Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.
Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.
Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melawan Diri Sendiri
Kastil Kaki Naga Langit kembali sunyi.
Tiga hari telah lewat sejak Wēi Qiao kembali dari hutan—tiga hari yang dihabiskan hanya untuk memulihkan diri, membiarkan tubuhnya kembali bugar, dan pikirannya… setidaknya, tidak terombang-ambing seperti badai.
Pagi ini, dia berjalan pelan ke Ruang Latihan Selatan, tempat para murid tingkat tinggi biasa berlatih. Ruangan itu berada di sisi paling sunyi dari kastil, jauh dari keramaian aula tengah. Dindingnya dihiasi panel kayu tua yang mengkilap, lantai batu licin memantulkan cahaya dari jendela besar, dan di ujung selatan ada kolam batu bundar dengan air jernih mengalir dari patung naga perunggu.
"Status fisik: 100%. Energi dalam: 87% dari kapasitas. Mental: stabil, namun tersisa tekanan emosional 9,8%,"
suara Micro Bots terdengar datar di kepalanya.
Qiao menghela napas. “Serius, 9,8%? Angka segitu saja kau masukkan laporan?”
"Ketepatan data menentukan kelangsungan hidup."
Dia menggeleng sambil meletakkan pedang latihannya di atas rak. Hari ini, dia akan mencoba menguasai Jejak Pedang yang ia temukan di perpustakaan tiga hari lalu. Teknik itu sederhana di atas kertas, tapi menuntut keselarasan mutlak antara langkah kaki, ayunan pedang, dan aliran tenaga dalam.
Dia memulai dari sikap dasar. Kaki selebar bahu, lutut sedikit ditekuk. Bahu rileks, tangan menggenggam pedang dengan mantap.
"Awali dari bentuk satu. Tebasan ringan, lalu transisi ke tusukan. Fokus pada arah napas," ujar Micro Bots.
Qiao mengayunkan pedang dari kanan ke kiri, lalu melangkah maju dan menusuk ke depan. Gerakannya mulus, tapi napasnya terlalu cepat.
"Terlalu dangkal. Ambil udara dari perut, bukan dada. Ulangi."
Dia mengulang. Tebasan—tusukan—putaran pergelangan—hentakan kaki. Pedang seperti mengiris udara, menghasilkan desis halus. Setelah sepuluh kali pengulangan, keringat mulai mengalir dari pelipisnya.
Setelah gerakan dasar, Micro Bots memintanya menambahkan pola pernapasan dalam.
Tarik napas ketika pedang naik, hembuskan ketika pedang menebas, tahan ketika berputar, lalu lepaskan saat menghentak.
Gerakan itu terasa seperti tarian yang rumit. Satu kesalahan napas saja membuat tenaga dalamnya mengalir tidak sempurna. Dua kali ia kehilangan ritme, dan pedangnya nyaris jatuh.
"Ulangi 30 kali."
“30? Kau pikir aku robot?”
"Kalau aku bisa, kenapa kamu tidak?"
Dia meringis, tapi melakukannya. Pada repetisi ke-18, tubuhnya mulai terasa panas, seolah ada bara di dalam perutnya. Pada repetisi ke-25, bara itu mengalir ke seluruh tubuh. Dan pada repetisi ke-30, pedangnya bergerak begitu cepat hingga udara di depannya bergetar.
“Sekarang?” tanya Qiao sambil mengatur napas.
"Simulasikan pertempuran nyata. Gunakan Jejak Pedang, kombinasikan dengan teknik lain yang kamu kuasai."
Qiao menutup mata sebentar, lalu membayangkan lawan di depannya. Dia bergerak: tebas—putar—tusuk—undur—miring—hentak. Tubuhnya seperti bayangan pedang itu sendiri, setiap gerakan mengalir tanpa putus.
Satu kali, ia membalikkan pedang, memukul dengan sisi tumpul lalu memutar kembali, memotong udara. Dentuman kayu lantai terdengar tiap hentakan kakinya.
Di akhir, ia berdiri tegak, pedang di samping pinggang, napas berat tapi mantap.
"Gerakan membaik 22% dibanding kemarin. Namun, emosi tidak sepenuhnya terfokus."
