Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. MENCARI KEBERADAAN RINDI.
Nora mengangkat kertas itu tinggi-tinggi, ia sengaja memperlihatkannya pada semua orang di ruangan itu.
“Lihat ini! Surat hasil pemeriksaan dari rumah sakit! Jadi benar kan, Rindi hamil tapi nggak tahu siapa bapaknya!” teriak Nora dengan nada penuh ejekan.
Beberapa pelayan terkejut, sebagian menutup mulut, sebagian lagi saling pandang tak percaya.
“Cukup, Nora! Kembalikan kertas itu!” suara Rindi bergetar, tatapannya tajam. Kedua tangannya mengepal kuat, rahangnya mengeras menahan emosi yang sudah di ambang batas.
Namun Nora justru tertawa kecil dan berkata sinis.
“Kenapa? Malu? Sudah terlambat! Semua orang sudah tahu sekarang!”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Nora hingga membuatnya terhuyung ke belakang. Suara tamparan itu memecah keheningan ruangan.
“Mulutmu sudah keterlaluan, Nora!” Rindi dengan napas memburu, matanya memerah menahan air mata dan amarah yang membuncah.
Nora memegangi pipinya yang panas, menatap Rindi dengan tatapan penuh kebencian
“Kau akan menyesal sudah melakukan ini padaku,” bisiknya pelan namun sarat ancaman.
Pak Anton yang sejak tadi terdiam akhirnya angkat suara.
“Cukup! Semua keluar sekarang! Rindi, kamu ikut saya ke ruanganku.”
Semua pelayan mengangguk lalu keluar, sementara Rindi mengikuti Pak Anton menuju ruangannya dengan langkah gontai.
Setibanya di dalam, Pak Anton menutup pintu dengan keras lalu berbalik menatap Rindi tajam.
“Rindi, apa yang dikatakan Nora tadi benar?” suaranya berat penuh penekan.
Rindi menelan ludah, suaranya bergetar saat menjawab.
“Pak, saya bisa jelaskan semuanya, tapi tolong jangan pecat saya. Saya janji, setelah perut saya mulai membesar, saya akan berhenti bekerja.”
Pak Anton menghela napas panjang, lalu duduk di kursinya.
“Aku tahu, kamu bukan tipe perempuan yang suka berbuat macam-macam. Cara kerjamu baik, kamu rajin, dan selalu tepat waktu. Tapi kejadian tadi di depan semua karyawan sudah mencoreng nama baik restoran. Aku harus melaporkan hal ini ke pihak manajemen.”
Rindi menunduk semakin dalam, menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
Tak lama kemudian, pak Anton mengizinkan Rindi keluar dari ruangan. Untuk sementara, ia masih diperbolehkan bekerja sambil menunggu keputusan dari pihak manajemen restoran.
Di lorong kecil dekat dapur, tampak seorang perempuan sedang menelpon sambil berbisik pelan. Pandangannya berkeliling, memastikan tak ada seorang pun yang mendengar percakapannya.
"Nona, saya sudah menjalankan tugas dengan baik. Saya yakin perempuan itu akan dipecat dan diusir dari sini," ucap perempuan itu yang tak lain Nora.
"Bagus sekali. Aku tidak mau kalau sampai rencana ini gagal. Uang sisanya akan aku transfer nanti. Terus pantau dia, dan beri kabar kalau ada perkembangan baru tentang perempuan itu," jawab suara di seberang dengan nada dingin.
Nora mengangguk lalu memutuskan panggilan. Ia menyimpan ponselnya ke dalam saku dan hendak berbalik pergi, namun langkahnya langsung terhenti.
Kedua matanya terbelalak saat melihat Rindi berjalan di ujung lorong sambil mendorong troli berisi makanan dan minuman pesanan tamu. Wajah perempuan itu tampak tenang, bahkan sedikit tersenyum—tanpa ada tanda kesedihan seperti yang diharapkan Nora.
Rasa kesal langsung membuncah di dada Nora. Rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat menahan amarah.
***********************************
Sementara itu di sebuah rumah mewah, suasana tegang memenuhi ruang kerja berpenyejuk udara. Seorang pria paruh baya duduk di kursi kulit, ponsel menempel di telinga—wajahnya mengeras seiring laporan yang disampaikannya lewat sambungan telepon.
Matanya melebar, rahangnya mengeras mendengar Kabar dari orang suruhannya.
