Niat hati hanya ingin membalas perbuatan sepupunya yang jahat, tetapi Arin justru menemukan kenyataan yang mengejutkan. Ternyata kemalangan yang menimpanya adalah sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan oleh keluarga terdekatnya. Mereka tega menyingkirkan gadis itu demi merebut harta warisan orang tuanya.
Bagaimana Arin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Suasana Panas di Ruang Makan
"Perempuan ini!" batin Gama antara geram dan gemas.
Baru tadi pagi dia bertemu Arin yang dingin dan misterius, sekarang sudah berubah menjadi Arin yang gatal dan menggoda.
"Dasar perempuan gatal!" Tania menggeram pelan melihat tingkah Arin di depan Gama. Untung Gama bukan laki-laki yang mudah tergoda, jadi Arin mau jungkir balik di depannya pun Tania yakin Gama akan setia kepadanya.
"Kamu belum kembali ke kota X, Rin?" Pandu memulai percakapan.
"Belum, Om." Arin terlihat murung.
"Apa ada masalah?"
"Sebenarnya... Aku tidak ingin kembali ke kota itu" jawab Arin ragu-ragu.
"Kenapa?" Pandu menautkan alisnya.
"Setelah aku pikir-pikir, lebih baik aku tinggal di kota ini. Aku meninggalkan ibu cukup lama. Aku menyesal tidak memiliki cukup waktu bersama ibu di akhir-akhir usianya." Mata Arin mulai berkaca-kaca. Entah ini sandiwaranya atau memang ini ungkapan perasaannya.
"Sekarang Om Pandu lah, satu-satunya keluarga yang aku miliki. Aku ingin berada di dekat Om Pandu karena aku merasa Om Pandu sudah seperti ayahku sendiri."
Fatma dan Tania saling melempar lirikan. Mereka tahu ini jelas bukan Arin yang mereka kenal.
Pandu manggut-manggut. "Aku sangat mengerti perasaanmu," ucap Pandu lembut. Seandainya Pandu duduk di dekat Arin, pasti laki-laki juga mengelus kepala Arin.
Jujur Arin menyukai perlakuan Pandu terhadap dirinya. Dari sikapnya dan tutur katanya, laki-laki ini seperti sangat menyayanginya. Rasanya Arin tidak rela jika kebaikan Pandu ini hanyalah sebuah topeng belaka.
"Bolehkah aku tinggal di sini, Om?" tanya Arin masih dengan mata berkaca-kaca.
Pandu tertegun. Sama sekali tidak terlintas di benaknya jika suatu hari Arin akan meminta tinggal di rumahnya.
"Di kamar pembantu juga tidak masalah, yang penting aku bisa dekat dengan Om Pandu."
Fatma langsung meletakkan sendoknya. Seketika selera makannya hilang. "Kenapa harus tinggal di sini? Bukankah kamu punya rumah?!" tanyanya dengan nada sewot. Perempuan itu jelas tidak akan mengizinkan Arin tinggal di rumahnya.
"Aku juga tidak setuju!" ucap Tania tegas sambil menatap tajam Pandu, seperti sedang mengancam.
Pandu terlihat bimbang. Disatu sisi dia tidak bisa mengabaikan Arin, tetapi di sisi lain ada dua pasang mata sedang menatap tajam ke arahnya, Tania dan Fatma. Keduanya jelas tidak menginginkan Arin tinggal bersama mereka.
"Ya, sudah. Aku mengerti kalau Om Pandu tidak bisa mengijinkan aku tinggal di sini." Arin mengalah.
"Maaf ya, Rin," ucap Pandu pasrah.
"Tidak apa-apa," jawab Arin pura-pura menyeka sudut matanya. Sebenarnya, Arin hanya iseng saja untuk melihat reaksi mereka.
Untuk beberapa saat semuanya diam. Tidak ada seorangpun yang beranjak dari meja makan meski semuanya sudah kehilangan selera makan.
"Apakah Om Pandu bisa menceritakan bagaimana perusahaan papa bangkrut sampai rumah ini disita? Aku sudah mencari-cari berita itu di internet dan surat kabar lama, tapi tidak ada." Arin memecah keheningan.
"Oh... Berita itu sudah sangat lama. Mungkin saja sudah di hapus," jawab Pandu tenang. Sama sekali tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Benar-benar akting yang sempurna. Wajar jika Arin tertipu hingga belasan tahun lamanya.
"Aku juga tidak menemukan artikel tentang penyitaan rumah ini. Seharusnya ada, kan, Om?"
