Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Mawar.
Wanita itu tampak sama terkejutnya. Mereka saling menatap, sama-sama bingung bagaimana bisa bertemu di tempat seperti ini.
“ngapain di sini?” tanya Devan, nadanya penuh ingin tahu. Baginya itu aneh. Seorang putri konglomerat mengunjungi lapas, tempat yang tidak punya hubungan apapun dengan pekerjaannya.
“Mengunjungi seseorang. Kamu sendiri?” jawab Mawar, suaranya lebih pelan dari biasanya.
“Mengunjungi temanku,” balas Devan singkat.
Mawar mengangguk pelan, lalu menatap wajah Devan cukup lama seperti sedang menimbang sesuatu.
“Bisa kita bicara?”
Beberapa menit kemudian mereka sudah duduk di sebuah coffee shop sederhana dekat lapas. Devan bersandar pada kursinya dengan tatapan datar, sementara Mawar duduk canggung, tangannya saling menggenggam di pangkuan, menunjukkan kecemasannya.
Akhirnya Mawar menatap Devan langsung.
“Bantu aku,” ucapnya. Suaranya lemah, penuh harap dan sedikit putus asa.
Devan mengangkat satu alis, menghembuskan napas perlahan. “Menikah denganmu?” tanyanya datar. Ia sudah bisa menebaknya dari cara Mawar menatapnya.
Mawar tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, bibirnya saling menekan.
“Udah kubilang, aku gak bisa menikah denganmu. Cari orang lain,” lanjut Devan.
“Kenapa?” tanya Mawar, suaranya terdengar tulus bingung. “Kamu udah putus dengan pacarmu, kan?”
Pertanyaan itu membuat Devan tercenung beberapa detik. Dan tanpa sengaja, bayangan Jovita muncul begitu jelas. Beberapa hari bersama dengan wanita itu, membuatnya tersadar, ia telah jatuh kembali padanya.
Ia menarik napas dalam sebelum menjawab, suaranya dingin tapi tidak ragu.
“Enggak. Aku masih mencintainya.”
Keheningan menggantung. Devan kemudian berdiri, tubuhnya condong sedikit ke depan saat ia menatap Mawar.
“Aku harap ini terakhir kali aku bilang ini padamu.”
Tanpa menunggu respons Mawar, Devan berbalik dan benar-benar pergi meninggalkannya di sana.
Tak lama setelah Devan meninggalkan coffee shop itu, Mawar juga akhirnya bangkit dan pergi. Namun ia tidak langsung pulang. Mobilnya melaju menuju kantor.
Mawar masuk ke ruangannya yang tenang. Ia duduk perlahan di kursinya, menarik napas pendek. Sorot matanya berubah tajam dan dingin. Telunjuknya mengetuk permukaan meja berulang, ritmenya lambat namun tegas. Lalu ia meraih ponselnya.
“Ke sini sekarang, laporkan padaku,” ucap Mawar, suaranya tidak meninggalkan ruang untuk bertanya.
Sekitar satu jam kemudian, pintu ruangannya terbuka. Seorang pria masuk dan menutup pintu perlahan.
“Gimana? Kamu dapat sesuatu?” tanya Mawar langsung, tatapannya menusuk.
Pria itu mengangguk, lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat. Ia meletakkannya di meja Mawar. Wanita itu mengambilnya, membuka perlahan, dan mengeluarkan beberapa foto.
Foto-foto Jovita. Dari berbagai sudut, di berbagai hari.
Pria itu lah yang mengawasi Jovita selama beberapa hari terakhir. Dan Mawar adalah orang yang menggerakkan semuanya.
“Dia keluar pagi hari, lalu pergi ke perpustakaan. Cukup lama dia di sana sampe sore, setelahnya dia pergi ke rumah lelaki itu,” jelas pria tersebut.
Mawar memperhatikan satu per satu foto itu. Ada foto Jovita keluar dari rumah. Ada juga saat dia berbicara dengan Devan di lobi apartemen. Ekspresi Mawar masih datar… sampai jari-jarinya berhenti di satu foto.
Foto yang tampak lebih gelap, namun jelas. Diambil pada malam hari.
Jovita dan Devan. Keluar dari apartemen… di jam sebelas malam.
Mata Mawar melebar.
“Ngapain dia semalam itu di sana?” tanyanya, penuh rasa ingin tahu.
Pria itu menggeleng. “Saya kurang tau tentang itu.”
Mawar menahan napas, lalu terkekeh pelan, seperti tidak percaya dengan apa yang baru ia lihat. Ada ketidakjelasan di wajahnya: antara kesal, heran, dan tidak rela.
“Devan… masih berhubungan sama dia?” gumamnya, mencoba menebak. Suaranya datar, namun jelas tidak menyangka.
