Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Bukti yang Belum Terkuak
Hiro menggendong Gendis masuk ke mobil. Perempuan itu kini lemah dan butuh perlindungan. Hiro meminta Ren untuk mengendarai mobil menuju rumah.
Hiro yang awalnya hanya ingin pulang untuk mengambil pakaian ganti Reiki, kini mengurungkan niat. Dia meminta Ren yang melakukan hal itu. Usai mengantar Hiro dan Gendis pulang, Ren langsung kembali ke rumah sakit untuk menggantikan Hiro menjaga Reiki.
Sementara itu di dalam kamar, Hiro terus menggenggam jemari Gendis. Dahi perempuan tersebut kini dikompres menggunakan handuk kecil. Rasa kantuk membuat Hiro membungkukkan tubuh dan terlelap di samping Gendis dengan posisi itu.
"Anakku," gumam Gendis di tengah tidurnya.
Suara itu berhasil membuat Hiro kembali terjaga. Dia masih dengan posisi yang sama dan jemarinya masih menggenggam tangan Gendis. Hiro perlahan melepaskan tangan agar Gendis tidak terbangun.
Lelaki tersebut meletakkan punggung tangannya pada dahi Gendis. Demam Gendis sudah turun. Hiro memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Gerakan Hiro begitu pelan ketika membetulkan letak selimut Gendis. Dia hendak balik kanan, tetapi tertahan oleh teriakan Gendis. Ketika menoleh, dia mendapati perempuan itu sudah terduduk dengan wajah penuh keringat.
"Ndis, kamu nggak apa-apa?" Hiro mengurungkan niat untuk keluar dari sana.
Lelaki tersebut kembali duduk ke atas kursi dan menatap Gendis yang kini tertunduk. Air mata mengalir melewati pipi dan menetes pada selimutnya. Hiro kembali menggenggam tangan Gendis.
Perlahan Gendis mengangkat wajah. Menatap nanar Hiro yang kini juga mengarahkan pandangan penuh iba kepadanya. Lelaki tersebut tetap diam, tetapi terus menanti pengakuan Gendis.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Gendis dengan suara bergetar.
Hiro hanya mengangguk pelan, hampir tak terlihat. Gendis mengusap air mata dan kembali menunduk. Hiro pun menguatkan genggaman tangan sehingga membuat perempuan tersebut mendapatkan kembali keyakinannya untuk bicara.
"Katakan saja. aku sudah janji akan mendengarkanmu. Kamu juga janji untuk mengatakan semuanya yang membuat kamu risau. Sesuai kesepakatan, jika kamu tetap diam ...." Hiro menarik napas panjang lalu mengembuskannya kasar melalui mulut.
Kamar itu senyap, hanya suara detik jam yang terdengar sayup. Aroma lembap dari handuk kompres yang kini digenggam Gendis bercampur dengan bau obat yang samar-samar masih menempel di kulitnya. Hiro duduk di kursi samping ranjang, punggungnya sedikit bungkuk, jemarinya menggenggam tangan Gendis yang dingin.
“Kita akan pergi lagi ke psikiater, Ndis.”
Suara Hiro tenang, tetapi ada ketegasan yang tak bisa disangkal. Sekejap tubuh Gendis menegang. Tatapannya yang semula kosong langsung tersentak hidup. Dia melepaskan tangannya dari genggaman Hiro dengan kasar.
“Tidak!” Suara Gendis meninggi, nyaring seperti teriakan.
Hiro sempat terdiam. Ia tidak menduga reaksi sekeras ini.
“Kamu sudah janji untuk menceritakan semuanya, Ndis.” Nada suara Hiro tetap lembut, tetapi tak memberi celah.
“Kalau kamu masih diam, kita akan pergi lagi. Aku hanya ingin membantumu.”
“Aku tidak gila!” teriak Gendis, tubuhnya gemetar. Pipinya basah oleh air mata yang jatuh tanpa henti. “Aku hanya ... aku hanya ingin kebenaran! Kenapa kamu memperlakukanku seperti orang sakit jiwa?”
Bahunya naik-turun, napasnya pendek-pendek. Gendis menunduk, air mata jatuh menitik di selimut, membuat bercak basah di kain itu.
Hiro menelan ludah. Dia ingin mendekat, memeluknya, tetapi Hiro tahu jika terlalu cepat, Gendis akan merasa terpojok. Maka dia hanya duduk, membiarkan perempuan itu mengeluarkan semua yang selama ini terkunci.
Gendis mencengkeram selimut di pangkuannya. Jemarinya memutih karena terlalu kuat meremas. “Setiap malam aku mendengarnya lagi.” Suara Gendis parau, pecah di ujung.