"Dulu papa adalah pengusaha besar, sama seperti Om Pandu. perusahaan papa adalah salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Tidak mungkin tidak ada berita soal bangkrutnya perusahaan sebesar itu dan juga penyitaan aset-aset papa."
Pandu terdiam. Matanya menerawang, entah sedang mengingat-ingat kejadian bertahun-tahun silam atau sedang memikirkan jawaban yang pas untuk pertanyaan Arin.
"Dulu perusahaan Laksmana tidak sebesar sekarang. Keluarga Laksmana juga tidak sekaya itu untuk menjadi berita utama. Wajar kalau tidak ada media yang meliputnya!" jawab Fatma sinis. Kedengkiannya pada Arin sudah tidak tertolong lagi.
Tidak sekaya itu kamu bilang? Lalu kenapa kamu mati-matian ingin menjadi menantu keluarga Laksmana? Apa kamu tidak ingat dari mana asal usulmu?! Huh... Dasar munafik! cibir Arin dalam hatinya.
"Perusahaan itu menjadi besar setelah Om mu yang pegang. Kamu anak kecil tahu apa? Lagi pula aku tidak pernah mendengar perusahaan Laksmana bangkrut," lanjut Fatma masih dengan nada sinis.
Arin menarik sudut bibirnya mendengar kalimat Fatma. "Itu dia!" ucapnya dalam hati. Satu bukti lagi dia dapatkan. "Perusahaan Laksmana tidak pernah bangkrut" kalimat ini menjadi kunci bagi Arin.
"Sudahlah, Ma. Arin kan masih kecil waktu itu. Dia mana tahu?" Pandu berusaha menghentikan Fatma sebelum istrinya itu semakin kelepasan bicara.
"Oh... iya aku lupa kalau Tante dulu adalah sekretaris di perusahaan Laksmana. Karena itu tante tahu betul mengenai perusahaan Laksmana. Begitu, kan, Tante?" menatap Fatma dengan tatapan mengejek.
Fatma mendelik ke arah Arin. Bagi Fatma, masa lalunya menjadi sekretaris adalah sebuah aib, apalagi di depan Gama, calon menantunya yang berasal dari keluarga kaya raya dan terhormat.
Gama hanya boleh tahu kalau calon ibu mertuanya adalah perempuan terhormat dan berasal dari keluarga kaya raya juga.
"Kenapa Tante Fatma bilang kalau perusahaan Laksmana tidak pernah bangkrut, Om?" Arin kembali menatap Pandu.
"Sudahlah, Rin, jangan dengarkan omongan tantemu. Dia sama seperti kamu, tidak tahu apa-apa soal perusahaan," tutur Pandu tetap tenang.
"Kenapa masih menyebutnya perusahaan papamu? Itu sudah berlalu. Perusahaan itu sekarang milik papaku. Kamu harus terima kenyataan itu!" ucap Tania tak kalah sengit dengan ibunya.
"Sama seperti rumah ini, kamu mau cari berita kapanpun dan di manapun, tidak akan mengubah kenyataan jika rumah ini sekarang sudah menjadi milik kami!"
"Kalau kamu mau tinggal di rumah ini lagi ya bilang saja. Tidak usah alasan ingin dekat-dekat dengan papaku. Bilang saja kalau kamu belum bisa merelakannya, karena itu kamu ingin tinggal di sini? Benar, kan?" sewot Tania sama persis seperti ibunya.
Delapan belas tahun, Tania! Delapan belas tahun aku hidup dalam kemiskinan sementara kalian menikmati apa yang seharusnya menjadi milikku? Kau pikir aku bisa merelakannya?! batin Arin.
Perasaan Arin memanas, tapi bibirnya tetap tersenyum.
"Kenapa kamu pikir aku masih belum bisa merelakannya? Kematian ibuku yang baru dua hari yang lalu saja sudah aku relakan. Apalagi peristiwa yang sudah belasan tahun lalu," jawab Arin enteng, bertolak belakang dengan isi hatinya.
"Ngomong-ngomong soal ibu, aku menemukan handphone ibu," imbuh Arin yang membuat Pandu membeku seketika.
"Ada nomor asing yang menghubunginya dan meminta dia datang ke rumah ini. Apa ada yang tahu siapa yang mengirim pesan itu?"
"Kenapa hal seperti itu kamu tanyakan di sini?! Kau pikir kami ada waktu untuk mengurusi urusan pembantu?! Urusan pembantu tanya saja sama pembantu-pembantu di belakang sana!" ketus Fatma tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.