Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunga dan Benang Merah itu
Bandung pagi itu disambut semilir angin yang lembut. Rendi turun dari mobil dinas dengan langkah ringan, matanya langsung tertuju ke bangunan kaca minimalis dua lantai yang akan menjadi restoran baru proyek milik keluarga besar mereka.
Di depan pintu kaca, seorang perempuan berdiri dengan clipboard di tangan, wajahnya serius tapi terlihat segar meski belum lewat pukul delapan. Rambutnya terurai rapi, blazer warna soft beige membingkai tubuhnya yang profesional.
“Selamat pagi, Pak Rendi,” sapa Bunga sambil tersenyum sopan.
Rendi sedikit terkejut melihatnya sudah berada di lokasi. “Pagi, Bunga. Kamu udah dari tadi?”
“Dari jam setengah tujuh, Pak. Saya lanjutkan administrasi yang belum selesai semalam, dan Alhamdulillah tinggal tanda tangan untuk kontrak supplier sama izin teknis dapur,” jawabnya cekatan.
Rendi mengangguk, kagum. Ia belum sempat mengucapkan pujian saat matanya menyapu meja kerja yang penuh berkas—tertata, rapi, dengan post-it warna-warni sebagai penanda.
“Saya pikir ini baru bisa kelar tiga atau empat hari ke depan,” gumamnya.
Bunga tersenyum kecil. “Kemarin saya lembur, Pak. Beberapa data saya minta lebih awal ke bagian keuangan dan legal, jadi tinggal proses finalisasi. Saya pikir kalau bisa dipercepat, kenapa harus ditunda?”
Jawaban itu membuat Rendi menatapnya lebih lama, bukan karena rupa, tapi karena profesionalisme dan inisiatif yang jarang ia temukan di usia kerja muda seperti Bunga.
“Kamu luar biasa,” ucapnya tanpa basa-basi.
Bunga tertawa kecil, tidak malu-malu, hanya menyambut pujian dengan santai. “Terima kasih, Pak. Saya hanya bantu sebaik mungkin.”
Mereka lalu duduk bersama di ruang meeting kecil di lantai dua. Dokumen demi dokumen dibuka, ditandatangani, diperiksa ulang. Semuanya berlangsung cepat dan efektif. Rendi beberapa kali menatap jam tangannya, tak percaya semua bisa rampung sebelum makan siang.
Sesekali mereka berbincang ringan, tentang kuliner khas Bandung yang rencananya akan disajikan di restoran, tentang interior yang sudah hampir selesai, dan tentang peresmian yang kini bisa dimajukan dua hari lebih awal.
“Kalau semua kerja secepat dan serapi ini, saya bisa pulang lebih cepat hari ini,” ujarnya sambil tersenyum.
Bunga membalas dengan anggukan. “Itu kabar baik, Pak. Istri dan anak pasti senang.”
Rendi mengangguk pelan, memikirkan Alisya dan Rasya di rumah. “Iya… Mereka yang paling saya rindukan kalau kerja di luar kota.”
Belum sempat Rendi membereskan berkas-berkas di meja, ponselnya bergetar. Nama Ayah tertera di layar. Ia segera mengangkat.
“Halo, Yah.”
“Rendi, kamu masih di lokasi restoran?” suara berat Ayahnya terdengar jelas dan tegas, seperti biasa.
“Masih, Yah. Ini barusan selesai semua. Tinggal tanda tangan akhir.”
“Bagus. Kalau begitu langsung meluncur ke lapangan golf di Dago. Ayah ada janji ketemu Pak Hendra—kamu pasti belum terlalu kenal, dia itu sahabat Ayah waktu sama-sama mulai bisnis dua puluh tahun lalu.”
“Oh iya, yang punya jaringan kuliner itu?”
“Benar. Dan dia juga Ayahnya Bunga.”
Rendi sempat terdiam, menoleh sekilas ke arah Bunga yang masih membereskan dokumen dengan cekatan di sudut meja. Ia tak menyangka, di balik sosok muda dan pekerja keras itu, ada koneksi yang ternyata begitu dekat dengan keluarganya.
“Baik, Yah. Saya segera ke sana.”
“Bagus. Bawa Bunga sekalian. Dia sudah bantu banyak, dan Pak Hendra ingin kamu mengenalnya lebih dari sekadar sebagai staf. Ini juga soal kepercayaan.”
Telepon ditutup. Rendi meraih jaketnya dan menghampiri Bunga.
“Bunga,” panggilnya ringan.
Bunga mengangkat kepala. “Iya, Pak?”
“Kita harus ke lapangan golf di Dago sekarang. Ayah saya sedang bertemu dengan Pak Hendra… katanya Ayahmu.”
Mata Bunga sedikit membesar, tak menyangka kabar itu datang dari Rendi. “Oh... iya, Pak. Saya tahu beliau ada jadwal hari ini, tapi tidak menyangka saya diminta ikut.”
