Di kota Plaguehart, Profesor Arya Pratama melakukan eksperimen berbahaya untuk menghidupkan kembali istrinya, Lara, menggunakan sampel darah putrinya, Widya. Namun, eksperimen itu gagal, mengubah Lara menjadi zombie haus darah. Wabah tersebut menyebar cepat, mengubah penduduk menjadi makhluk mengerikan.
Widya, bersama adiknya dan beberapa teman, berjuang melawan zombie dan mencari kebenaran di balik wabah. Dengan bantuan Efri, seorang dosen bioteknologi, mereka menyelidiki lebih dalam, menemukan kebenaran mengerikan tentang ayah dan ibunya. Widya harus menghadapi kenyataan pahit dan mengambil keputusan yang menentukan nasib kota dan hidupnya.
Mampukah Widya menyelamatkan kota dengan bantuan Dosen Efri? Atau justru dia pada akhirnya ikut terinfeksi oleh wabah virus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widya Pramesti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terdeteksi Oleh Zombie
Sementara itu, di waktu bersamaan, di ruang auditorium. Efri dan Roger kembali bangkit, berdiri tegak, menatap ke seluruh mahasiswanya dengan bernafas lega.
"Syukurlah. Jika tidak ada kalian, mungkin kami berdua akan terjatuh," ucap Efri menatap ke arah Alvin, Aldo dan mahasiswa lainnya.
Semuanya mengangguk. Suasana di dalam ruang auditorium terasa mencekam, gelap, dan Efri memberikan perintah kepada seluruh mahasiswanya untuk beristirahat, agar bisa mengumpulkan tenaga kembali untuk bisa mencapai roof top. "Sebaiknya kita beristirahat sejenak, karena malam sudah terlalu larut," kata Efri dengan nada rendah, namun berwibawa.
Di dekat pintu, Eric berdiri. Memandang ke arah pintu auditorium yang tampak sedikit bergetar, dan mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada semua orang yang hendak beristirahat untuk diam. "Stop!"
Semua orang menghentikan langkahnya, hendak duduk, berbaring, bahkan menyandarkan tubuhnya masing-masing ke tembok. Mereka menatap Eric dengan wajah penuh tanda tanya dan terlihat cemas.
"Ada apa Eric?" kata Erin, bertanya kepada kembarannya. Tanpa kata-kata, Eric menunjuk ke pintu yang semakin bergetar hebat, seperti ada yang mendorong pintu itu dari luar dan mencoba masuk.
Mereka semua perlahan menatap pintu dengan cemas, tiba-tiba mendengarkan suara geraman rendah dan langkah kaki seperti zombie yang berusaha mendobrak pintu ruang auditorium.
Beberapa meja dan kursi yang sudah tertumpuk di depan pintu, satu persatu jatuh. Sedangkan Efri, melihat pintu itu hampir terbuka, segera mengarahkan mahasiswanya untuk menambahkan beberapa kursi dan meja di depan pintu dengan cepat.
"Semuanya, cepat tambahkan tumpukan meja dan kursi di depan pintu!" serunya, berteriak dengan suara lantang.
Dengan gerakan gesit, semuanya kompak memindahkan meja, kursi, dan barang lain ke depan pintu. Dalam beberapa menit kemudian, pintu yang bergetar hebat tadi, kini perlahan berhenti bergerak.
Suara nafas lega terdengar jelas di masing-masing telinga, dan mereka kembali mencari posisi untuk beristirahat. Walaupun keadaan masih mencekam, dan masih terjebak di dalam ruangan.
Sementara Efri, masih berdiri di dekat pintu dengan perasaan bingung di dalam hatinya. "Ada yang tidak beres. Kenapa di saat semuanya berhasil masuk, bisa terdeteksi oleh zombie, jika di ruangan ini ada manusia yang masih bersih tanpa terinfeksi apapun?" gumam Efri, bertanya di dalam hatinya dan mulai mencurigakan sesuatu.
