Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Xavier tidak pernah berpikir hal yang aneh-aneh tentang Helen, tetapi Helen malah berpikir seperti itu sebagai hutang budi.
"Apa kamu merasa kalau misalkan perbuatan saya ini mengganggu kamu, sehingga kamu merasa kayak hutang budi?"
"Enggak sih, saya cuma nggak enak aja sama Bapak karena saya merasa saya juga harus tahu diri. Kalau saya nggak tahu diri, nanti malah susah."
"Apa sih yang dimaksud dengan tahu diri? Saya nggak paham maksudnya. Saya kan baik, tapi kalau kamu merasa terbebani, ya udah bilang aja. Daripada nanti nggak enak belakangannya."
Helen bukan tidak bersyukur, tetapi dirinya merasa tidak nyaman aja diperlakukan baik sama orang lain. Soalnya, dirinya itu sebenarnya dari dulu tidak pernah diperlakukan baik. Makanya, dirinya merasa aneh ketika diperlakukan baik oleh orang lain. Seolah-olah seperti ada hal yang diinginkan, tapi tidak dapat diucapkan pada orang itu.
"Enggak usah terbebani, Pak, sama saya. Karena saya orang yang memang tidak usah dipikirkan."
Setelah Helen keluar dari mobil, Xavier terus memikirkan perkataan Helen, sehingga dirinya tidak fokus untuk kerja.
Sampai di kantor, Pak Bos malah diam saja dan tidak mau kerja sama sekali. Ia malah bengong, bukan bekerja. Sekretarisnya yang melihat itu merasa bingung. Ada apa dengan Pak Bos? Tidak seperti biasanya. Kalau Pak Bos, kan, kalau sudah ada kerjaan, pasti gila kerja. Tapi kok kali ini benar-benar diam dan dibiarkan aja? Padahal kerjaannya sudah banyak dan hampir menutupi wajahnya di depan mejanya tersebut.
Sekretarisnya tidak bermaksud mengganggu, tetapi memang ada hal yang harus ditanyakan kepada Pak Bos agar tidak terjadi kesalahpahaman ke depannya.
"Maaf, Pak, saya tidak mau mengganggu waktunya, tetapi ada yang mau saya tanyakan, Pak."
"Ya, soal apa?"
Xavier mencoba untuk fokus kerja, walaupun dirinya tidak fokus sama sekali.
"Jadi, customer kita nanya, Pak, mau kapan dimulai meetingnya. Kemarin sih, rencananya besok, tapi katanya pesawatnya ada delay, makanya belum tahu hari ini atau enggak. Menurut Bapak bagaimana?"
"Ya udah, terserah customernya aja. Bisanya kapan, saya ngikutin dia aja. Dan kamu coba cocokin jadwal saya di mana saya kosong."
"Baik, Pak. Kalau gitu, maaf saya sudah mengganggu waktunya."
Xavier hanya tersenyum saja dan merasa tidak mengganggu sama sekali, tetapi sekretarisnya merasa kasihan kepada bosnya karena bosnya jadi banyak berpikir dan sehingga dahinya menjadi mengerut.
Saatnya makan, bosnya malah tetap di tempat kerja dan tidak makan sama sekali. Tetapi sekretarisnya perhatian dan baik kepada bosnya, dan akhirnya membawakan makanan untuknya. Bosnya bingung kenapa sekretarisnya membawakan dirinya makanan, padahal dia tidak meminta makanan sama sekali.
"Kenapa kamu bawain saya makanan? Kan saya nggak minta makanan."
"Kan perut Bapak yang minta. Saya juga nggak tahu kalau jam segini pasti Bapak lapar, makanya saya bawain makan."
Xavier merasa betapa perhatian sekretarisnya. "Saya ingin sekretarisnya pria, bukan wanita."
"Kenapa, Pak, senyum-senyum?"
"Nggak apa-apa. Kamu pergi makan juga deh. Nanti kalau kamu nggak makan, kamu sakit lagi."
"Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi ya, Pak. Saya juga mau makan."
Xavier tersenyum kembali kepada sekretarisnya, lalu sekretarisnya keluar dari ruangannya.