Rendi tersenyum. “Kamu sudah kerja keras, jadi ini juga bentuk penghargaan. Siapkan berkas yang perlu dibawa. Kita berangkat sekarang.”
Bunga segera mengangguk dan bergegas. Dalam hati, ia merasa ini bukan sekadar pertemuan profesional biasa—tapi mungkin awal dari kepercayaan yang lebih dalam antar dua keluarga besar.
Di dalam mobil menuju Dago, Rendi terdiam sesaat memandangi jalanan. Ia tahu, urusan bisnis kadang tidak sesederhana antara atasan dan bawahan. Dan hari ini, segalanya terasa mulai menyatu dalam satu benang merah: kepercayaan, keluarga, dan masa depan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
...****************...
Lapangan golf di Dago pagi itu tampak hijau menyegarkan. Kabut tipis sudah mengangkat, menyisakan hawa sejuk yang membuat percakapan jadi lebih hangat.
Rendi dan Bunga melangkah menuju salah satu gazebo terbuka di pinggir lapangan. Di sana, dua pria paruh baya sudah duduk santai dengan cangkir teh di tangan. Ayah Rendi—(Pak Wiratma)—berpakaian golf rapi, sementara di sampingnya duduk Pak Hendra, lelaki dengan perawakan tenang dan sorot mata yang tajam, tapi ramah.
“Rendi, sini duduk,” sapa Pak Wiratma sambil tersenyum.
“Selamat pagi, Om Hendra,” ucap Rendi sambil menjabat tangan Pak Hendra.
“Pagi, Rendi. Sudah lama nggak lihat kamu. Terakhir waktu kamu masih kuliah, ya?”
Rendi mengangguk sopan, “Iya, Om. Senang bisa ketemu lagi.”
Pak Hendra tersenyum, lalu melirik ke arah Bunga. “Dan ini tentu saja anak saya yang sekarang lebih sering ketemu kamu di lapangan daripada sama saya sendiri.”
Bunga tertawa kecil. “Maaf, Ayah. Fokus kerja dulu.”
Obrolan pun mulai mengalir santai. Pak Wiratma mulai membuka pembicaraan tentang proyek yang tengah dikerjakan perusahaan miliknya.
“Kamu tahu, Hen, restoran di Bandung ini jadi bagian kecil dari tiga proyek besar yang kami bangun tahun ini. Dua gedung kantor di Jakarta, satu lagi resor di Yogyakarta. Tapi restoran ini yang paling bikin saya pribadi semangat… karena buat keluarga,” ujar Pak Wiratma (Ayah Rendi) sambil menatap Rendi sekilas.
Pak Hendra mengangguk. “Dan hasilnya bagus. Saya lihat progresnya rapi, cepat. Kombinasi bagus—tim dari kamu, sama tim anak saya.”
Pak Wiratma tertawa ringan. “Iya, itu saya juga nggak nyangka. Ternyata anak kita bisa saling dorong kerja cepat.”
Setelah beberapa gurauan ringan, obrolan mulai menyentuh sisi personal. Pak Hendra meletakkan cangkir tehnya dan memandang Bunga.
“Bunga ini… kadang bikin saya khawatir juga. Anak perempuan, kerja keras banget, kadang lupa istirahat.”
“Dia bantu banyak, Om, baru kemarin saya setujui jadi sekretaris pribadi" sahut Rendi cepat. “Saya sendiri takjub, padahal saya pikir administrasi itu baru kelar empat hari ke depan, tapi dia bikin rampung dalam dua hari , "
Pak Hendra tersenyum bangga, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. “Bunga memang keras kepala… sejak kecil. Apalagi setelah ibunya pergi.”
Suasana mendadak hening sejenak. Bunga hanya menunduk, tetap tersenyum tenang.
“Ibunya nggak meninggal,” lanjut Pak Hendra pelan, seolah menjawab pertanyaan tak terucap. “Dia memilih hidup lain. Pergi saat Bunga masih SD. Sejak itu dia nggak pernah minta dimanja. Selalu bilang: ‘Aku mau jadi orang yang Ayah banggakan.’”
Pak Wiratma menepuk pelan pundak sahabatnya. “Dan sekarang kamu bisa bangga, Hen.”
“Bisa. Tapi saya juga tahu, dia butuh lingkungan yang sehat dan orang-orang yang bisa lihat dia bukan cuma dari nama keluarga. Tapi dari dirinya sendiri.”
Rendi menatap Bunga sekilas, lalu kembali memandang kedua ayah itu. Dalam hatinya, ia bisa merasakan ada nilai yang sama tumbuh dalam dirinya—tentang kerja keras, kesetiaan pada keluarga, dan menghargai orang lewat tindakan, bukan label.
Obrolan pun berlanjut, sesekali diselingi tawa dan cerita masa muda. Dan hari itu, Rendi tak hanya pulang dengan rasa lega karena proyek berjalan baik, tapi juga membawa pulang satu pelajaran penting: bahwa setiap orang membawa cerita—dan menghargai cerita itu adalah bagian dari menjadi manusia yang utuh.