" tanya Andre yang merasa tak percaya.
Dave menjawab dengan anggukan, kemudian ia meminta Andre untuk mengantar Ana ke salon untuk menghadiri acara nanti malam Karena Dave tahu kalau Ana tidak memiliki pakaian yang bagus. Andre mengiyakan, pria itu akan datang menyusul bersama Ana sedangkan Dave akan diantar pak Wen ke tempat acara.
Dan pada akhirnya malam pun tiba, suasana pesta pernikahan malam itu begitu meriah dan elegan. Para tamu berdandan rapi, musik lembut mengalun, dan lampu-lampu kristal menerangi ruangan dengan kilauan mewah.
Dave datang dengan ditemani Ana dan Andre, duduk di kursi rodanya sambil menikmati suasana pesta. Meski ia tidak terlalu menyukai acara semacam ini, tetapi sebagai bentuk penghormatan kepada temannya yang menikah, ia tetap hadir.
Namun, tanpa disangka, sosok yang tidak ingin ia temui justru muncul di hadapannya.
Bella.
Wanita itu tampil menawan dalam gaun berwarna merah anggur, tangannya menggandeng seorang pria tampan bernama Lucki.
Tatapan Bella langsung tertuju pada Dave yang duduk di kursi roda. Senyuman mengejek terukir di bibirnya.
"Oh, lihat siapa yang datang! Aku tak menyangka kau masih punya keberanian untuk muncul di tempat seperti ini, Dave," ucap Bella dengan nada mengejek.
Dave tidak bereaksi, hanya menatapnya dengan wajah datar.
Bella tertawa kecil, lalu melirik Ana yang berdiri di samping Dave.
"Dan kau membawa istri baru? Oh, Tuhan, apakah dia menikah denganmu karena uang? Aku tak bisa membayangkan seorang wanita waras benar-benar ingin bersama pria cacat sepertimu."
Ana mengerutkan alis, amarahnya langsung membuncah.
"Jaga ucapanmu!" Ana hendak membalas, tetapi sebelum ia sempat berbicara lebih jauh, Andre buru-buru menarik tangannya, memberi isyarat untuk diam.
"Jangan buat keributan," bisik Andre.
Ana menoleh ke arah Dave, berharap pria itu akan mengatakan sesuatu. Tetapi Dave tetap diam, ekspresinya dingin dan tidak tergoyahkan sedikit pun.
Bella mendecakkan lidah. "Tetap sama seperti dulu, ya? Hanya bisa diam. Kau benar-benar menyedihkan, Dave."
"Sudahlah, Bella," Lucki menepuk punggung Bella pelan, memberi isyarat agar tidak berlebihan. "Kita ke sana saja, jangan buang waktu dengan mereka."
Bella tersenyum sinis sebelum akhirnya berbalik dan pergi bersama Lucki, meninggalkan Ana yang masih kesal, Andre yang tetap tenang, dan Dave yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
Setelah Bella menghilang dari pandangan, Ana berbisik pelan, "Kenapa kau diam saja? Kenapa tidak membalasnya?"
Dave menoleh sekilas ke arahnya.
"Untuk apa?" jawabnya datar. "Dia bukan siapa-siapa lagi."
Ana terdiam, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ucapan Bella pasti menyakitkan bagi Dave, meskipun pria itu memilih untuk tidak menunjukkannya.
Setelah Bella pergi, suasana di sekitar meja mereka terasa dingin dan canggung. Ana menatap Dave dengan ekspresi tidak terima, sedangkan Dave tetap bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Andre berusaha mencairkan suasana. "Jangan dipikirkan. Bella memang seperti itu, selalu suka menyakiti orang lain dengan kata-katanya."
Ana mendesah, masih merasa jengkel. "Tetapi dia keterlaluan! Seolah-olah hanya karena Dave sekarang tidak bisa berjalan, dia bisa menghina sesukanya!"
Dave hanya memandang gelas wine-nya dengan ekspresi tenang.
"Dia tidak salah."
Ana menoleh tajam. "Apa maksudmu?"
