Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.
Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.
Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Kehidupan Baru Dimulai
Kabut pagi musim semi menggantung rendah di atas atap-atap rumah Desa Qinghe, membasahi jalan tanah yang mulai menghijau oleh lumut. Di sebuah gubuk kecil di pinggir desa—bekas gudang penyimpanan yang telah direnovasi sederhana—Zhao Liyun berdiri di ambang pintu, menghirup dalam-dalam aroma pagi yang segar. Untuk pertama kalinya sejak menyadari dirinya terjebak dalam novel, udara yang ia hirup terasa benar-benar miliknya sendiri.
Gubuk ini sederhana—hanya satu ruangan dengan perapian di sudut, tempat tidur papan yang diberi alas jerami, dan meja kayu reyot—tapi ini adalah istananya. Di sini, tidak ada tatapan penuh kebencian Madam Zhao, tidak ada desahan kesal karena ia "makan terlalu banyak", tidak ada perasaan terus-menerus waspada seolah-olah ia hidup di atas lapisan es yang tipis.
"Dari hari ini," bisiknya pada diri sendiri, "aku benar-benar memulai hidup baruku."
Keputusan untuk pindah dari rumah Madam Zhao tidak datang tanpa perlawanan. Ibu tirinya itu telah berteriak, memaki, bahkan mengancam akan melaporkannya kepada kepala desa sebagai anak durhaka. Tapi Liyun telah bersiap. Dengan tenang ia menunjukkan catatan yang ia buat—setiap kali Madam Zhao mengambil jatah makannya, setiap kali uang tunjangan ayahnya yang kecil itu diselewengkan, bahkan kesaksian diam-diam dari tetangga yang melihat perlakuan buruk terhadapnya.
Yang lebih mengejutkan, Wu Shengli telah berdiri di sampingnya selama pertemuan dengan kepala desa, bukan sebagai pembela yang emosional, tetapi sebagai saksi yang tenang dan dapat dipercaya. "Liyun telah membuktikan nilainya bagi desa kita," katanya dengan suara yang jernih. "Dia pantas mendapatkan tempat yang membuatnya bisa berkontribusi lebih baik."
Kini, di pagi pertama kebebasannya, Liyun merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menyalakan api kecil di perapian, merebus air untuk teh herbal yang ia kumpulkan sendiri. Asap mengepul membubung, membawa serta beban masa lalunya.
Tapi kebebasan juga datang dengan tanggung jawab. Siang itu, ia harus mengatur persediaan dapur kolektif untuk minggu depan, memastikan tidak ada yang terbuang—sebuah tugas yang dipercayakan kepadanya setelah keberhasilannya selama musim dingin. Ia juga harus merencanakan kebun kecil di belakang gubuk barunya, memastikan ia memiliki cukup makanan tanpa bergantung sepenuhnya pada jatah desa.
Saat ia sedang memeriksa benih yang disimpannya, langkah kaki familiar terdengar mendekat. Wu Shengli muncul dari balik pepohonan, membawa seikat kayu bakar yang rapi di punggungnya.
"Kupikir kau mungkin membutuhkan ini," katanya dengan senyum kecil, menurunkan kayu bakar di samping perapian.
Liyun tersenyum balik. "Terima kasih. Tapi kau tidak harus—"
"Aku tahu," potong Shengli lembut. "Tapi aku ingin."
Mereka berdiri sebentar dalam keheningan yang nyaman, diiringi kicau burung-burung yang kembali setelah musim dingin. Hubungan mereka telah berubah dalam beberapa minggu terakhir—dari sekutu yang waspada menjadi teman yang saling percaya. Tapi sejak Liyun pindah ke gubuk ini, ada sesuatu yang halus bergeser antara mereka, seperti benang yang tak terlihat yang semakin mengencang.
"Bagaimana rasanya?" tanya Shengli akhirnya, matanya memindai ruangan sederhana yang telah diatur rapi oleh Liyun.
"Seperti... bernapas untuk pertama kalinya," jawab Liyun, tidak mampu menyembunyikan getaran di suaranya. "Aku tahu hidupku masih sulit, tapi setidaknya sekarang kesulitan itu milikku untuk diatasi."
Shengli mengangguk, memahami sepenuhnya. "Orang-orang desa masih membicarakanmu," katanya, duduk di bangku kayu dekat perapian. "Mereka tidak bisa percaya bahwa Zhao Liyun yang 'tidak berguna' sekarang bisa mandiri."
Liyun mendecakkan lidahnya. "Mereka akan membiasakannya. Atau tidak. Bagiku tidak penting."
Tapi keduanya tahu itu tidak sepenuhnya benar. Reputasinya di desa masih rapuh, seperti es tipis di musim semi. Satu kesalahan, satu rumor buruk, bisa meruntuhkan segala yang telah ia bangun.
Siang itu, saat Liyun pergi ke dapur kolektif, ia merasakan tatapan yang berbeda dari para wanita desa. Bukan lagi tatapan kasihan atau kecurigaan, tapi sesuatu yang lebih kompleks—rasa hormat yang enggan, mungkin bahkan sedikit takut. Beberapa wanita yang lebih tua mengangguk padanya, mengakui kehadirannya dengan cara yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.
"Liyun," panggil seorang ibu yang biasanya diam, "bisakah kau menunjukkan padaku lagi cara membuat adonan roti itu? Rotiku masih belum seenak buatanmu."
Ini adalah pengakuan halus, sebuah penerimaan. Liyun tersenyum dan mengangguk, menghabiskan sisa paginya tidak hanya mengawasi, tetapi juga mengajar—berbagi pengetahuannya dengan rendah hati, tanpa kesombongan.
Saat senja tiba, Liyun kembali ke gubuknya dengan langkah lelah tapi puas. Di depan pintunya, ia menemukan seikat sayuran liar dan dua butir telur—hadiah tanpa nama dari seseorang yang mungkin berhutang budi atau sekedar menghargainya.
Malam itu, duduk sendirian di meja kayunya dengan makan malam sederhana yang ia masak sendiri, Liyun merenungkan perjalanannya. Dari karakter pendukung yang ditakdirkan mati, menjadi wanita mandiri yang mulai dihormati. Ini bukan akhir dari perjuangannya—ia tahu Madam Zhao tidak akan menyerah begitu mudah, dan tantangan baru pasti akan datang.
Tapi saat ia memadamkan lampu minyak dan berbaring di tempat tidurnya yang sederhana, mendengarkan suara jangkrik yang mulai bernyanyi di luar, satu keyakinan menguat dalam hatinya: apapun yang terjadi selanjutnya, ia akan menghadapinya sebagai Zhao Liyun yang baru—seorang wanita yang menentukan nasibnya sendiri, bukan karakter dalam cerita orang lain.
Langit malam di luar jendelanya terlihat lebih luas dari biasanya, seolah-olah mengatakan bahwa dunianya tidak lagi terbatas pada halaman rumah Madam Zhao, tetapi terbentang seluas bintang-bintang yang berkilauan di atasnya.