Cover by me
Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.
Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.
Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.
Lanjut baca langsung ya disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Operasi Bebeb: Sean vs Pangeran Besar
Bukan manusia mungkin setengah dewa
Bukan main kuat-kuat orangnya
Tak perduli Perwira, Bintara atau Tamtama
Luar biasa
Lari gembira Renmil sudah biasa
Terjun Para makanan sehari-harinya
Tak peduli di darat, di laut, di udara
Prajurit Baladika
Komando, Kami memang gila (memang gila)
Lantang suara semangat 55
Baladika Para Komando
Wadah pertama prajurit pilihan.
Suara yel-yel para prajurit menggema lantang di sore hari, mengiringi derap langkah mereka yang berlari mengelilingi area markas. Keringat bercucuran, napas tersengal, tapi semangat tak pernah padam. Baladika memang gila, tapi gilanya terlatih.
Sementara itu, di bawah pohon mangga yang rindang, dua sosok bersila santai di atas rerumputan tengah memperhatikan para tentara sedang berlari sore sambil bercengkrama. Dwika tertawa terpingkal-pingkal, sementara Abri duduk dengan wajah cemberut penuh kesal.
Saking kesalnya, Abri langsung melempar botol air mineral ke arah kepala Dwika.
BUGH!
Tepat sasaran sekali, botol itu benar-benar mengenai jidat Dwika. Rasakan!
"Asem memang! Benjol kepalaku dong bri!" protes Dwika, akhirnya berhenti tertawa.
"Salah sendiri!" balas Abri tajam.
Salah memang Abri berbagi cerita tentang kelakuan Hamzah kemarin di rumah sakit pada Dwika yang notabennya adalah menantu jenderal Hamzah sendiri yang sama gesreknya pantas mereka klop jadi mantu dan mertua.
"Ya abisnya kau sih bri. Papi langsung loh ini yang datang minta kau jadi suami dari anaknya, bukan malah kau yang minta jadi suaminya. Momen langkah loh itu bri sampai buat papi ngebet dan maksa kau untuk nikahi anaknya. Aku aja dulu mau dapatin Berlian setengah mati dapatkan Restu dari beliau. Kau tau sendiri ceritanya gimana kan? Segala umur di bawa bawa. Lah kau yang udah di tarik dan di paksa masuk begini kok malah masih gak mau itu gimana? Gak mungkin karena kau gak suka Moza. Bohong mah kalau kata ku."
Moza itu cantiknya kebangetan dan Dwika pun tau tak satu dua orang yang menginginkan gadis itu, tapi tau sendiri itu perempuan punya bapak gimana. Dia aja dulu mau dapat Berlian segala hal di lakuin, lah Abri yang bebas hambatan ini malah uring-uirngan gak jelas itu gimana?
"Siapa sih yang gak suka, cantik begitu." Abri akui itu. Bohong jika manusia tidak pandang fisik. Apa lagi kalau pria bilang nggak mesti cantik yang penting baik dan tetek bengek jurus buayanya. Bohong itu jangan percaya. Cowok yang ngomongnya begitu itu cowok yang baru bangun tidur dan nyawanya belum genap.
"Berarti suka dong?" tanyanya menggoda, menaik-turunkan alis.
Abri hanya mendengus di goda seperti itu. Ia bahkan membuang pandangannya kesamping. Seperti yang di katakan Abri tadi, siapa yang tidak suka gadis secantik Moza yang di agung-agungkan memiliki spek bak bidadari. Suka? Ya. Tapi mengaku? Malu. Sesimpel itu.
"Jangan bilang kamu masih belum move on dari cewek kardus itu." tebak Dwika.
Langsung, Abri terdiam. Ia tau siapa yang di maksud sahabatnya itu. Ia kembali memandang lurus kedepan menekuk kedua lututnya, menumpukan kedua tangannya di atas masing-masing lutut dan menghela nafas lelah padahal gak ngapa ngapain. “Kau tau sendiri, Dwi... Cintaku habis di dia. Sisanya? Ya... aku cuma lanjutin hidup.”
Ternyata curhat semalam ke Argan belum cukup. Masih ada yang mengganjal.
PLAK!
Dengan tidak santai Dwika memukul kepala Abri ,membuat Abri kaget karena serangan tiba-tiba yang Dwika berikan.
"Wah, tanganmu Dwi!" jelas saja Abri tidak terima ketika kepalanya di pukul seperti itu oleh Dwika.
"Otakmu harus di gebuk dulu kayak gini biar waras! Cewek kardus kayak gitu masih aja diinget!” jujur saja mengingat masa lalu Abri membuat Dwika kesal sendiri. Di tambah lagi Abri yang belum bisa move on sampai sekarang. Ingin sekali dia mencuci otak Abri itu dengan pembersih, pemutih untuk menghilangkan kerak yang membandal di otak Abri dalam bentuk bayang-bayang cewek kardus pakai wipol.
“Kau ini laki-laki, Bri. Cowok biasanya pakai logika. Come on. Lupain sih cewek kardus gak tau diri itu. Move on! Ingat umurmu yang udah gak muda lagi, bahkan kau itu udah di langkahi si Aidan loh ini. Apa mau sampai di langkahi si Argan juga baru kau sadar? Jadi jangan masih nyangkut di situ!"
Abri terdiam. Bukan dia tidak mau menikah hanya saja ia masih trauma akan rasa sakit itu. Perlahan ia berbisik, “Aku takut ditinggal lagi, Dwi. Takut banget...”
Dwika menghembuskan napas kasar. “Ya udah! Biar gak ditinggal, langsung minta nikah sama Jenderal Hamzah! Beres!” pungkas Dwika. Benar bukan, Dwika itu tidak ingin ribet.
"Nikah? Kau pikir semudah itu aku untuk nikah? Pemberkasan, pengajuan... gak kau pikirkan heh? Kita ini bukan sipil, tolol!”
BUGH!
Botol air kembali melayang, kali ini giliran Dwika kena lagi.
Persahabatan yang penuh dengan kekerasan fisik.
"Aduh!" Keluh Dwika lagi. Tangannya mengelus kepalanya yang mungkin sudah bertambah benjol, tapi kali ini ia tak ingin protes ia ingin membuka otak Abri seluas luasnya lebih dulu baru memakinya karena terlalu lama memelihara kebodohan.
“Denger, ya! Bapakmu itu Pangdam, calon mertuamu Jenderal bintang lima. Masih juga kau pikir ini sulit? Gunakan koneksi itu, bodoh! Manfaatkan! Kau minta nikah sekarang pun, pasti langsung disetujuin. Pemberkasan sat set! Gak ada ribet-ribet!” Ucap Dwika yakin karena ia tau sengebet apa bapak mertuanya itu untuk menjadikan Abri menantu.
"lagian aku udah gak bisa mundur Dwi, nanti malam udah pertemuan keluarga dan ku jamin kalaupun aku mundur sekarang, bisa-bisa mertuamu itu bikin gerakan tambahan ke keluargaku.”
Kali ini Dwika yang manggut manggut tau seperti apa Hamzah, pernah sekali Berlian jatuh naik motor saat dia masih dinas di Kartasura, cuma lecet lecet doang, gak parah juga. Tapi walaupun tidak parah dan Belian yang jatuh, Dwika lah yang kena getahnya. Pria itu di hukum karena lalai menjaga istrinya, dia di kasih makan nasi komando. Tau tidak nasi komando itu nasi apa? Nasi sehat, bahkan gizinya lengkap empat sehat lima sempurna. Tapi... Tau tidak kalau semuanya itu di blender jadi satu? Dari mulai nasi, ikan, sayur, buah, dan susu di campur menjadi satu. Sudah seperti muntahannya kucing. Jangan tanya Dwika bagaimana, jelas sudah dia muntah muntah tidak karuan. Tapi walaupun begitu tidak ada ampun, Hamzah tetap teguh pada pendirian, Dwika di suruh menghabiskan itu sampai tandas tak bersisa. Dan karena itu juga Dwika kapok, kemanapun Berlian pergi Dwika pastikan istrinya selamat sampai tujuan. Ia tak ingin di hukum lebih gila lagi dari itu hanya karena masalah sepele.
Dret! Dret!
Ponsel Abri bergetar. Nama Mamanya muncul di layar. Ia segera angkat.
"Hm, waalaikumsalam ma. Kenapa?"
"..."
"Iya, Abang ingat."
"..."
"Hm." Wajahnya tampak mau tak mau menjawab.
"..."
"Iya, ada kok."
"..."
"Iya, mama. Nanti aku minta kasih tau Dwika." Baru ia melirik sahabatnya yang ternyata sejak tadi juga tengah memperhatikan dan sepertinya mencoba menguping pembicaraanannya.
"..."
"Iya ma, iya. Waalaikumsalam."
Panggilan terputus.
"Mamamu bilang apa? Kenapa bawa-bawa namaku?"
Abri melirik Dwika memasukkan ponselnya kembali ke saku celana "Sherlock alamat mertuamu," Ia malah tak memperdulikan pertanyaan sahabatnya itu.
"Oh... acaranya di rumah mertuaku?"
“Nggak, di rumah Spongebob!”
"Aku serius bri!"
Abri berdecak "udah tau minta alamat masih nanya lagi. Goblok!"
TAK!
Lalu Abri berlari setelah berhasil menjitak kepala Dwika. Jitak bukan sembarang jitak, karena Abri sampai memakai tenaga dalam untuk melakukannya. Sudah pasti sakitnya tak tertolong.
"Bangsat!" Maki Dwika langsung mengejar Abri yang sudah ngakak sepanjang jalan karena mendengar umpatan Dwika yang tak terhingga. Semua jenis hewan kebun binatang pun mulai di absennya.
"Film India?" Tanya Ibam di depan pintu barak Memperhatikan dua komandan beda pleton itu malah saling kejar-kejaran seperti bocah TK tak ingat umur. Badan bongsor seperti mereka itu sebenarnya tak cocok untuk berkelakuan begitu.
Denis yang di ajak ngomong hanya manggut sekali "itu si Rohit terus itu si Pria..." tunjuk Denis pada Dwika lebih dulu lalu kemudian pada Abri dan setelahnya keduanya tergelak.
__________________
Malam pun tiba. Moza sudah tampak cantik dalam balutan dress santai berwarna putih bermotif bunga kecil-kecil. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai alami, menambah kesan manis pada penampilannya malam ini. Aroma vanila samar menyeruak ketika ia menuruni anak tangga, hendak bergabung dengan keluarga yang sudah duduk santai di ruang tamu.
"Wah, bunda Sean cantik banget,"puji Sean saat melihat penampilan Moza. Semua mata langsung mengarah ke gadis itu begitu mendengar pujian bocah kecil itu.
"Ya iyalah, soalnya hari ini pangerannya Bunda mau datang. Makanya dandan cantik," ujar Hamzah sembari melirik putrinya. Moza hanya bisa menunduk malu, pipinya bersemu merah meski penampilannya sebenarnya tidak berlebihan. Ia sengaja tidak berdandan terlalu heboh, agar tidak terlihat terlalu antusias menunggu calon keluarga barunya datang.
Sean yang berada di pangkuan sang kakek menoleh menatap wajah Hamzah dengan penuh raut kebingungan. "Bukannya pangelan bunda Oza itu Sean ya opi?" Tanyanya dengan wajah polos, Hamzah jadi terkekeh karenanya.
"Iya, tapi hari ini ada pangeran besar yang akan datang kerumah buat lihat bunda Oza kita," Lagi Hamzah melirik putri bungsunya yang sudah tertunduk malu di samping Vira—menantunya.
Moza menyeret Vira kedapur dalih untuk membuat minum padahal sebenarnya ia tidak ingin di goda terus-terusan oleh Hamzah.
"Mau ngapain?"tanya Sean masih belum paham. Sejenak bocah itu terdiam lalu kembali bersuara dengan mata membulat "Oh, Sean tau. Jangan jangan mau culik Tante Oza ya? Wah, gak Sean izinin, gak Sean izinin!" Bocah itu lompat turun dari pangkuan Hamzah dan berlari kecil memegangi dadanya kedepan pintu utama untuk menghadang jalan pangeran besar yang di maksud kakeknya saat akan masuk nanti. Tidak akan Sean biarkan siapapun pria mengambil my bebebnya.
Walaupun Sean juga mengalami trauma akibat kejadian di basement mall itu, tapi trauma yang Sean dapatkan tak separah Moza, bocah itu hanya trauma akan suara tembakan karena di saat kejadian dia hanya dapat mendengar tak mampu membuka mata. Jadi tidak tau situasi mencekam seperti apa yang terjadi padanya saat itu.
"Assalamualaikum," salam sepasang paruh baya saat memasuki kediaman Hamzah sontak itu membuat Sean yang baru tiba di depan pintu utama berjengkit kaget. Lalu setelahnya memekik girang.
"Nenek doktel!" Serunya penuh semangat, ia ingat wanita paruh baya di hadapannya inilah yang merawatnya sampai sekarang karena luka dalam Sean belum pulih sepenuhnya.
"Halo anak ganteng," sapa wanita paruh baya itu dengan full senyum ia akan mengangkat Sean dalam gendongannya namun di ambil alih pria paruh baya yang tidak lain adalah suaminya.
"Ada kakek ganteng juga. Mau ketemu opi Sean ya?" Ia juga ingat wajah pria paruh baya ini yang pernah beberapa kali mengunjunginya saat masih di rawat.
Pria paruh baya yang di panggil kakek itu mengangguk "kamu udah sembuh?"
Sean menggeleng, "dadanya masih seling sakit kek," jawabnya jujur memang terkadang masih terasa nyeri jika ia banyak bergerak.
Hamzah dan Clara datang menghampiri "Sudah sampai bang Saga? Masuk masuk," Hamzah mempersilahkan tamunya untuk masuk lebih dulu namun dimana bintang utama hari ini kenapa tidak terlihat "Abri mana?" Tanya Hamzah, saat tak melihat pemuda itu. Jangan jangan berubah pikiran?
"Masih di jalan, bentar lagi sampai katanya," jawab Saga.
Senyum Hamzah kembali terbit, lalu mempersilahkan tamunya untuk masuk.
"Kakek ganteng, Sean mau tulun. Mau begal pangelan besal!" Serunya.
Kening Saga berkerut samar pertanda bingung, siapa pangeran besar yang dimaksud Sean itu? Tapi ia tetap menurunkan Sean dari gendongannya.
"Sean harus istirahat loh, supaya lukanya cepat sembuh," ujar Nada, karena mau bagiamana pun bocah berusia lima tahun itu masih tetap pasien rawat jalannya.
"Nanti nek, mau tunggu pangelan besal yang mau culik bunda Sean. Enak aja!" tukas Sean, matanya menyala-nyala.
Saga dan Nada saling pandang tak paham.
"Sudah biarkan aja bang, kak. Yuk masuk dulu," ujar Hamzah. Mereka pun duduk di ruang keluarga.
Sebenarnya acara pertemuan keluarga hari ini mau di adakan di luar, tapi mengingat kejadian yang baru saja terjadi pada Moza mereka jadi urung. Takut situasi juga belum aman dan Moza masih dalam pengintaiannya jadilah mereka melakukan pertemuan keluarga di kediaman keluarga Abraham Saja.
