Di dunia dark web, satu nama ditakuti: LOOTER. Tak ada yang tahu identitas aslinya, hanya bahwa ia adalah algojo bayaran dengan keterampilan militer luar biasa. la bisa menyusup, membunuh, dan menghilang tanpa jejak. Kontraknya datang dari kriminal, organisasi bayangan, bahkan pemerintah yang ingin bertindak di luar hukum.
Namun, sebuah misi mengungkap sesuatu yang seharusnya terkubur: identitasnya sendiri. Seseorang di luar sana tahu lebih dari yang seharusnya, dan kini pemburu berubah menjadi buruan. Dengan musuh di segala arah, LOOTER hanya punya satu pilihan -menghancurkan mereka sebelum dirinya yang lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khabar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
[KEHIDUPAN YANG NORMAL]
Rangga berjalan memasuki restorang dengan langkah santai, meski dalam dirinya, setiap gerakan terasa seperti tusukan halus di pinggang.
Luka tembaknya sudah ia rawat dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang menyadari bahwa ia sempat terluka parah. Untuk menutupi kelemahannya, ia mengenakan jaket hitam tebal dan menegakkan postur tubuhnya seperti biasa.
Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa lesu yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Begitu ia masuk, suara celetukan langsung menyambutnya.
"Hah?! Boss akhirnya masuk kerja juga?! Setelah seminggu lebih menghilang!" Alya berdiri di belakang kasir, menyilang tangan di dadanya dengan ekspresi kesal.
Rangga hanya mengangkat alis, heran dengan reaksinya. "Aku sibuk, lagian restoran masih jalan, kan?"
Alya mendengus. "Iya sih, tapi tetap aja. Kok kayaknya lo makin males aja, sih? Jangan-jangan lo udah jual restoran ini terus pergi entah ke mana?" nada suaranya terdengar setengah serius, setengah bercanda.
Rangga hanya tersenyum kecil. "Tenang, restoran ini masih bakal jalan. Gue cuma butuh waktu istirahat saja."
Alya mengamati wajah Rangga. Tidak ada tanda-tanda demam, wajahnya tetap setegas biasa, tapi ada sesuatu yang terasa aneh. Mungkin hanya perasaannya saja? Atau memang Rangga menyembunyikan sesuatu?
Dengan rasa penasaran setelah melihat bosnya itu, Alya tiba-tiba teringat dengan ucapan Rina beberapa hari yang lalu, tepatnya seminggu yang lalu di jam istirahat.
"Gue masih nggak percaya, ya, bos kita itu ternyata punya perut ABS kayak di drama Korea!" Rina terkikih.
Sari ikut mengangguk. "Seriusan, gue iri banget, liat aja kalau gue punya kesempatan, pasti gue mau lihat juga. Btw bentuknya gimana ya... Perfect banget buat digigit, ngak?"
"Jelas bangetlah." jawab Rina penuh semangat.
Alya berdehem keras, berusaha menutupi rasa panas di pipinya. "Kalian bisa ngak sih berhenti ngomongin perut boss sendiri?!"
"Eh, lo kan belum pernah lihat?" goda Rina.
Alya menatap mereka tajam. "Nggak mungkin juga gue ngintip bos gue sendiri, kan?"
Tapi dalam hati, rasa penasaran perlahan tumbuh. Selama ini Rangga memang selalu mengenakan pakaian yang cukup tertutup, jadi wajar jika ia tidak pernah memperhatikan hal itu.
Namun, bagaimana jika...? Tidak, tidak Alya menggeleng cepat.
Tapi tetap saja, rasa penasarannya mulai mengganggu.
......................
Malamnya, setelah semua karyawan lain pulang, hanya Alya yang masih berada di restoran, menghitung uang kasir. Ia sedang memastikan pembukuan hari itu dengan benar ketika mendengar suara langkah dari ruang belakang.
Pelan-pelan, ia melangkah mendekat. Pintu ruang ganti karyawan sedikit terbuka, dan di sana, terlihat punggung Rangga yang sedang melepaskan jaketnya.
Mata Alya membelalak saat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.
Di pinggang Rangga, ada perban yang sudah ternoda merah. Darah masih sedikit mengalir dari sana. Alya menahan napas, berusaha mencerna apa yang baru saja dilihatnya.