Ia menurunkan foto itu, menatap pria di depannya dengan ekspresi tenang… tapi pandangannya tegas.
“Ikuti dia lagi, cari informasi tentangnya,” perintah Mawar.
Pria itu mengangguk tanpa banyak bicara, lalu keluar ruangan.
Mawar masih duduk di sana, memandangi foto-foto itu. Ada keheningan yang panjang… sebelum ia menyimpan semuanya kembali ke dalam amplop.
Hari berikutnya, setelah menyelesaikan pekerjaan barunya di toko roti, Jovita kembali mengunjungi apartemen Devan. Begitu pintu terbuka, ia langsung melangkah masuk, namun langkahnya mendadak terhenti. Ada seseorang di ruang tamu.
Rangga.
Jovita menatap Devan dengan alis terangkat, jelas meminta penjelasan.
“Dia Rangga, anak magang di tempatku,” kata Devan santai, seolah tak ada yang aneh.
Rangga ternyata setuju membantu Devan mengerjakan kasus Jovita, jadi Devan mengajaknya ke apartemen.
Jovita duduk di ujung meja, menatap pemuda itu penuh rasa ingin tahu. Devan masuk ke kamar untuk mengambil berkas, meninggalkan keduanya.
“Kamu anak magang?” tanya Jovita akhirnya.
Rangga mengangguk cepat.
“Tapi dia nyuruh kamu ke sini? Di hari Minggu?”
Rangga mengangguk lagi, kali ini lebih pelan.
Jovita terkekeh kecil, hampir seperti tak percaya. “Kejam banget dia,” bisiknya, lalu mendekat sedikit. “Minta bayaran sama dia. Mana boleh nyuruh anak magang kerja di akhir pekan?”
Saat itu Devan keluar dari kamar sambil membawa setumpuk berkas. Ia sempat berdeham, jelas mendengar komentar Jovita barusan. Tanpa berkata apa pun, ia menendang kaki Jovita pelan, menyuruhnya bergeser. Jovita mendecih kesal, sementara Rangga hanya mengamati dengan ekspresi bingung dan sedikit terhibur.
“Aku udah minta kenalan buat melacak aktivitas rekening Arum. Mungkin sore ini baru dikirim,” ujar Devan sambil menaruh berkas-berkas di meja. Ia mulai memisahkan lembaran-lembaran itu. “Jadi sambil nunggu, mending kerjain ini dulu.”
Ia menyodorkan beberapa kertas pada Jovita dan Rangga, membuat keduanya saling pandang sebelum mulai mengambil tugas masing-masing.
Mereka bertiga bekerja dengan suasana tenang. Sesekali berhenti untuk meregangkan tubuh, mengobrol ringan, atau sekadar memainkan pulpen. Bahkan sempat memesan makanan. Waktu berlalu tanpa mereka sadari, sampai langit di luar jendela berubah gelap.
Sebuah notifikasi masuk ke laptop Devan. Ia segera mengeceknya. Itu surel dari temannya, yang isinya harus ia lihat sendiri terlebih dahulu. Sementara itu, Jovita dan Rangga masih sibuk membaca berkas-berkas lain.
“Jo,” panggil Devan. Suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.
Jovita menoleh sambil mencondongkan tubuhnya, mencoba mengintip layar. “Riwayat transaksi Arum,” jelas Devan.
Mata Jovita langsung membesar. Ia meninggalkan tumpukan kertas dan mendekat cepat. Rangga, yang sudah memahami inti kasus itu, ikut memdekat.
Saat angka-angka itu terlihat jelas, Jovita menyipitkan mata.
“Tiga puluh juta?” gumamnya tak percaya.
Devan menarik napas panjang. “Kamu bilang dia ubah bahan utama, kan?”
Jovita mengangguk.
“Berarti kemungkinan ini…”
“Dia pakai dana perusahaan?” sela Rangga dengan polos.
Devan dan Jovita menoleh bersamaan pada pemuda itu. Jovita terkekeh pendek, seperti sudah menaruh curiga ke arah situ sejak awal. Tapi ekspresinya langsung berubah lagi saat melihat nominal berikutnya di layar.
“Yang ini… bisa kamu cek dari mana dia dapat? Kalau gaji, nggak mungkin segede ini,” kata Jovita.
Devan segera menelusuri sumber transaksi itu. Setelah beberapa detik, layar menampilkan identitas pengirimnya. Sebuah nama yang membuat mereka terdiam.
Rekening manajer divisi.
Jovita menutup mulutnya spontan, terkejut. “Kenapa dia ngirimin uang ke Arum? Apa mereka punya hubungan?”
Rangga, yang baru pertama kali melihat drama kantor terjadi secara nyata, hanya bisa menggeleng.
“Kirain hal begini cuma ada di film…” gumamnya lirih.
“Bukan itu masalah utamanya,” kata Devan tiba-tiba.
Jovita menoleh, bingung. “Maksudmu?”
Devan menggeser layar, menandai beberapa baris transaksi milik sang manajer divisi.
“Nih, lihat. Dia nerima uang dalam jumlah besar. Rutin. Setiap bulan.” Ia menatap Jovita dan Rangga bergantian. “Bukannya ini mencurigakan?”
Jovita masih menatap layar dengan dahi berkerut. Ia belum benar-benar bisa mencerna semuanya.
“Arum nerima uang dalam jumlah besar tiap bulan dari manajernya… dan manajernya juga nerima uang dalam jumlah besar dari sumber lain,” ujar Devan perlahan, mencoba merangkai duduk perkaranya. “Kalau manajer itu ngirim uang, padahal mereka nggak punya hubungan apapun… cuma ada satu kemungkinan.”
Devan menoleh pada Rangga, memberi isyarat seolah berkata: ayo, coba tebak.
Rangga langsung tegang, seperti sedang mengikuti kuis. “Apa mungkin… manajernya diancam? Terus dia ngirim uang buat tutup mulut?” tebaknya hati-hati.
Devan tiba-tiba memukul meja pelan tapi mantap. Suaranya membuat Jovita terlonjak kecil.
“Itu dia!” serunya puas. “Kamu pinter juga.”
Pujian itu membuat Rangga menegakkan punggung dan mengangkat dagu dengan bangga, seolah baru lulus ujian penting.
Sementara itu, Jovita masih belum percaya dengan arah yang ditunjukkan bukti-bukti itu.
“Tapi… kenapa Arum mengancam manajer?” tanyanya lirih, lebih pada dirinya sendiri.
“Kita belum tau.” Devan menghela napas pendek lalu menutup laptop. “Makanya kita harus cari tau. Kenapa dia mengancam, dan dari mana uang itu berasal.”
Ia kembali menatap Rangga. “Kita daftarkan kasus ini.”
Rangga langsung mengangguk mantap, energinya melonjak seperti baru diberi misi penting.
“Pulang sana,” tambah Devan, nada suaranya berubah santai tapi tetap tegas.
Rangga cepat-cepat mengemas barangnya, wajahnya masih terlihat semangat sekaligus sedikit gugup, lalu ia pamit meninggalkan apartemen Devan.
Setelah Rangga pamit dan pintu menutup di belakangnya, apartemen itu terasa jauh lebih sunyi. Jovita menarik napas panjang, akhirnya bisa bernapas lega. Beban yang selama ini menindih dadanya pelan-pelan terangkat. Arum dan orang-orang itu… akhirnya mereka akan menerima konsekuensinya.
Mata Jovita terarah pada balkon. Selama di sana beberapa hari, ia tidak pernah sekalipun melangkah ke luar. Malam itu, entah kenapa, ia ingin merasakan udara segar.
Ia membuka pintu geser perlahan. Udara malam yang dingin langsung menyelinap masuk. Dengan langkah pelan, Jovita berdiri di balkon, memandangi pendar lampu kota yang menyebar di kejauhan.
Devan datang menyusul setelah merapikan semua berkas. Ia berdiri di sebelahnya, jarak mereka tidak terlalu dekat namun juga tidak jauh. Tanpa berkata apa-apa, ia mengeluarkan sebatang rokok. Baru saja ia hendak menyalakan korek..
“Jangan merokok di dekatku. Aku benci asap rokok.”
Suara Jovita terdengar datar, tanpa menoleh.
Devan sempat terdiam. Ia menatap wajah Jovita, sejenak memastikan apakah ia benar-benar serius. Namun akhirnya ia memasukkan kembali rokok itu tanpa protes.
“Makasih,” ucap Jovita lirih, tapi tulus.
Devan mengembuskan napas pelan, bukan marah, lebih seperti… pasrah tapi mengerti.
“Aku cuma fokus ke urusanku. Maaf soal itu,” lanjut Jovita.
Devan menoleh sedikit, memberi senyum kecil.
Jovita balik menatapnya. “Gimana denganmu?”
“Hah?” Devan mengangkat alis, tidak mengikuti arah pembicaraannya.
“Kamu masih dijodohkan?” tanyanya, nada suaranya sedikit menggoda, tapi matanya serius.
Devan menghela napas panjang, lalu memalingkan pandangannya ke arah gedung-gedung di depan. Mamanya mungkin masih akan terus memaksanya menikah dengan wanita yang dianggap cocok.
Keheningan turun perlahan di antara mereka. Jovita menatap ke depan, matanya kosong, seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Devan,” panggilnya akhirnya.
Devan menoleh.
“Ayo kita menikah.”
To be continued