Dave akhirnya menatap Ana, matanya dingin dan tanpa emosi. "Memang kenyataannya aku seperti ini. Lumpuh, tidak bisa berjalan. Jika aku bisa berjalan seperti dulu, Bella tidak akan berani bicara seperti itu."
Ana meremas tangannya, menahan amarah. "Kau bicara seolah-olah semua harga dirimu ditentukan oleh kemampuan kakimu untuk berjalan. Kenapa kau tidak membalasnya? Kenapa kau biarkan dia menghina begitu saja?"
Dave tidak menjawab. Ia hanya mendorong kursi rodanya mundur sedikit, lalu berkata kepada Andre, "Kita pulang."
Andre mengangguk dan membantu mendorong kursi roda Dave menuju pintu keluar.
Ana masih diam di tempatnya, menatap punggung Dave yang menjauh dengan perasaan campur aduk.
Ia tidak habis pikir.
Kenapa pria itu bisa sekaku ini? Kenapa Dave tidak pernah mau membela dirinya sendiri?
Tetapi kemudian, sebuah pemikiran muncul di benaknya. Ataukah sebenarnya Dave lebih terluka daripada yang ia tunjukkan?
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa sunyi dan menekan. Dave duduk dengan ekspresi dingin dan tak terbaca, sementara Ana menatap ke luar jendela, berusaha menahan emosinya.
Andre, yang menyetir, beberapa kali melirik mereka berdua dari kaca spion. Ia ingin mencairkan suasana, tetapi melihat ekspresi Dave, ia tahu ini bukan waktu yang tepat.
Sesampainya di rumah, Dave langsung meminta Andre mendorong kursi rodanya masuk tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ana. Ana menggigit bibirnya—kesal sekaligus frustrasi dengan sikap pria itu.
Begitu Dave masuk ke dalam kamar, Ana akhirnya tak bisa menahan diri. Ia mengejarnya dan berdiri di depan pintu.
"Kenapa kau selalu diam saja setiap kali seseorang menghina atau merendahkanmu?" Ana bertanya dengan nada tinggi.
Dave menghentikan gerakan tangannya yang hendak melepas dasinya. Ia menoleh perlahan, menatap Ana dengan mata tajam dan penuh ketidakpedulian.
"Apa gunanya membalas mereka? Apa dengan membalas hinaan mereka, kakiku akan sembuh?"
Ana terdiam. Ia tidak menyangka jawaban itu.
"Kau tidak perlu membalas mereka dengan hinaan, tapi kau bisa menunjukkan kalau kau tidak selemah yang mereka kira," Ana berusaha menjelaskan. "Dengan diam saja, kau hanya membiarkan mereka semakin meremehkanmu!"
Dave mendekatkan kursi rodanya ke Ana, membuat gadis itu tanpa sadar mundur sedikit.
"Dan kalau aku membalas mereka, apa yang akan berubah?" suaranya dingin dan rendah. "Tidak ada. Aku tetap lumpuh. Mereka tetap menganggapku pria cacat. Dan Bella tetap tidak akan kembali kepadaku. Jadi untuk apa?"
Ana terkejut. Ia melihat sesuatu di mata Dave—sesuatu yang selama ini berusaha disembunyikan oleh pria itu. Luka yang dalam. Rasa sakit yang tak terucapkan.
Ana menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya.
"Jadi ini yang selama ini kau rasakan?" tanyanya pelan.
Dave tidak menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangannya, lalu memutar kursi rodanya kembali menghadap meja kerja.
"Keluar. Aku lelah."
Ana mengatupkan bibirnya rapat-rapat, lalu berbalik dan keluar dari kamar.
Namun, saat menutup pintu, dalam hati ia berjanji.
Aku akan membuatmu sadar, Dave. Kau bukan pria lemah seperti yang mereka pikirkan. Kau lebih dari itu.
eh.... ada lagi kak othor, dave kan lumpuh kenapa tiba² jalan😭
kalo aku jadi ana, pasti aku akan minta uang bulanan. taat boleh tapi kesejahteraan diri harus prioritas🤭🤣