Kenapa bosnya punya luka seperti itu? Kenapa dia tidak bilang kalau dia terluka?
Tanpa sadar, tubuhnya bergerak sendiri, Ia mendorong pintu lebih lebar dan masuk dengan panik. "Rangga! Lo kenapa?!"
Rangga yang sedang mengganti perbannya tersentak. Ia refleks menarik jaketnya, tapi itu sudah terlambat. Alya sudah berdiri tepat di depannya dengan mata membulat.
"Alya, keluar," katanya dengan suara rendah.
"Ngak! Lo luka, kan? Sejak kapan?!" Alya menatapnya tajam, suaranya penuh kekhawatiran.
Rangga menghela napas, menundukkan kepalanya. "Udah gue urus. Bukan urusan lo."
"Lo pikir gue bisa diem aja setelah liat ini?!" Alya mendekat dan tanpa sadar tangannya bergerak menyentuh pinggang Rangga dengan hati-hati.
Rangga terkejut, bukan karena sakit, tapi karena sentuhan itu terasa aneh baginya. Seumur hidupnya, ia terbiasa dengan menangani luka sendiri. Tidak ada orang yang pernah peduli sejauh ini. Dan sekarang, Alya ada di sini, menatapnya dengan penuh kepedulian.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
"Biar gue bantu," kata Alya, mengambil perban bersih di meja.
"Alya...."
"Diem. Kalau lo nolak, gue bakal bikin restoran ini jadi neraka buat lo besok." Alya menatapnya tajam, tapi wajahnya masih tampak khawatir.
Rangga menelan ludah. Ia tahu Alya keras kepala, dan dalam situasi ini, ia lebih membiarkan Alya melakukan apa yang ia mau daripada memperpanjang perdebatan.
Alya mulai membuka perban lama dengan hati-hati. Rangga sedikit meringis ketika perban yang menempel di lukanya tertarik.
"Sakit?" tanya Alya, suaranya lebih lembut kali ini.
"Nggak, biasa aja," jawab Rangga cepat.
Alya meliriknya sejenak sebelum kembali fokus. Ia tidak bisa berhenti berpikir 'sebenarnya, Rangga ini siapa? Kenapa dia bisa kena luka seperti ini?'
Saat sedang mengganti perban, Alya merasa rangga menatapnya. Saat menoleh, benar saja, tatapan pria itu terpaku padanya.
Tatapan yang berbeda.
Biasanya, Rangga selalu memiliki ekpresi datar dan sedikit malas. Tapi kali ini, matanya lebih dalam, seperti meneliti sesuatu. Seperti...
Alya mulai menyadari sesuatu yang aneh. Wajah Rangga sedikit memerah.
"Lo kenapa?" tanyanya dengan nada penasaran.
Rangga langsung menoleh ke arah lain. "Nggak, nggak apa-apa."
"Boong, muka lo merah. Lo demam?" Alya mencoba menyentuh dahinya, tapi Rangga langsung mundur.
"Udah selesai belum?" tanyanya, jelas mengalihkan pembicaraan.
Alya tertawa kecil. "Lo lucu kalau gugup gini. Biasanya lo ketus banget."
Rangga menatapnya dengan tatapan tajam, tapi tidak membalas. Jantungnya masih berdetak kencang. Ini pertama kalinya dalam hdupnya, seseorang membuatnya merasa seperti ini.
Dan itu berbahaya.
Alya lalu menatap Rangga sejenak sebelum berkata, "Mau gue antar pulang? Lo kelihatan masih lemah."
Rangga menggeleng pelan, lalu tersenyum kecil. "Nggak usah, gue bisa sendiri."
Alya mendesah, tampak tidak puas dengan jawaban itu. Dalam hatinya, ia sebenarnya ingin tahu di mana Rangga tinggal, tapi ia tidak mungkin mengatakannya langsung. "Bukan karena lo bisa atau ngak, gue cuma... Ya, khawatir aja."
Sementara itu, di perjalanan pulang, Alya tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja ia lihat. Perasaan yangg puas karena apa yang Rina katakan ternyata benar....
Rangga benaran memiliki perut sixpack seperti yang dikatakan. Namun, ada juga rasa khawatir yang tidak bisa ia abaikan setelah melihat luka di pinggang bosnya itu.
To Be Continued.....