NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Aku kembali ke kantor siang itu, dengan map cokelat usang dalam genggaman. Dada ini masih bergetar, tapi bukan karena takut. Melainkan karena tekad yang mulai menyala.

Beberapa karyawan menatapku saat aku melewati lobby. Seperti biasa, ada bisik-bisik dan lirikan sinis yang dilempar ke arahku. Dulu aku akan menunduk, diam dan pura-pura tidak peduli. Tapi hari ini, aku tidak akan tunduk lagi.

Aku menekan tombol lift menuju lantai tempat ruang kerja Reyhan berada. Tapi sebelum pintu lift terbuka, seseorang menarik lenganku kasar dari belakang.

“Dasar perempuan murahan!”

Aku terkejut, tubuhku ditarik mundur lalu didorong hingga hampir tersungkur ke lantai marmer. Seorang wanita dengan riasan tebal dan ID card tergantung di leher berdiri di depanku, menatapku penuh kebencian.

“Mentang-mentang dekat sama CEO, kamu pikir bisa seenaknya datang dan pergi dari kantor ini?!”

Aku mengatur napas, menegakkan tubuhku perlahan. “Maaf?”

“Kau pikir kami nggak tahu, Nayla? Dua temanku dipecat karena kamu! Kau hanya simpanan Tuan Reyhan, kau tidak bisa melakukan apapun keinginanmu!”

Beberapa pegawai mulai mengerumuni, pura-pura sibuk tapi jelas memperhatikan.

“Kalau aku kamu, aku sudah malu datang ke kantor ini! Tapi ternyata kamu memang nggak punya harga diri, ya!”

Dulu, mungkin aku akan menahan tangis dan kabur. Tapi tidak hari ini.

Aku melangkah maju, menatapnya tajam.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema di lorong kantor yang kini senyap seketika.

“Aku sudah cukup lama diam,” kataku tegas. “Tapi kau tidak berhak bicara seperti itu. Kau bahkan tidak tahu apa-apa soal aku.”

Wanita itu memegang pipinya, syok. “Kau... berani—”

“Berani membela diri? Iya. Karena aku bukan seseorang yang bisa kalian rendahkan kapanpun kalian mau. Jika kalian kehilangan pekerjaan karena Reyhan, urus sendiri masalah kalian. Jangan jadikan aku kambing hitamnya.”

Aku melangkah menuju lift yang kini terbuka, lalu menatap sekeliling.

“Dan satu lagi, jangan pernah menyebut aku perempuan murahan, kecuali kau siap ditampar lebih keras dari ini.”

Tanganku masih terasa hangat, bukan karena tamparan tadi, tapi karena sensasi yang baru. Ada desir asing di dadaku. Bukan ketakutan, bukan juga penyesalan. Justru... ini terasa menyenangkan.

Untuk pertama kalinya, aku melawan balik. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar hidup. Meskipun aku tahu hidupku tidak akan lama lagi.

Aku berdiri di dalam lift, menatap pantulan diriku sendiri di dinding logam mengilap. Ketika pintu lift terbuka, aku melangkah tenang. Suara derap sepatu hakku menggema di lorong lantai eksekutif. Langkahku mantap, map cokelat itu kukepal erat. Benda ini seperti pengingat bahwa aku sedang menjalankan misi.

Sampai di depan pintu ruangan Reyhan, aku berhenti sejenak. Napas panjang kutarik. Aku tahu dia mungkin akan marah. Akan mencemooh. Akan berusaha menghancurkan pertahananku seperti biasanya.

Tapi aku tidak peduli.

Aku buka pintu dan masuk.

Reyhan sedang duduk di balik mejanya, kepala tertunduk sedikit, menatap layar laptopnya. Dia tidak langsung menoleh saat mendengar pintu terbuka, tapi aku tahu dia tahu aku datang.

Aku berjalan menuju meja kerjaku yang terletak tak jauh dari meja utama miliknya. Aku duduk di sana dengan tenang dan menaruh tasku, mengeluarkan laptop dan beberapa berkas. Map cokelat itu kuselipkan hati-hati di dalam laci.

Reyhan akhirnya menatap ke arahku.

“Kau pikir kau bisa datang ke kantor sesuka hatimu?” katanya dingin. “Kau harus ingat, Nayla—”

Aku menatapnya singkat, lalu kembali fokus membuka layar laptopku. “Aku tahu , aku sekretarismu. Kau tidak perlu mengingatkanku."

Suasana hening sejenak.

Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapku lekat. “Apa sekarang kau sedang berpura-pura profesional, Nayla?”

Aku menoleh pelan. Tatapan kami bertemu. Kali ini, aku tidak menunduk.

“Bukan berpura-pura,” jawabku tenang. “Aku memang sedang menjalankan tugasku. Tak lebih, tak kurang.”

Reyhan tampak tidak suka dengan jawabanku. Rahangnya mengencang. Tapi dia tidak berkata apa-apa lagi. Entah kenapa, dia seperti menyadari ada yang berbeda dariku.

Dan itu memang benar. Aku berbeda sekarang.

Aku tidak akan menyerahkan map cokelat ini padanya hari ini. Aku akan mengumpulkan lebih banyak bukti. Aku akan memastikan kebenaran itu benar-benar utuh sebelum aku lemparkan ke hadapannya.

Namun tiba-tiba aku merasa mual dan pusing. Tidak. Aku tidak boleh terlihat lemah di depannya. Aku mengambil obat di tasku dan mulai meminumnya.

Aku mencoba tetap fokus menatap layar laptop di depanku, tapi tiba-tiba pandanganku mengabur. Ruangan seakan berputar pelan. Perutku terasa mual, dan tenggorokanku mengering.

Tidak...

Bukan sekarang. Bukan di sini.

Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan gejolak yang tiba-tiba muncul dari dalam tubuhku. Nafasku mulai tidak teratur. Aku tahu gejala ini. Aku tahu tubuhku sudah memperingatkanku sejak semalam. Tapi aku menolak untuk memberi tubuh ini kelemahan, terutama di hadapan Reyhan.

Tanganku bergetar sedikit saat aku membuka tas. Dengan hati-hati, aku mengambil botol kecil dari dalamnya, obat yang harus selalu kubawa ke mana-mana akhir-akhir ini. Kupastikan Reyhan tidak melihat jelas sebelum kutelan satu kapsul dengan bantuan air mineral dari botol yang sudah disiapkan di meja.

“Kau Kenapa?”

Suaranya memecah keheningan. Dingin dan curiga. Seperti biasanya.

Aku menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Tidak.”

“Wajahmu pucat.”

Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kursi, berusaha menenangkan jantungku yang berdetak terlalu cepat. “Kalau pun iya, tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Aku masih bisa menyelesaikan tugasku.”

Reyhan mempersempit tatapannya, seolah mencoba membaca pikiranku. “Kau tidak kelihatan baik-baik saja.”

“Tapi aku memang baik-baik saja,” sahutku pelan, lebih ke meyakinkan diri sendiri.

Lalu aku kembali menatap layar, mencoba bekerja seperti biasa. Tapi jari-jariku lambat. Otakku berdenyut ringan. Mungkin efek obatnya belum bekerja.

Aku tahu ini berbahaya. Tapi aku tidak bisa istirahat.

Belum sekarang.

Belum sebelum semuanya selesai.

Aku bisa merasakan Reyhan masih terus menatapku, tapi aku tidak menoleh. Biarlah dia bingung. Biarlah dia bertanya-tanya.

Karena hari ini, aku tidak akan menunjukkan kelemahanku.

Hari ini, Nayla yang lama sudah mati.

Dan yang tersisa adalah seseorang yang punya tujuan, meskipun waktu hidupnya mulai terasa semakin terbatas.

Pintu ruangan mendadak terbuka tanpa ketukan. Aku menoleh sekilas, dan seperti yang sudah kuduga, dia datang lagi.

Ara.

Dengan langkah percaya diri dan senyum manja yang dibuat-buat, ia masuk ke dalam ruangan, langsung menuju meja Reyhan.

“Terima kasih banyak ya, Rey, karena sudah menjemputku kemarin. Mobilku mogok di tengah jalan. Untung saja kamu datang tepat waktu,” ucapnya sambil menatap Reyhan dengan pandangan yang, menurutku, terlalu berlebihan.

Ia kemudian melanjutkan dengan nada ingin tahu, “Setelah mengantarku pulang… kamu kembali ke kantor, lalu menjemput Nayla, ya?”

Reyhan tak mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. “Aku sibuk,” jawabnya singkat, lalu menambahkan, “Sebaiknya kau pulang.”

Namun Ara tak menyerah. Ia pura-pura menyentuh dahinya dan berucap lirih, “Sepertinya aku terkena flu… tubuhku terasa lemas. Bisakah kau mengantarku ke dokter?”

Aku hanya bisa memutar bola mata mendengar nada rengekan yang dibuat seolah ia dalam kondisi kritis.

“Kalau memang begitu, sebaiknya kau antar saja, Rey,” ujarku tanpa menoleh. “Tuan Putrimu ini tampaknya sedang sangat membutuhkan perhatian.”

Wajah Ara berubah seketika. Ia sempat menoleh tajam ke arahku, tapi segera kembali bersikap manis di hadapan Reyhan.

“Reyhan, tolong ambilkan obat untukku, ya? Aku benar-benar merasa pusing,” katanya dengan suara manja.

Tanpa banyak bicara, Reyhan berdiri dan berjalan ke ruang istirahat untuk mengambil obat.

Begitu ia menghilang dari pandangan, Ara segera berbalik menatapku dan berjalan ke arahku. Kali ini, senyumnya hilang, berganti tatapan sinis.

“Kau tahu?” bisiknya pelan. “Kemarin Reyhan mengantarku pulang. Dia bersikap sangat hangat padaku. Sama sekali berbeda dengan caranya memperlakukanmu.”

Aku tetap diam, tidak memberi tanggapan apa pun.

“Dia akan menceraikanmu, Nayla,” lanjutnya dengan nada penuh kemenangan. “Setelah itu, dia akan menikah denganku. Kau pikir kau akan tetap di sisinya selamanya?”

Aku menghentikan kegiatanku dan menatapnya dengan tenang. “Sudah selesai?” tanyaku datar.

Ekspresi Ara tampak kesal , mungkin karena sikapku yang tidak sesuai dengan harapannya.

Beberapa detik kemudian, langkah kaki Reyhan terdengar kembali. Ara tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya ke lantai.

“Aduh! Nayla, kenapa kau mendorongku?v!” teriaknya sambil memegangi lengannya, berpura-pura kesakitan.

Reyhan dengan cepat menghampiri dan membantunya berdiri. “Nayla! Apa yang kamu lakukan?!”

Aku bangkit dari dudukku dan berjalan pelan ke arah mereka. Begitu tiba di depan Ara, aku menatapnya tanpa ekspresi.

Kemudian, tanpa peringatan, aku mendorong tubuhnya hingga ia kembali terjatuh ke lantai.

Ara menjerit kaget.

Aku menatapnya tajam. “Kalau yang barusan itu... memang benar aku yang melakukannya,” ucapku tenang. “Dengan begitu, kau tak perlu repot-repot berbohong lagi.”

Reyhan membelalakkan matanya menatapku. Mungkin dia terkejut dengan yang ku lakukan. Tapi aku tak perduli.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!