"Dek, Oza," panggil Clara mengahampri putri bungsunya yang saat ini tengah berada di dapur. "Ayo, ketemu sama mama dan papanya Abri dulu," Clara menarik tangan putrinya.
"Mami, jangan di seret dong ozanya, Oza gugup ini kasih nafas dulu," Moza berusaha melepas tangan sang mami yang memegang pergelangan tangannya.
Clara menatap wajah putrinya dengan raut geli "Memangnya dari tadi gak nafas?"
"Bukan gitu mi... Oza gugup."
Clara membelai pipi Moza dengan sayang, "nak Abri juga belum datang kok, masih papa mamanya. Dia masih di jalan jadi kamu masih bisa nafas untuk sementara waktu."
Belum datang toh calonnya? Tapi walaupun begitu tetap saja Moza deg degan mengingat ini kali pertama dia di pertemuan dengan orang orang yang kelak akan menjadi keluarga barunya.
Moza mengambil nafas dalam dalam lalu membuangnya dengan perlahan. Dia harus tenang. "Yuk mi," lalu mengandeng tangan Clara.
Keduanya pun berlajan ke ruang tamu bersama Clara menyuruh Moza menyalam tangan Saga dan Nada lebih dulu.
"Masya Allah mbak, dulu hamil ngidam apa sih anaknya bisa cantik banget begini?" puji Nada begitu melihat wajah Moza. Ia seblumnya juga sudah pernah bertemu dengan Moza di beberapa kesempatan.
Clara tertawa "ngidam rujak cingur mbak," lalu ke enam orang di sana tertawa termasuk Julian dan vira yang juga sudah bergabung. Sementara Moza cuma bisa nyengir doang, karena masih malu dan juga gugup mana bisa dia ketawa ketiwi dalam situasi menegangkan seperti ini.
Ia sesekali melirik ke arah pintu utama dimana Sean masih setia berdiri di sana untuk menunggu kedatangan Abri. Benar benar anak itu tak akan mengizinkan siapapun untuk mengambil Moza darinya.
Bocah itu berkacak pinggang dan semakin membusungkan dadanya kala melihat mobil asing yang sudah ia pastikan bahwa itu adalah pangeran besar yang di maksud oleh kakeknya tadi. Dan benar seorang pria dengan perawakan tinggi, tegap dan besar turun dari sana dan berjalan kearahnya.
Mental Sean tak gentar sama sekali melihat postur tubuh pemuda itu, matanya bahkan semakin mendelik memancarkan aura permusuhan. Ia merentangkan kedua tangannya nyaris seperti perwira militer sedang menyetop kendaraan. Saat Abri akan masuk, bocah itu mendongak jauh menatap Abri yang berdiri menjulang di hadapannya.
"Et, om pangeran besar Ndak boleh masuk!" Cegatnya tak ada takutnya kedua tangan kecilnya masih membentang mengahalangi jalan.
Abri balas menatap Sean dengan kerutan di keningnya namun bibirnya tetap tersenyum kala bocah lima tahun yang pernah ia duga adalah anak dari Moza itu menatapnya dengan penuh permusuhan. Tapi tadi apa katanya pangeran besar? Siapa? Abri?
"Tunggu, kita pernah ketemu kan om?" Tanya Sean sambil memicingkan mata, berusaha mengingat wajah pria di depannya yang cukup familiar.
Abri pun berjongkok menyamakan tinggi tubuhnya dengan Sean lalu mengangguk dengan wajah full senyum. Bodo amat siapa pangeran besar itu.
"Sean ingat!" Serunya setelah berpikir cukup keras untuk mengingat Abri "om komplotan om Aji kan yang mau culik bundanya Sean my bebebnya Sean!"