Dia menarik napasnya dengan berat, tanpa menunggu jawaban. Efri mencari posisi, mulai merebahkan tubuhnya di tengah ruangan bersama Alvin dan Aldo. Sedangkan Eric, menyandarkan tubuhnya ke dinding dekat pintu bersama Erin yang sudah menyandarkan kepalanya di bahu Eric.
Rossa, Chaca, Lina, beristirahat di sebelah Eric dan Erin. Posisi mereka semuanya menyandar ke dinding, mulai menutup matanya, dan tertidur dengan tubuh terasa letih.
Sementara Roger, menyendiri di dekat jendela yang terbuka. Dia tidak membantu kejadian tadi, dan hanya duduk santai, menatap gerak-gerik semua orang dengan tajam. Setelah semuanya beristirahat, dan mulai memejamkan matanya masing-masing. Roger berdiri, melangkah pelan ke sudut ruangan.
Namun, suara langkah itu terdengar di telinga Efri. Perlahan membuka matanya sedikit menyipit, melihat bayangan tubuh Roger tersorot dari cahaya bulan yang semakin redup, di tutupin awan yang gelap, dan menunjukkan jika sebentar lagi hujan akan turun dengan sangat deras.
Roger berdiri di sudut ruangan, wajahnya menghadap tembok. Pandangannya menurun ke bawah, menatap telapak tangannya yang sudah memiliki luka goresan sejak tadi dan darahnya sudah membeku di sela-sela jarinya. "Aku terpaksa melakukan ini, supaya rencanaku berhasil," gumam Roger di dalam hati, dan senyum licik terukir di bibirnya.
Luka goresan itu adalah luka yang di sengajakan olehnya. Di ruang laboratorium tadi, dia sempat mendengarkan obrolan Efri dan Alvin, serta melihat kejadian aneh yang membuat dirinya melakukan hal konyol, seperti : menggores salah satu telapak tangannya menggunakan pisau kecil pada ruang auditorium, setelah melihat Alvin kembali sembuh setelah menelan cairan dari tabung yang diberikan Efri.
Roger begitu penasaran dengan cairan itu, sehingga dia terobsesi untuk mendapatkan tabung Vacutainer dengan melakukan hal konyol, menyembunyikan luka itu dari ruang laboratorium, sehingga darahnya membeku, namun tidak ada satupun orang yang menyadari hal tersebut.
Bau darah yang sudah membeku dari telapak tangan Roger, membuat para zombie tadi bisa mendeteksi ruangan auditorium memiliki mangsa baru untuk mereka. Beruntung, para zombie tidak berhasil mendobrak pintu dari luar.
Kembali ke sudut ruangan. Roger, masih tersenyum licik, menatap telapak tangannya. Sedangkan Efri, merasakan hal aneh dari gerak-gerik Roger yang terdiam menghadap tembok. Tanpa berkata-kata, Efri bangkit, melangkah dekat ke arah Roger. Tangan Efri perlahan bergerak mendekat ke punggung Roger, menepuk pundaknya dengan lembut.
"Roger," panggil Efri. "Apa yang sedang kau lakukan disini?" tanyanya, dengan nada yang penuh kecurigaan.
Roger terkejut, langsung memutarkan tubuhnya dengan gesit, menunjukkan wajah yang datar, namun segera membalikkan telapak tangannya dan disembunyikan di belakang pinggangnya. "Tidak ada apa-apa," jawabnya, berusaha terdengar santai.
Namun, Efri menyipitkan matanya, merasa ada yang disembunyikan oleh Roger, menatap tajam ke lengannya yang sudah terlipat ke belakang pinggang. "Apa kau yakin?" tanya Efri lagi, semakin curiga.
Roger mengangguk. Tanpa memberi jawaban yang pasti, dia berlalu, melangkah pergi meninggalkan Efri dengan tidak sopan. Sedangkan Efri, mengerutkan keningnya, merasa ada yang tidak beres dari sikap Roger. Efri hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia juga kembali ke posisinya, dan melanjutkan waktu istirahatnya sejenak.
Malam semakin larut, semua orang sudah tertidur lelap, dan hanya terdengar suara napas yang teratur. Namun, Roger masih terjaga, matanya terlihat sayu, tertutup sejenak. Tapi, pikirannya terus berputar, penasaran dengan cairan pada tabung Vacutainer.
Tanpa berpikir panjang, tiba-tiba Roger melangkah pelan ke arah Rossa, yang tertidur dengan posisi duduk, bersandar di tembok, di sebelah Lina dan Chaca. Roger berdiri di samping, menunduk, membungkukkan tubuhnya dan matanya menatap wajah Rossa yang tampak kelelahan.
Tanpa bersuara, tiba-tiba Roger menempelkan tangannya ke mulut Rossa, menahan napasnya agar tak terbangun. Rossa sempat terkejut, tubuhnya terperanjat, berusaha meronta untuk berteriak. Namun, Roger sudah lebih dulu berbisik di telinganya dengan suara tegas, "Jangan buat suara, Rossa. Aku tidak ingin membangunkan yang lain."
Rossa tidak memperdulikan bisikkan dari Roger. Dia terus meronta, berusaha melepaskan tangan besar Roger. Namun, Roger semakin mengeratkan cengkramannya, dan terus membungkam mulut Rossa dengan kuat.
"Diamlah!" bentaknya dengan suara yang kecil. "Aku hanya ingin kamu mendengarkanku, dan membantuku malam ini," bisiknya lagi dengan nada dingin, dan segera melanjutkan perkataannya. "Kamu harus mau membantuku, atau aku akan memberitahu semuanya. Aku akan memberitahukan pada semua orang, bahwa kamu sedang hamil anakku, dan kamu adalah wanita simpananku selama ini. Kamu tahu, kan? Itu akan sangat memalukan, Rossa."
Rossa berhenti melawan, napasnya terengah-engah di bawah telapak tangan Roger. Dia merasa takut dengan ancaman Roger, dan sangat gelisah jika hal itu beneran terungkap kepada semuanya. Tapi, Roger berbisik lagi, dan terus menjatuhkan ancaman kepadanya. "Dan soal zombie yang terikat di toilet perpustakaan, itu juga ulahmu. Apa, aku juga harus memberitahu hal ini kepada semuanya, jika kamu sengaja mengikat orang tersebut sebelum menjadi zombie? Karena hanya orang tersebut yang tahu tentang rahasia kita berdua."
Dengan cepat, Rossa menggeleng. "Tidak... ini tidak boleh ada yang tahu tentang kita, tentang zombie yang di toilet itu. Kamu... kamu tidak bisa mengungkapkan hal ini, Roger," sahutnya dengan suara parau, berusaha berbicara, meski suaranya terendam oleh tangan Roger.
Roger memaksa senyuman tipis di wajahnya, meskipun tak ada yang ramah dalam ekspresi itu. Dan dia tahu, jika Rossa tidak akan mudah menuruti permintaannya, kecuali dengan cara ancaman liciknya. "Oh, aku bisa, Rossa. Aku bisa mengungkapkan semua ini jika kau menolak membantuku. Dan percayalah, jika itu sampai terjadi, semuanya akan memandangmu buruk."
Dengan perlahan, Roger melepaskan sedikit cengkeramannya, cukup untuk memungkinkan Rossa bernapas dengan lega. "Apakah kamu ingin beresiko?" Roger bertanya, suara semakin tajam, "Aku hanya butuh sedikit bantuan darimu. Itu saja."
Rossa menatapnya dengan kebingungan dan ketakutan yang semakin besar. Dalam hati, ia tahu bahwa Roger tidak akan berhenti mengancam dirinya sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
Rossa mulai frustasi, dan terpaksa menuruti apa yang diinginkan Roger. "Baiklah. Apa yang harusku bantu?" tanyanya, dengan nada sedikit bergetar.
