Sudah lama menikah, tapi belum pernah merasakan malam pertama?
Mustahil!
Mungkin itu yang akan orang katakan.
Tapi, ini benar-benar terjadi pada Vania.
Saat memutuskan untuk menikah muda,Vani justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Suaminya tidak mau menyentuhnya sama sekali. Bahkan di malam pertama pernikahannya, Faisal meninggalkannya begitu saja.
Entah apa alasannya, Vani sendiri tak mengerti.
Tinggalkan jejaknya sayonk😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Lana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mobil Baru
"Udah, Van. Kamu yang ikhlas ya? Nanti ibu sama Bapak juga ikut sedih kalau lihat kamu kayak gini." Faisal berusaha menghibur Vani. Membujuknya juga agar mau pulang ke rumah yang ada di kota.
Acara selamatan untuk ibu mertuanya telah selesai, Faisal harus segera kembali bekerja setelah mengambil cuti yang lumayan panjang untuk menemani Vani selama masa berkabung kemarin.
"Tapi, kalau aku kembali ke kota, siapa yang akan mengurus rumah peninggalan Bapak, Mas?" Vani merasa di lema. Salah seorang kerabat jauh Vani mengusulkan untuk menjualnya saja. Tapi, Vani sangat keberatan karena tidak ingin kehilangan peninggalan satu-satunya dari kedua orangtuanya.
"Ya udah kalau emang nggak mau di jual lebih baik di sewakan saja gimana?" Faisal memberikan usul. Lagipula tidak mungkin Vani akan sering pulang ke rumah itu mengingat jarak yang di tempuh lumayan panjang.
"Bener, Van. Mending di sewakan aja." Nisa setuju dengan usul Faisal tadi. Nisa juga tidak keberatan jika di minta untuk ikut merawat rumah peninggalan orang tua Vani.
"Tapi kamu bantu aku, kan Nis?"
"Iya, siap!" Gadis itu tersenyum membalas ucapan Vani.
Vani bisa kembali pulang ke kota dengan perasaan lega. Meski kesedihan masih menyelimuti hati, Vani bersyukur ada Faisal yang selalu ada dan menghiburnya setiap hari.
Turun dari mobil Vani dan Faisal langsung di sambut ibu mertuanya dan juga Luna. Entah apa mereka lakukan Vani memilih langsung melangkah masuk setelah menyapanya lebih dahulu.
"Ya udah, lebih baik kamu istirahat aja. Ibu mau ngomong sebentar sama Faisal."
Tumben sekali berbicara lembut, padahal biasanya selalu berbicara ketus pada Vani.
Sepeninggalan Vani mereka langsung menuju kursi yang ada di teras depan. Duduk saling berhadapan, Bu Widia segera menagih janji yang sempat Faisal ucapkan padanya beberapa hari yang lalu.
"Tapi nanti aku pilih sendiri ya, Kak?" Luna berteriak penuh kegirangan. Akhirnya apa yang ia impikan selama ini akan segera tercapai. Hanya tinggal menunggu beberapa jam saja Luna bisa membalas semua hinaan teman-temannya untuk dirinya.
"Iya nanti kamu pilih sendiri, Lun. Kakakmu udah janji, kamu tenang aja." Bu Widia tersenyum sumringah karena setelah ini Luna tak akan lagi merengek terus-terusan padanya.
Vani tak begitu peduli. Setelah ke arah dapur lebih dulu untuk mengambil minuman, Vani segera melanjutkan lagi langkahnya menuju kamar tidur.
Sesampai di dalam kamar dan mengganti pakaiannya dengan daster rumahan, Vani segera merebahkan diri untuk beristirahat.
.
.
.
Vani mulai mengerjap merasakan tubuhnya yang terasa segar kembali. Vani tidak ingat berapa lama ia tertidur, namun saat menatap tirai kamar yang masih terbuka, Vani yakin jika saat ini waktu sudah menjelang sore.
Vani beranjak dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar saat mendengar deru mobil milik Faisal yang berhenti di depan rumah. Vani melangkah cepat ke arah pintu dan membukanya, ternyata di halaman sana sudah terparkir dua buah mobil.
"Kamu dari mana, Mas?" Vani menatap mobil satunya lagi yang terlihat masih baru. Lantas, mendekat kearahnya. "Ini mobil siapa?"
Belum juga Faisal sempat menjawab, terlihat seorang pria asing turun dari mobil tersebut. "Ini kunci mobilnya, Pak. Saya pamit dulu." Menyodorkan benda kecil itu kearah Faisal.
"Eh, makasih, Pak."
Vani masih menunggu sampai akhirnya pria asing tadi meninggalkan pekarangan rumah. Vani kembali mendekat dan menatap suaminya dengan penuh selidik, "Mas ....?"
"Ini mobil baru, Van. Aku baru membelinya," jawab Faisal secara jujur.
"Baru? Tapi, buat apa? Bukannya mobil kamu masih bagus?" tatap Vani dengan serius. Membeli mobil yang harganya ratusan juta saja bisa, tapi menafkahi istrinya sendiri kenapa sangat pelit?
"Itu mobil buat aku lah, Mba." Tiba-tiba saja Luna dan Ibu sudah berdiri di belakangnya. Entah sejak kapan dua wanita itu datang, yang pasti sejak tadi Vani terlalu serius dengan mobil baru yang terparkir di depannya.
"Iya, itu mobil buat Luna kuliah nanti. Kenapa?" tanya Bu Widia dengan pandangan sinis.
"Ya, nggak apa-apa sih, Bu. Cuma kaya kurang tepat aja kalau beli mobil itu sekarang, sedangkan aku masih suasana berkabung." Vani menunduk sedih. Di saat ia tengah berduka, kenapa malah Faisal enak-enakan membelikan mobil untuk adiknya. "Lagian Luna belum terlalu butuh 'kan, Mas?" Beralih menatap suaminya.
"Nggak butuh gimana sih, Mba. Jelas-jelas aku butuh mobil buat kuliah nanti!" tegas Luna tidak mau kalah.
"Iya, tapi 'kan nggak sekarang, Lun. Kamu lulus aja belum."
"Eh, udah yah! Lagian ngapain sih larang Faisal beliin mobil buat Luna? Itukan pakai uang dia sendiri, bukan uang kamu!" Tentu saja Bu Widia membela anaknya. Ia merasa jika apa yang Vani terima selama ini sudah lebih dari cukup.
Vani langsung melirik kearah suaminya. Jika memang Faisal memiliki banyak, lantas kenapa ia pelit sekali pada istrinya sendiri.
"Tahu tuh Mba Vani, iri aja aku di beliin mobil sama Mas Faisal. Kalau pengen ya tinggal minta aja sih sana."
Boro-boro minta di beliin mobil. Uang bulanan aja pas-pasan. Batin Vani.
"Kamu nggak bilang aku dulu sih, Mas?" tatap Vani pada lelaki di sampingnya.
"Kenapa juga harus bilang? Faisal itu anakku, Van. Aku yang lahirin dia. Aku juga yang udah besarin dia!"
"Tapi, Mas Faisal juga suamiku, Bu. Aku berhak tahu apa yang ia lakukan."
"Cukup ya, Van! Jangan melebihi batasanmu! Aku nggak suka!" Kali ini suara Faisal yang terdengar dengan nada mulai meninggi.