Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. KEMBALI TAKUT
Suasana ruang rawat itu semula tenang. Aroma antiseptik yang khas, bunyi pelan mesin monitor jantung, dan sinar mentari sore yang menerobos lewat celah tirai putih seolah menjadi saksi bisu pemulihan Lucia setelah hari-hari panjang yang melelahkan. Tubuhnya masih lemah, luka operasi di perutnya belum benar-benar pulih, namun hatinya perlahan menemukan kedamaian di sisi Evan.
Sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Bayangan masa lalu datang mengetuk pintu tanpa diundang.
Samuel Davidson, mantan suami yang selama ini menjadi sumber luka terdalam bagi Lucia, muncul dengan wajah penuh amarah. Kata-kata pedas, tatapan yang mengintimidasi, dan aura gelap yang dibawanya segera menyelimuti ruangan itu. Kehadirannya seolah mengusir semua cahaya, menggantinya dengan kengerian yang membuat dada Lucia bergetar hebat.
Evan berdiri tegak di sisi tempat tidur, tubuhnya tegang seakan siap melindungi wanita yang ia cintai dari apa pun yang mencoba mendekat. Ia tahu, Samuel bukan sekadar masa lalu yang bisa dilupakan, ia adalah bahaya nyata yang tidak boleh dibiarkan berada di dekat Lucia, terlebih saat kondisi fisiknya masih rapuh.
"Samuel, kau tidak pantas berada di sini," suara Evan dalam, tegas, namun tetap terkendali.
Samuel menyeringai miring, seolah meremehkan. "Lucia adalah milikku. Tak ada satu pun yang bisa memisahkanku darinya. Termasuk kau."
Lucia menggenggam selimutnya erat-erat, tubuhnya bergetar. Setiap kata dari Samuel terdengar seperti belenggu lama yang kembali dikencangkan di lehernya. Ia ingin berteriak, ingin memohon, namun suaranya tercekat di tenggorokan.
Melihat itu, Evan tak lagi ingin berlama-lama. Ia menekan tombol cepat di atas ranjang untuk memanggil pihak keamanan rumah sakit.
"Keluar dari sini, Samuel, sebelum keadaan semakin buruk," kata Evan dingin.
Namun, Samuel tertawa kecil, tawa yang tidak membawa kegembiraan apa pun. "Kau pikir dengan memanggil keamanan aku akan mundur? Kau terlalu meremehkanku."
Ketika pintu terbuka dan dua orang petugas keamanan rumah sakit masuk, Samuel mulai berontak. Tangannya mengepal, suaranya meninggi.
"Lucia! Aku akan membawamu kembali padaku, apa pun yang terjadi! Kau dengar aku?! Tidak ada seorang pun, bahkan pria ini yang bisa menghalangiku!"
Teriakannya menggema, menusuk telinga Lucia hingga ia menutup wajah dengan kedua tangan. Air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan. Ancaman itu bukan sekadar kata-kata. Ia mengenal Samuel cukup lama untuk tahu bahwa pria itu mampu melakukan hal-hal yang tak pernah terpikirkan.
Para petugas mencoba menenangkan, namun Samuel terus meronta. Wajahnya merah padam oleh amarah, nadinya berdenyut keras di pelipis. Bahkan ketika mereka memegang kedua lengannya, ia masih sempat melayangkan tatapan tajam penuh dendam ke arah Evan.
"Ini belum selesai! Kau pikir kau bisa melindunginya dariku selamanya, Lucia milikku!" seru Samuel.
Evan menahan napas, berusaha menjaga diri agar tidak terpancing emosi. Ia tahu, kalimat itu sengaja dilontarkan untuk mengguncang. Namun yang lebih penting baginya saat ini adalah kondisi Lucia.
Ketika jumlah keamanan bertambah, Samuel akhirnya dipaksa keluar dari ruangan. Suara langkah kakinya yang berat, disertai umpatan dan teriakan marah, perlahan menjauh di lorong rumah sakit. Tapi bagi Lucia, ancaman itu masih menggantung di udara, menekan dadanya dengan beban yang tak terlihat.