"Ambilkan tabung Vacutainer di saku celana Alvin," bisiknya kasar di telinga Rossa. "Cepat."
Rossa melirik sejenak ke arah Alvin yang tidur terlentang di samping Aldo, kekasihnya. Dia menelan ludah, tubuhnya terasa kaku saat menyadari jika dirinya gagal, maka konsekuensinya akan sangat besar, lebih besar daripada sekadar ancaman Roger.
Dia menoleh ke arah Roger, dan berkata dengan suara pelan, mencoba menghindari perintahnya. "Aku tidak bisa, Roger."
Roger mengangkat dagunya sedikit, dan tatapannya berubah tajam. "Lakukan perintahku, Rossa," katanya dingin, "Atau aku akan memberitahukan semuanya kepada mereka. Apa yang akan mereka katakan, jika sudah mengetahui itu, hmm? Kau ingin mereka tahu itu?"
Rossa menundukkan kepala, merasa terjebak dan sangat terancam. Dia menarik nafasnya dengan sangat dalam, dengan gigi terkatup, memutuskan untuk melangkah pelan menuju ke tempat Alvin dan Aldo yang sedang tertidur lelap. Dia berusaha mengendalikan langkahnya agar tidak menimbulkan suara.
Perlahan, dia menyelinap lebih dekat, hanya beberapa inci dari Alvin. Dalam kegelapan, matanya menelusuri wajah Alvin, memastikan bahwa pemuda itu benar-benar tertidur dalam lelapnya. Napas Alvin terdengar teratur, tidak ada tanda-tanda akan terbangun.
Dengan hati-hati, Rossa merogoh saku celana Alvin, jari-jarinya menyentuh tabung Vacutainer yang dimaksud Roger. Dia menariknya dengan sangat pelan, menahan napas, dan merasakan keringat dingin menetes di dahinya. Namun, tiba-tiba Alvin menggeliat, mengubah posisi tidurnya. Dia berbalik ke sisi lain, wajahnya kini menghadap ke arahnya, tubuhnya menyempit di antara Aldo dan dirinya.
Panik, Rossa membeku sejenak, hampir terjatuh, dan berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tetapi dengan cepat ia menyelinap mundur, tangan memegang erat tabung yang berhasil di tariknya dengan satu gerakan. Tabung itu berhasil terlepas dari saku Alvin, dan dia kembali melangkah menuju posisinya yang dimana Roger sudah menunggu dengan tersenyum dingin, seolah merasa puas dengan hasil kerjanya. "Bagus," bisiknya. "Sekarang, kau aman."
Rossa menggigit bibir bawahnya, menyerahkan tabung itu ke telapak tangan Roger dengan kesal. Dan dia hanya bisa berharap tabung itu akan cukup untuk menutup mulut Roger.
Roger melangkah pergi, kembali ke posisinya semula, di dekat jendela terbuka dengan senyum penuh kemenangan. Dia duduk, menatap tabung Vacutainer itu yang memiliki cairan berwarna hijau. "Akhirnya, tabung ini sudah ada di tanganku."
Tanpa pikir panjang, dia membuka tutup tabung itu, segera menelan cairan tersebut. Dalam detik itu, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang bergerak, menjalar ke seluruh tubuhnya. Tubuhnya terasa seakan-akan terbakar dari dalam, dan penglihatannya perlahan terlihat buram.
"Apa... apa yang terjadi pada tubuhku?" katanya bertanya pada dirinya. Perlahan pandangannya jatuh, melirik ke telapak tangannya, dan luka itu kini terlihat samar-samar tanpa memiliki bekas apapun dan darah yang membeku juga menghilang.
Dia berusaha mengangkat kepalanya, menatap sekeliling, menopang tubuhnya dengan sebelah tangannya ke lantai. Tapi, pandangannya kini diselimuti kabut merah dan perlahan menutup matanya, seketika itu tubuhnya terkulai di lantai.