Abri terkekeh mendengarnya. Kenapa sih bocah ini selalu menganggapnya komplotan si Aji? Memangnya Aji ingin menculik Moza? Lagian dari mana anak ini dapat istilah begitu?
"Mau ngapain lagi om kesini?! Jangan bilang mau culik bebeb Sean ya. Awas aja, Sean pangggilin opi kalau berani culik bunda Oza nya Sean!" Tidak lupa dengan mata menyipit mengintimidasi.
"Sean!" Panggil Vira saat mendengar suara bocah itu yang entah berbicara dengan siapa, orang yang Sean ajak bicara tak terlibat sama sekali.
Tak mengindahkan panggilan Vira, Sean malah lanjut ngomel. "Dengel ya om, bunda Oza itu cuma punya Sean, udah telsertifikasi dali MUI, mending om cali talget Balu sana! Oh, atau om jomblo akut ya, dan kempincut my bebeb Sean yang cantik gak teltolong itu? Jangan halap ya om, mending sana pelgi cali jodoh di bukalapak, shopee, Tokopedia atau tik tok yang banyak cewek seksi geol-geol kelihatan udelnya."
Abri terpingkal mendengar saran bocah ini. Dari mana sih bocah ini belajar ngomong begitu? Memangnya ada jual jodoh di aplikasi belanja? Lagian tau dari mana dia kalau di tik tok banyak cewek seksi geol-geol kelihatan pusatnya?
"Tau dari mana kamu ada yang jual jodoh di aplikasi seperti itu?" tanya Abri akhirnya, tak tahan.
"Dih, tau dong. Om aja kudet. Mau cari cewek yang gimana? Cewek high value sampai model Ani Ani ada, gadis lasa janda juga ada om kalau om mau."
Buset, omongannya. Mata Abri sampai mendelik sangking kagetnya dengan perkataan bocah lima tahun ini. Belajar dari mana dia omongan begitu? Bocah lima tahun yang seharusnya masih polos polosnya ini bahkan sudah tau gadis rasa janda dan Ani Ani. Siapa yang ngajarin ini?
"Jadi jangan coba coba lirik bebeb Sean!" Dengan mata melotot ia mengatakan itu seakan akan mencoba membuat Abri takut dengan mata mendelikkanya.
Tapi bukannya takut Abri malah tergelitik ingin mengerjai bocah cerewet ini. "kamu dari tadi ngoceh mulu, belum juga tau nama saya. Kenalan dulu dong," Abri mengulurkan tangannya di depan wajah Sean mengajak bocah itu berkenalan.
Sean menatap tangan dan wajah Abri bergantian dengan raut bingung, tapi ia tetap menjabat tangan pria besar di hadapannya itu.
"Saya Abri," lalu mencondongkan tubuhnya kedepan berbisik pelan tepat di telinga kiri bocah itu "calon Suami my bebebmu itu."
"APA?!" Pekik Sean dengan wajah kaget matanya bahkan membola dengan begitu besar seakan ingin melompat keluar. Semua orang yang mendengar terikan Sean berjengkit kaget. Sementara Moza lekas berjalan menghampiri Sean takut bocah itu kenapa Napa.
Abri menyeringai bak setan di mata Sean. "MAMA!!" teriaknya lagi membuat Abri tertawa ngakak melihat reaksi Sean yang begitu lucu di matanya.
"Sean kenapa?" Tanya Moza belum menyadari keberadaan Abri.
"Om ini– Om ini bunda– huwaa...." Tangisnya pecah.
Moza langsung menoleh dan betapa terkejutnya dia melihat Abri berada disana. Matanya bahkan sampai membulat sempurna "KAMU!" serunya.
lega bgt baca moza dan bg abri so sweet gitu... 🥰🥰
ya allah alhamdulillah
bila da cbaaann lg jgn lbh dr ini thor
brasa kayak brdiri antra perbatasan palestin dan israel