Begitu pintu tertutup rapat kembali, ruangan seakan kembali sunyi. Hanya ada isak tertahan dari Lucia yang duduk meringkuk di ranjang.
"Sshhh ... tenang, Love," Evan segera menghampiri, duduk di tepi ranjang, lalu memeluknya erat. "Aku di sini. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi."
Lucia menempelkan wajahnya di dada Evan, merasakan detak jantungnya yang stabil. Namun meski tubuhnya dipeluk erat, hatinya masih dipenuhi rasa takut. Ucapan Samuel terus terngiang-ngiang, seperti bisikan jahat yang menolak pergi.
"Aku takut, Evan, dia ... dia bilang akan membawaku kembali. Aku tidak bisa ... aku tidak mau kembali," suara Lucia lirih, bergetar di antara tangis.
Evan mengusap lembut rambutnya, matanya menatap jauh seakan berjanji pada dirinya sendiri. "Kau tidak akan pernah kembali padanya, Lucy. Selama aku di sini, aku akan melindungimu. Apa pun yang dia lakukan, aku akan selalu ada untukmu."
Pelukan itu menjadi tembok yang memisahkan Lucia dari bayangan kelam masa lalunya. Namun, di lubuk hatinya, rasa takut itu masih berakar, menancap dalam. Ia tahu Samuel tidak akan menyerah begitu saja. Dan itulah yang membuatnya semakin bergantung pada kehangatan Evan, satu-satunya cahaya yang masih mampu menuntunnya keluar dari gelap.
Ruangan rawat itu seolah membeku setelah Samuel benar-benar dibawa pergi. Namun bayang-bayang ucapannya masih menempel seperti noda yang sulit hilang. Kata-kata kasar yang meluncur dari bibirnya terus menggema di telinga Lucia, seakan-akan pria itu masih berdiri di sana, menatapnya dengan mata penuh amarah.
Evan tidak pernah melepas pelukannya. Ia merasakan betapa rapuhnya tubuh Lucia di pelukannya, betapa perempuan itu gemetar seakan dikejar bayangan yang tak terlihat. Setiap tarikan napas Lucia begitu pendek, tidak teratur, seperti seseorang yang baru saja hampir tenggelam.
"Lucia, lihat aku," bisik Evan lembut, sambil menarik wajah wanita itu agar menatapnya. Mata Lucia basah oleh air mata, pupilnya membesar karena ketakutan. "Samuel tidak bisa menyentuhmu lagi. Tidak di sini. Tidak saat aku bersamamu."
Lucia menggeleng lemah. "Bagaimana jika dia menemukan cara untuk kembali?"
Evan mengusap pipi Lucia dengan ibu jari, menghapus jejak air mata yang masih mengalir. "Kalau dia menemukan caranya, maka aku juga akan menemukan seribu cara untuk memastikan kau tetap aman. Aku tidak akan membiarkan satu pun ancaman menyentuhmu."
Ucapan itu begitu meyakinkan, namun hati Lucia tetap saja dilingkupi rasa gentar. Ia teringat masa-masa kelam saat Samuel menghancurkan hidupnya, perasaan yang menyesakkan, dan rasa terjebak yang membuatnya nyaris kehilangan dirinya sendiri. Kini, ketika ia sudah melangkah keluar dari semua itu, Samuel datang lagi, mencoba menariknya kembali ke jurang yang sama.
Lucia menutup mata rapat-rapat, memeluk Evan lebih erat. "Aku tidak sanggup jika dia benar-benar mencoba lagi. Aku takut, Evan ... aku sangat takut."
"Tak perlu takut, Love," Evan menempelkan keningnya di dahi Lucia, suaranya bergetar penuh emosi. "Aku ada di sini. Kau tidak sendiri lagi. Kau tidak perlu melawan dia sendirian."