“Apa? Luis mulai curiga dan mempertanyakan kembali kesuburannya?” ujarnya terpotong, nadanya berubah dingin.
“Betul, Tuan Aldo. Dari laporan, Luis mulai curiga kalau ada seorang wanita yang tengah mengandung anaknya. Saya belum tahu pasti siapa perempuan itu,” jawab suara di ujung ponsel.
“On tidak bisa dibiarkan,” geram Tuan Aldo.
“Anak itu tidak boleh lahir. Kalau sampai terjadi, kekayaan keluarga Alex bisa jatuh ke anak itu, sementara aku hanya kebagian sisanya. Pokoknya, cucuku harus tetap menjadi pewaris tunggal garis keturunan Alvaro.”
Aldo mengatur napas sejenak lalu memerintahkan dengan suara tegas.
“Segera selidiki asal-usul perempuan itu. Cari tahu siapa yang berhubungan dengannya, dari mana dia berasal, dan kalau perlu… habisi dia.”
Setelah menutup telepon, pria itu berdiri terpaku di depan jendela besar. Tatapannya kosong, wajahnya tegang diliputi kegelisahan. Rahasia yang selama ini ia susun dengan begitu rapi mulai terancam terbongkar oleh kemunculan seorang perempuan yang diduga mengandung anak Luis.
Dari arah pintu, muncul Isabel — istri Aldo sekaligus adik kandung Tuan Alex. Ia membawa secangkir teh di atas piring kecil dan meletakkannya perlahan di atas meja kerja Aldo.
Tanpa berkata apa-apa, Isabel mendekat dan mengusap punggung suaminya dengan lembut. Ia tahu, dari sorot mata Aldo, kalau sang suami sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat.
“Ada apa, Mas? Wajahmu terlihat tegang sekali,” tanya Isabel lembut, suaranya nyaris berbisik.
Aldo menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Semuanya mulai keluar dari jalur, Isabel. Luis mulai curiga… dan jika dia tahu kebenarannya, semuanya akan hancur. Semua yang kita rencanakan selama ini, sia-sia.”
Isabel menatap suaminya tajam di selingi kerutan kening.
“Lalu apa yang akan kamu lakukan? Kamu tidak bisa terus-menerus menutupi kebohongan ini, Mas. Cepat atau lambat, kebenaran akan terbongkar.”
Aldo memejamkan mata, menggenggam tangannya erat.
“Kalau perlu, aku akan menghilang perempuan itu dan bayinya sebelum semuanya terlambat. Demi keluarga kita… demi masa depan Rafael dan cucu Ricard, aku harus melakukannya,” ujar Aldo tegas.
Isabel terdiam. Ia tahu suaminya bukan orang yang mudah digoyahkan oleh rasa bersalah.
“Kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu, Mas, aku akan ikut. Jangan sampai kejayaan keluarga Alvaro jatuh ke tangan orang yang tak dikenal,” jawab Isabel mantap.
“Bagus. Mulai sekarang, pererat hubunganmu dengan Alex dan Angelina — tapi lakukan seperti biasa, jangan sampai mereka curiga. Selebihnya serahkan padaku,” sahut Aldo.
Isabel mengangguk, perempuan paruh baya yang senantiasa mengikuti kemauan Aldo atas dasar cinta.
Hari itu juga, Aldo mulai menggerakkan seluruh anak buahnya untuk mencari informasi tentang perempuan yang diduga mengandung anak Luis. Mereka dikerahkan ke berbagai tempat — rumah sakit, klinik, hingga balai penyuluhan — untuk memeriksa setiap nama perempuan yang datang melakukan pemeriksaan kehamilan. Semua data dikumpulkan dan disaring satu per satu demi menemukan sosok yang paling dicurigai.
Kring... kring... kring...
Suara ponsel Aldo terdengar dari saku celananya. Dengan sigap ia mengeluarkannya, berharap panggilan itu datang dari anak buahnya yang membawa kabar penting.
“Tuan, kami sudah menemukannya,” suara pria di seberang sana terdengar jelas.
Wajah Aldo seketika berubah — dari tegang menjadi gembira. Sebuah senyum puas perlahan muncul di sudut bibirnya.
"Tangkap dia dan bawa ke gudang. Aku akan segera ke sana,” perintah Aldo tegas.
Ia segera memutus sambungan telepon, lalu buru-buru keluar rumah.