Setelah selesai pekerjaannya, akhirnya Pak Bos memilih untuk pulang dan tidak mau lembur di pekerjaannya, karena dirinya merasa kebanyakan lembur tidak baik. Saat dirinya keluar dari perusahaannya, tiba-tiba ada anak ABG yang muncul di depan mukanya. Perasaan Pak Bos waktu itu sangat bingung, campur aduk, karena berpikir, ini beneran nyata dirinya atau bukan sih?
"Ngapain kamu ke sini?"
"Jemput pacar aku kan."
Pak Bos hanya diam dan berpikir, apakah dia tidak salah berbicara, padahal dirinya tidak pernah mau menginginkan hal itu.
"Kau bicara apaan sih? Nggak lucu, aku bercanda doang. Mendingan kamu minggir, karena aku lagi mau istirahat, capek kebanyakan kerja."
"Katanya tadi pagi kamu nembak aku. Sekarang aku udah terima kamu, malah kamu nggak menerima aku. Gimana?"
Pak Bos menanggapi dengan diam dan langsung melihat ke arah ABG remaja itu.
"Seriusan nggak sih?"
"Ya udah, kalau nggak percaya."
Pak Bos mencoba menahan tangan Helen, tetapi Helen bingung kenapa Pak Bos tiba-tiba menjadi kasar.
"Kenapa sih, Pak, kasar banget sama saya? Padahal saya bisa diajak ngomong baik-baik. Emang harusnya dicengkram kayak gitu?”
Tanpa sadar, Xavier sudah menyakiti ABG remaja tersebut dan merasa bersalah. Namun, ABG remaja itu tidak mempermasalahkan hal itu, karena memang niatnya hanya ingin tidak mengganggu bosnya saja. Lalu akhirnya, ABG remaja itu berkata kepada bosnya:
"Saya bercanda doang kok sama Bapak. Kenapa sih, serius banget? Bapak lagi banyak masalah ya? Cerita aja, Pak, sama saya."
Di situ, Pak Bos berpikir sepertinya dirinya yang kayak anak kecil, bukan orang yang di depannya, karena yang menghibur dirinya malah anak kecil.
"Enggak kok, saya cuma lagi capek aja, banyak kerjaan makanya saya begini. Maafin saya ya, tangan kamu sakit nggak?"
"Nggak sakit kok, saya cuma bercanda doang tadi."
Pak Bos yang melihat pergelangan tangannya merah menjadi khawatir, dan akhirnya membawa Helen ke rumah sakit.
Di rumah sakit, dokter tidak bisa berkata apa-apa dengan sifat Pak Bos yang selalu berlebihan terhadap pergelangan tangan wanita yang merah itu. Sebenarnya, tidak apa-apa, cuma Pak Bos saja yang berlebihan karena takut terjadi apa-apa.
"Dok, bagaimana pergelangan tangan wanita ini? Apa tidak apa-apa?"
"Nggak apa-apa kok, Pak. Baik-baik saja, nanti juga hilang sendiri kok."
Pak Bos tetap kekeh, merasa kalau dokternya tidak berkompeten, dan akhirnya mencari rumah sakit lain yang bisa memberi kepastian tentang cengkraman tangannya itu. Namun, setelah mendatangi lima rumah sakit, jawabannya tetap sama: tidak apa-apa. Mungkin itu hanya rasa khawatir yang berlebihan yang dirasakan oleh Pak Bos.
Helen yang mendengar itu merasa tertawa dan tidak menyangka kalau Pak Bos sebaik itu. Helen juga merasa bersyukur banget, karena dia suka pria seperti ini—pria yang selalu baik dan tulus hatinya. Sampai-sampai, Helen tidak mungkin membuka hati kepada siapapun selain pria ini.
Setelah selesai di rumah sakit, Helen merasa malu karena dirinya sudah pergi ke lima rumah sakit bersama Pak Bos.
"Pak, please, ini yang terakhir. Saya nggak mau lagi pergi-pergi, karena saya merasa malu, Pak, gara-gara Bapak."
"Kenapa harus malu? Kan saya perhatian sama kamu. Saya kan takut kamu ada apa-apa, makanya saya mencoba yang terbaik buat kamu."
"Iya, gimana saya nggak malu coba, soalnya Bapak lakukan itu ke saya lalu berlebihan. Masa Bapak cuma karena cengkram saya doang, tapi dibawa ke rumah sakit."