Beberapa menit kemudian, petugas keamanan kembali mengetuk pintu, kali ini untuk memastikan keadaan sudah aman. Evan berbicara singkat dengan mereka di luar ruangan, memastikan Samuel sudah diantar keluar dari area rumah sakit. Ia bahkan meminta agar nama Samuel dicatat dalam daftar orang yang dilarang masuk.
Ketika Evan kembali masuk, ia mendapati Lucia duduk di ranjang dengan wajah masih pucat. Tirai jendela sudah digerakkan menutup cahaya sore, membuat ruangan remang dengan lampu lembut. Dalam cahaya itu, Lucia tampak begitu rapuh, seperti bunga yang baru saja diterpa badai.
Evan mendekat perlahan, seolah takut langkahnya akan mengusik ketenangan tipis yang sedang berusaha diraih Lucia. Ia duduk di samping ranjang, lalu menggenggam tangan Lucia yang terasa dingin.
"Samuel sudah pergi," ujarnya pelan. "Aku sudah pastikan dia tidak akan bisa masuk ke sini lagi. Pihak rumah sakit sudah menerima permintaanku untuk melarangnya datang."
Lucia menoleh perlahan, tatapannya kosong sejenak sebelum akhirnya jatuh pada wajah Evan. Ada sedikit kelegaan, namun juga ketakutan yang masih tertinggal.
"Apa kau yakin dia tidak akan kembali?" tanya Lucia.
"Kalau pun dia berusaha, dia harus melewati banyak halangan dulu. Dan aku tidak akan membiarkannya mendekatimu lagi," jawab Evan seraya meremas tangan Lucia, mengirimkan kehangatan lewat sentuhan itu.
Lucia menghela napas panjang, namun tangisnya belum juga reda. Ketakutan yang ia rasakan terlalu dalam untuk bisa hilang hanya dengan jaminan. Ia butuh waktu, butuh bukti nyata bahwa kata-kata Evan benar.
Malam pun tiba, dan suasana rumah sakit semakin tenang. Suara roda kereta pasien dan langkah perawat terdengar samar di lorong. Di dalam ruangan, Evan masih setia menemani. Ia duduk di kursi di samping ranjang, tubuhnya condong ke depan, jemarinya tak pernah lepas dari genggaman Lucia.
Kadang, Lucia terbangun dengan napas terengah, mimpi buruk menghantamnya. Di sana, Samuel hadir, menariknya paksa, menyeretnya kembali ke kegelapan. Setiap kali itu terjadi, Evan langsung bangun, memeluknya erat, mengelus rambutnya sampai wanita itu kembali tenang.
"Evan?" panggil Lucia, suaranya lirih, hampir tak terdengar, di tengah gelap malam.
Evan menatapnya lama, lalu menjawab tegas, "Ya, Love?"
Lucia diam, ia hanya menatap Evan seolah ingin mengonfirmasi kalau pria itu ada di sini, bersamanya.
"Tidurlah, aku akan selalu ada di sini. Jangan khawatirkan apa pun," kata Evan lembut lalu memeluk Lucia.
Lucia terdiam, hatinya tersentuh oleh ketulusan yang terpancar dari nada suara Evan. Perlahan, ketakutan yang mencekik dadanya mulai mereda, digantikan oleh rasa hangat yang mengalir dari pelukan Evan. Ia menyadari, meskipun Samuel masih berkeliaran di luar sana, ia kini tidak sendirian lagi. Ada seseorang yang benar-benar ingin melindunginya, bukan mengurungnya. Ada seseorang yang rela berdiri di garis depan, hanya untuk memastikan dirinya tidak jatuh lagi.
Untuk pertama kalinya setelah kejadian sore tadi, Lucia mampu menarik napas sedikit lebih lega. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Evan, membiarkan pria itu menjadi tembok pelindung yang menutupi segala ketakutannya.
"Terima kasih," ucap Lucia pelan.
"Aku tidak akan pernah pergi, Lucia. Aku berjanji," kata Evan.
Dan janji itu, diucapkan dalam senyap malam, menjadi cahaya kecil yang menembus kegelapan yang sempat menelan hati Lucia.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih