 
                            Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan. 
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya. 
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya. 
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 18
Aprilia melesat masuk ke dalam gerbang rumah Yuka, jantungnya berpacu kencang seiring langkah kakinya yang terburu-buru.
Pikirannya dipenuhi satu tujuan: menemukan Yuka, menjelaskan segalanya. Tanpa ragu, ia menerobos masuk ke ruang tamu yang lengang, matanya menyapu setiap sudut, mencari sosok yang sangat ingin ditemuinya.
Namun, yang ada hanyalah keheningan. Rumah itu terasa kosong, sunyi, seolah tak berpenghuni.
"Cari siapa, Pril?"
Suara itu tiba-tiba menyentak Aprilia dari lamunannya. Ia terlonjak kaget, refleks mengelus dadanya yang berdebar. Di ambang pintu dapur, Mbak Yuli berdiri dengan senyum tipis, memegang lap piring.
"Astaga, Mbak Yuli! Mengagetkan saja," Aprilia tertawa canggung, mencoba menenangkan detak jantungnya.
Mbak Yuli ikut terkekeh. "Maaf, Pril. Habisnya kamu celingukan begitu, kayak lagi nyari harta karun."
"Aku... aku cari Pak Yuka, Mbak," jawab Aprilia, suaranya sedikit tercekat karena rasa cemas yang belum juga hilang.
Mbak Yuli mengangguk maklum. "Oh, Pak Yuka sudah berangkat dari tadi, Pril. Jam segini kan memang jam sibuknya beliau di kantor."
Aprilia menghela napas, kekecewaan merayapi hatinya. "Iya juga, ya."
Mbak Yuli mengerutkan kening, menatap Aprilia dengan tatapan menyelidik. "Memangnya ada apa, Pril? Kok kayaknya mendesak banget?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan rasa ingin tahu yang besar.
Aprilia tersentak, merasa tertangkap basah. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyum tipis. "Nggak kok, Mbak. Nggak ada apa-apa. Cuma... ya, ada sedikit masalah kecil," jawabnya, berusaha meyakinkan. "Yaudah, aku mau beresin rumah dulu deh, Mbak." Aprilia berbalik, mencoba mengakhiri percakapan sebelum Mbak Yuli semakin curiga.
"Iya, deh. Aku juga mau lanjut beresin dapur," sahut Mbak Yuli, masih dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia memperhatikan Aprilia sejenak sebelum akhirnya berbalik dan menghilang di balik pintu dapur, meninggalkan Aprilia dengan segala kekalutannya.
***
Di sisi lain, di dalam kamar yang remang-remang, Vernando dan Vini saling berpelukan mesra.
Aroma parfum Vini yang manis bercampur dengan aroma maskulin Vernando, menciptakan suasana yang intim dan menggoda.
"Kalau Kak Lia beneran nggak pulang tiga hari, gimana dong, Kak?" tanya Vini, suaranya manja dan penuh harap.
Matanya menatap Vernando dengan tatapan menggoda, seolah menantang pria itu untuk melakukan sesuatu.
Vernando tertawa sinis. "Biar saja. Aku justru penasaran, seberapa lama dia bisa bertahan di luar sana. Bahkan pengemis pun mungkin jijik menolong gadis desa jelek seperti dia."
Vini terkikik geli mendengar ucapan Vernando. "Kalau dia nggak pulang-pulang, malah bagus buat kita, kan?" ucapnya sambil mencolek dagu Vernando dengan jari lentiknya.
"Kamu ini memang nakal," kata Vernando sambil mencubit hidung Vini gemas.
Vini mengerucutkan bibirnya, menunjukkan ekspresi tidak puas. "Kak Nando, kenapa dulu malah nikahin Kak Lia, sih? Kenapa nggak dari dulu sama aku aja?"
Vernando menghela napas, lalu membelai rambut Vini dengan lembut. "Kamu tahu sendiri kan, kakek sayang banget sama gadis desa itu. Dia ingin aku menikahinya. Aku juga cucu kesayangan kakek, nggak mungkin aku menolak permintaannya. Bisa hancur reputasiku kalau sampai kakek batal menjadikanku pewaris."
"Tapi kenapa ya kakek sayang banget sama kak Lia?"
"Aku juga tidak tahu soal itu"
"Tapi... Kak Nando janji bakal tetap sama aku, kan?" tanya Vini, matanya menatap Vernando dengan penuh keraguan.
Vernando tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Vini. "Kamu akan selalu jadi yang utama di hatiku, Vini," bisiknya sebelum akhirnya mencium bibir Vini dengan penuh nafsu.
Ciuman itu semakin dalam dan panas, melupakan sejenak sosok Aprilia.
Di dapur yang remang-remang, Mbok Ratmi berdiri terpaku di depan jendela. Matanya menerawang jauh, namun pikirannya tertuju pada satu hal: Vernando dan Vini.
Ia tahu betul apa yang sedang terjadi di dalam kamar sana. Hatinya mencelos, membayangkan betapa hancurnya perasaan Aprilia jika ia tahu kebenaran ini.
Rasa iba yang mendalam menyelimuti hati Mbok Ratmi. Aprilia, gadis lugu yang selalu bersikap baik padanya, kini harus menanggung pengkhianatan dari suami dan adik tirinya sendiri.
Sungguh ironis. Namun, apa daya, Mbok Ratmi hanyalah seorang pembantu. Ia tidak punya kekuatan untuk mengubah keadaan, apalagi ikut campur dalam urusan keluarga majikannya.
Ia hanya bisa memendam rasa kasihan dan berharap suatu saat Aprilia akan menemukan kebahagiaannya sendiri.
"Mbok," panggil Toni, namun Mbok Ratmi yang sedang melamun itu tak menyahut. Pikirannya seolah terbang jauh, entah ke mana.
Toni mendekat, lalu menepuk pelan pundak Mbok Ratmi. "Mbok!" panggilnya sekali lagi.
"Astaga! Ton! Kamu ini bikin kaget saja!" seru Mbok Ratmi sambil mengelus dadanya, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
"Lagian Mbok, masih pagi sudah melamun saja. Mikirin apa sih?" tanya Toni penasaran.
"Kepo kamu..." jawab Mbok Ratmi sambil mencibir. "Kamu mau apa? Kopi?"
"Iya, Mbok. Ngantuk nih kalau nggak ngopi," jawab Toni sambil menunjukkan gelas yang sudah kosong di tangannya.
Mbok Ratmi menggelengkan kepala melihat tingkah Toni. "Masih pagi kok sudah nambah kopi. Kasihan lambungmu itu, Ton," ujarnya prihatin.
"Ini bekas semalam, Mbok. Mau aku taruh di wastafel. Sekarang aku mau kopi lagi buat pagi ini," jelas Toni.
"Ya bilang dong dari tadi," sahut Mbok Ratmi sambil berdecak.
"Lha ini aku bilang, Mbok. Mbok aja yang sudah nyerocos duluan," balas Toni sambil terkekeh.
Mbok Ratmi segera beranjak membuatkan kopi untuk Toni.
"Eh, Mbok, tadi kok Non Aprilia nggak bawa motor ku? Nggak seperti biasanya. Tadi dia naik taksi." tanya Toni.
"Non Aprilia nggak boleh pulang selama tiga hari sama Tuan, gara-gara dia tetap mau berangkat kerja," jawab Mbok Ratmi dengan nada prihatin.
Toni terkejut mendengar jawaban Mbok Ratmi. "Lho, berarti Tuan sudah tahu kalau Non April kerja di luar?"
"Iya, tadi Non April jujur. Tapi Tuan malah menghukum Non April, menyuruhnya mengurung diri. Tapi Non April tadi membantah dan tetap ingin pergi bekerja. Jadi, Tuan menghukumnya dengan cara tidak mengizinkannya pulang selama tiga hari," jelas Mbok Ratmi.
"Ya ampun, Mbok, kasihan sekali Non April," ucap Toni dengan wajah iba.
"Yang lebih kasihan itu tadi, dia kena tampar Tuan. Kencang banget, sampai pipinya merah," lanjut Mbok Ratmi dengan mata berkaca-kaca.
Toni mengepalkan tangannya, menahan amarah. "Rasanya aku nggak tahan, Mbok, pengen ngadu ke Tuan Besar masalah ini. Tapi apa daya, aku takut Tuan Vernando malah melibatkan keluargaku juga. Aku terlalu pengecut," ujarnya dengan nada menyesal.
"Iya, Ton, aku juga takut. Yang aku takutkan itu keluargaku di kampung. Kamu tahu sendiri kan Tuan Nando itu gimana kalau sudah marah. Kejam, nggak punya hati," timpal Mbok Ratmi dengan suara bergetar.
 
                     
                    