“Tangisan yang sama ... suara bayi ... mereka bilang anakku mati, tapi aku tahu dia bernapas waktu mereka mengambilnya dariku.”
Hiro menunduk, dadanya ikut terasa sesak.
“Ayaka!” seru Gendis meninggi tiba-tiba, nyaris seperti tuduhan. “Ayaka tahu semuanya!”
Hiro langsung mengangkat kepala. “Apa maksudmu?”
“Aku menemukan rekam medis itu.” Mata Gendis liar, wajahnya basah oleh air mata, rambutnya menempel di kening karena keringat.
“Mereka menulis ... ayahnya yang mengambilnya. Ayahnya, Hiro! Tanpa persetujuanku. Mereka memutuskan segalanya seolah-olah aku tidak punya hak.” Isakan Gendis pecah lagi, membuat bahunya bergetar hebat.
“Aku bahkan tidak sempat melihat wajahnya. Dan sekarang ... setiap kali aku melihat Reina ....” Gendis menutup wajah dengan telapak tangannya, seakan tidak sanggup melanjutkan.
“Dia punya tanda itu. Sama persis dengan lelaki itu.”
Nama itu tak pernah diucapkan, tetapi Hiro tahu persis siapa yang dimaksud. Sosok yang selama ini menghantui mimpi Gendis, bayangan yang membuat perempuan itu terperangkap dalam ketakutan bertahun-tahun.
“Bagaimana kalau dia memang anakku?” Gendis menurunkan tangannya, menatap Hiro dengan mata merah basah, seolah berada di tepi jurang.
“Bagaimana kalau selama ini semua orang bersekongkol menyembunyikannya dariku?”
Hiro bergerak mendekat, meraih tangan Gendis. Jemarinya mengusap punggung tangan perempuan itu dengan lembut. “Dan kamu masih berpikir lelaki itu aku?”
Mata Gendis membelalak. “Kamu memiliki tanda yang sama, Hiro! Bagaimana aku bisa yakin kalau bukan kamu?”
Tanpa menjawab, Hiro merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel. Tangannya bergerak cepat membuka folder perjalanan bisnis, lalu menyerahkannya pada Gendis.
“Lihat.” Suara Hiro terdengar mantap, tenang, tetapi penuh beban.
“Hari itu aku ada di Eropa. Ini boarding pass-ku, tiket hotelku, jadwal meeting di Milan. Aku tidak ada di sini ketika pengalaman burukmu itu terjadi, Ndis.”
Gendis menatap layar itu lama, jemarinya bergetar saat menggeser layar, membaca setiap tanggal dan lokasi. Napasnya tercekat dan bahu Gendis merosot perlahan.
“Jadi ... Lelaki itu benar-benar bukan kamu?”
Bisikan Gendis nyaris tak terdengar. Air mata jatuh lagi, kali ini bercampur lega dan putus asa. Hiro menaruh ponsel itu di meja, lalu menarik Gendis ke dalam pelukan.
“Bukan aku, Ndis. Aku tidak akan pernah menyakitimu seperti itu.” Hiro menarik lengan Gendis sehingga perempuan itu masuk ke pelukannya.
Pelukan itu seperti memecahkan bendungan. Tangis Gendis meledak, tubuhnya bergetar hebat. Dia meremas baju Hiro, wajahnya menempel erat di dada lelaki itu seolah hanya itu yang bisa membuatnya tetap berdiri.
Hiro mengecup puncak kepalanya. “Kita akan cari tahu semuanya. Kita cari Ayaka sampai ketemu, kita teliti lagi rekam medis itu. Tapi kamu harus tetap kuat. Aku akan membantumu, Ndis."
Gendis hanya mengangguk lemah, isakannya perlahan mereda, sesenggukan kecil menggantikan teriakannya. Saat itulah Hiro melihat helaian rambut hitam tergeletak di sprei, tepat di dekat bahu Gendis. Dia meraihnya pelan, memastikan Gendis tidak melihat.
Helaian itu tipis dan rapuh. Hiro menatapnya lama, dadanya terasa menegang. Ada rasa ngeri yang tak bisa dia jelaskan.
Perlahan Hiro menyelipkan rambut itu di sakunya, menyimpannya seakan itu barang paling berharga malam itu. Hiro kembali memeluk Gendis lebih erat, menepuk punggungnya hingga perempuan itu akhirnya kembali tertidur, dengan wajah yang masih basah oleh air mata.
Namun, Hiro tidak memejamkan mata. Dia duduk diam, menatap dinding kamar yang redup. Satu tangannya tetap memeluk Gendis, sementara tangan lain meraba helaian rambut di sakunya. Di kepalanya, sebuah rencana mulai terbentuk.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki