NovelToon NovelToon
Warisan Kaisar Naga

Warisan Kaisar Naga

Status: sedang berlangsung
Genre:Murid Genius / Raja Tentara/Dewa Perang / Ahli Bela Diri Kuno / Fantasi Timur
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Ar wahyudie

Di Benua Timur Naga Langit sebuah dunia di mana sekte-sekte besar dan kultivator bersaing untuk menaklukkan langit, hidup seorang pemuda desa bernama Tian Long.
Tak diketahui asal-usulnya, ia tumbuh di Desa Longyuan, tempat yang ditakuti iblis dan dihindari dewa, sebuah desa yang konon merupakan kuburan para pahlawan zaman kuno.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ar wahyudie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18

Kabut di lembah akhirnya lenyap.

Sinar matahari menembus celah awan, menumpahkan cahaya keemasan di antara batu-batu yang hangus. Sisa uap qi masih mengepul tipis dari tanah, menandakan betapa dahsyatnya pertarungan yang baru saja berakhir.

Tak ada suara selain desir lembut angin yang menyentuh permukaan batu. Burung-burung belum berani kembali, dan bahkan dedaunan tampak enggan bergerak — seolah alam sendiri masih menahan napas.

Tian Long berdiri di tengah reruntuhan, tubuhnya tegap, bayangannya memanjang di bawah sinar matahari.

Bahunya robek, kainnya berlumur darah yang telah mengering. Tapi dari luka itu, samar-samar tampak cahaya keemasan berdenyut lembut, menutup robekan kulit sedikit demi sedikit.

Udara di sekitarnya bergetar pelan, bukan karena panas atau sisa energi pertempuran, melainkan karena napas naga yang masih mengalir di tubuhnya — dalam, tua, dan penuh tekanan.

Liu Yuer melangkah mendekat. Debu beterbangan di sekeliling kakinya, dan pedangnya yang masih meneteskan darah hitam kini tampak berat di genggaman.

“Apakah… ini sudah berakhir?” suaranya pelan, seperti takut mengganggu keheningan yang suci.

Tian Long tak segera menjawab. Ia menatap ke arah lembah, tempat kabut tadi menelan segalanya, lalu mendongak perlahan ke langit yang kini berwarna pucat keemasan.

“Untuk sekarang, iya.” Suaranya tenang, tapi ada sesuatu di baliknya — nada keyakinan yang tak sepenuhnya utuh.

“Namun setiap formasi kuno menyimpan ingatan. Mereka tak pernah benar-benar lenyap. Hanya menunggu seseorang… yang cukup bodoh untuk membangunkannya kembali.”

Liu Yuer menggigit bibir, menahan rasa cemas yang tak sempat diucapkan. “Kalau begitu, apa yang akan kau—”

Kalimatnya terputus.

Tian Long menoleh cepat ke arah barat, tatapannya berubah tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Cahaya di matanya berkedip — refleksi dari sesuatu yang jauh di sana.

Di atas tebing, beberapa sosok berdiri dalam diam.

Jubah mereka berwarna biru dan hitam, melambai pelan diterpa angin spiritual yang tak bisa dirasakan manusia biasa.

Aura mereka berat, dingin, tapi penuh wibawa. Seperti gunung tua yang diam, tapi setiap pandangannya bisa menghancurkan kehendak seseorang.

....................                     ..........................                                    ..........................

Menara Langit Putih, Ruang Pertemuan Para Tetua

Menara-menara tinggi berdiri di jantung akademi, masing-masing mewakili sekte besar di Benua Timur.

Namun di antara semuanya, Menara Langit Putih adalah tempat para tetua berkumpul tempat di mana keputusan akademi ditentukan.

Dari kejauhan, menara itu tampak seperti pena suci yang sedang menulis hukum langit di atas cakrawala. Namun di dalamnya, udara terasa berat — bukan oleh suhu, melainkan oleh beban keputusan yang akan menentukan arah Akademi Langit Abadi.

Lonceng perunggu berdentang tiga kali.

Suara itu menggema lembut namun mengguncang, seolah setiap dentumannya mengetuk langsung dada orang yang mendengarnya. Rapat darurat dimulai.

Ruang pertemuan berada di lantai ke tiga belas, tempat yang jarang didatangi selain oleh para tetua tertinggi. Pilar-pilar putih berdiri di sekeliling ruangan, diukir dengan naga giok yang melingkar, mata mereka memancarkan cahaya redup. Di tengah ruangan, melayang kristal besar berbentuk bulat — kristal pengamat langit, artefak kuno yang merekam setiap kejadian di Akademi.

Cahaya di dalam kristal berdenyut pelan, memantulkan bayangan seorang pemuda yang berdiri di antara reruntuhan lembah: Tian Long.

Elder Hua berdiri paling depan, kedua tangannya bersedekap di balik jubah putihnya. Rambut peraknya jatuh lembut di bahu, namun sorot matanya tajam, memantulkan wibawa seorang yang telah melihat ratusan tahun naik-turunnya dunia kultivasi.

“Fenomena itu…” gumam Elder Hua pelan. “Reaksi formasi terhadap darah naga. Aku belum pernah melihatnya sejak masa Kaisar Naga terakhir.”

Dari sisi lain ruangan, Elder Mo dari Sekte Bara Langit menghentakkan tongkatnya ke lantai.

“Jangan bicara omong kosong, Hua! Bocah itu hanya beruntung. Ujian ketiga jelas kacau karena sabotase, tapi kalian malah memuji dia!”

“Sabotase?” Elder Fang dari Sekte Bayangan Gelap tersenyum tipis. “Jangan pura-pura lupa siapa yang memanaskan formasi itu, Mo. Kau dan anakmu sendiri.”

“Cukup!” Elder Hua menatap tajam. “Akademi berdiri di atas netralitas. Kita tidak boleh membawa urusan sekte ke dalam ujian.”

Elder Mo menggeram. “Netralitas? Jangan naif! Dunia luar sedang bergolak, Hua. Kaisar Langit belum muncul lagi selama seribu tahun. Jika benar bocah itu memiliki darah naga, maka ia ancaman—atau senjata. Tidak ada di antaranya yang boleh dibiarkan tanpa pengawasan.”

Ruangan sunyi.

Semua mata tertuju pada kristal di tengah ruangan.

Dalam proyeksi itu, Tian Long mengangkat kepala — seolah tahu sedang diawasi.

Tatapan matanya menembus sihir proyeksi, membuat Elder Fang tersenyum samar.

“Anak ini punya pandangan yang tak kalah dengan para tetua,” ujarnya lirih. “Menarik.”

Elder Hua menunduk, suaranya tenang namun tegas.

“Apapun asalnya, Tian Long telah menaklukkan formasi hidup tanpa bantuan siapa pun. Itu sudah cukup untuk menjadikannya murid utama Akademi Naga Langit.”

Elder Mo berdiri, wajahnya gelap. “Kalau begitu, jangan salahkan aku bila Bara Langit menarik dukungannya.”

Ia berjalan keluar, meninggalkan ruangan dengan dentuman langkah berat.

........................                         ....................................                            ......................................

Malam Hari, Asrama Murid Utama

Di luar jendela, bulan tergantung di langit seperti bilah perak, menebar cahaya lembut yang menembus kisi-kisi kayu. Suara serangga malam terdengar lirih, berpadu dengan desir angin yang menyapu dedaunan bambu di halaman asrama.

Di dalam kamar kecil itu, Tian Long duduk bersila di atas tikar anyaman. Satu-satunya cahaya berasal dari batu kristal biru di depannya. Itu adalah batu roh yang diberikan setelah lulus ujian ketiga — tapi entah kenapa, batu itu bergetar seperti merespons keberadaan sesuatu di dalam dirinya. Setiap kali cahaya itu bergetar, bayangan di dinding ikut menari.

Keringat menetes di pelipisnya.

Udara di ruangan terasa aneh terlalu sunyi, terlalu padat, seperti menahan sesuatu yang ingin keluar.

Tian Long membuka matanya sedikit. Cahaya biru dari batu itu menembus pupilnya, menciptakan pantulan samar naga berputar di bola matanya.

Tian Long memejamkan matanya kembali.

Kesadarannya melayang ke ruang yang sama seperti sebelumnya — lautan cahaya emas dan kabut tak berujung.

Suara berat namun lembut terdengar di pikirannya:

“Kau mulai melangkah di jalan naga, Tian Long. Tapi langit tak akan diam.”

“Apa maksudmu, Guru?”

“Setiap naga membawa dua sisi — langit dan bumi, pencipta dan penghancur. Dunia akan menuntutmu memilih.”

“Dan jika aku menolak?”

“Maka dunia akan memilih untukmu.”

Suara itu menghilang perlahan.

Tian Long membuka matanya. Batu roh di hadapannya retak, memancarkan cahaya biru yang terhisap masuk ke dalam dada.

Di luar kamar, langit malam seperti kain sutra hitam yang disulam cahaya bulan.

Bulan menggantung bulat sempurna di atas atap menara, cahayanya jatuh di atas dedaunan dan memantul di jendela kamar Tian Long, menciptakan pantulan samar — seolah di dalam ruangan itu, sesuatu sedang bernapas dengan ritme berbeda dari dunia luar.

Liu Yuer berdiri di halaman batu, angin malam mengibarkan helaian rambutnya yang lembut.

Udara di sekelilingnya terasa berat, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang tak kasatmata tengah bergerak getaran qi yang lembut namun purba, seperti gumaman naga di bawah tanah.

Ia menatap jendela kamar itu, matanya tak beranjak.

Dari balik kaca, cahaya biru bergulung pelan, berubah menjadi keemasan, lalu menyala seperti kilatan petir yang tertahan.

Dadanya naik turun pelan; jantungnya berdebar tanpa ia sadari.

1
Nanik S
Lanjutkan.... bagus Tor
Nanik S
Darah Naga adalah Kunci
Nanik S
Aku sebenarnya siapa... kasihan
Nanik S
Sebenarnya Anak Siapa Tian Long
Didi h Suawa
💪💪💪💪
Didi h Suawa
awal yg baik,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!