“Emosi?” Qiao mengernyit. “Aku rasa aku baik-baik saja.”
"Tidak. Ada residu dari kejadian tiga malam lalu. Saranku, jalani Mode Pembersihan Jiwa."
“Apa itu akan makan waktu lama?”
"Durasi tidak pasti. Bergantung pada seberapa dalam kerusakan mentalmu."
Qiao duduk bersila di tengah ruangan, pedangnya di pangkuan. Dia menarik napas panjang… dan tiba-tiba merasa ada sesuatu yang berat di dadanya. Bukan sakit… tapi seperti ada tangan tak terlihat yang menekan perlahan.
Suara gemericik kolam terdengar makin jauh. Cahaya dari jendela seperti meredup. Qiao membuka mata—dan dunia mulai berubah.
Tirai merah memudar, lantai batu retak, kolam mengering menjadi lubang hitam. Langit-langit ruangan lenyap, berganti langit merah pekat dengan awan hitam berputar.
"Transisi mental 72%… 85%… 100%. Selamat datang di dunia mentalmu," kata Micro Bots, suaranya bergaung.
Di hadapannya berdiri seseorang. Sama seperti dirinya—rambut, wajah, mata—tapi sorot mata sosok itu penuh kebencian, dan senyumannya seperti belati.
“Aku tahu ini…” bisik Qiao.
“Bayanganmu,” jawab sosok itu, “atau lebih tepatnya… bagian dirimu yang kau kubur.”
Bayangan itu melangkah maju, setiap langkah meninggalkan bekas retak di tanah hitam.
“Kau membiarkan Ibu mati.”
Qiao terdiam. Kata itu menusuk dadanya seperti jarum es.
“Kau hampir membunuh dirimu sendiri.”
“Kau sudah membunuh orang… dan aku tahu, di lubuk hatimu, kau menikmatinya.”
“Kau hanya hidup karena mesin bodoh di kepalamu.”
"Jangan terpengaruh," bisik Micro Bots. Tapi suaranya seperti dari balik dinding tebal.
Bayangan itu mengangkat pedang—pedang yang sama persis dengan milik Qiao.
“Kita lihat siapa yang pantas mengendalikan tubuh ini.”
Mereka menyerbu bersamaan. Pedang bertemu pedang, percikan cahaya keluar meski ini dunia batin. Bayangan Qiao bergerak seperti bayangan Jejak Pedang yang sempurna—teknik yang bahkan belum sepenuhnya ia kuasai.
Tusukan cepat—Qiao menangkis. Tebasan silang—dia memutar tubuh, tapi telat, bahunya tergores.
Bayangan itu terus bicara di sela serangan:
“Kau pengecut.”
“Kau tidak pantas hidup.”
“Kau lemah.”
Setiap kata seperti beban di pikirannya. Ayunan pedangnya mulai kehilangan kecepatan.
"Fokus di dantian! Jangan biarkan kata-kata itu memutus aliran tenagamu!" suara Micro Bots makin keras.
Bayangan itu memadukan Jejak Pedang dengan teknik tusukan beruntun—tiga tusukan dalam satu napas. Qiao terpaksa mundur, langkahnya kacau.
Di sela mundur, Qiao mencoba menyerang balik: tebas bawah—lompatan memutar—tebas atas. Tapi Bayangan menangkis semuanya, bahkan membalas dengan serangan memutar yang memaksa Qiao jatuh ke lutut.
Bayangan berdiri di depannya, pedang terangkat.
“Saatnya kau lenyap.”
ZRAAANG!
Bayangan itu bergerak lebih dulu, pedangnya menghujam ke depan dengan kecepatan yang bahkan mata Wēi Qiao hampir tak sanggup ikuti. Tubuh Qiao bereaksi insting—mengangkat pedang dan memutar pergelangan untuk membelokkan serangan—tetapi getaran dari benturan membuat tangannya nyeri.
[Micro Bots]: "PERINGATAN! Serangan mendatar! Bahu kananmu dalam posisi terbuka—PERBAIKI SEKARANG!"
Qiao memutar tubuh, melompat mundur, namun bayangan itu menempel seperti bayangan asli yang tak bisa diusir. Setiap langkah mundurnya dibalas tiga langkah maju.
Pedang bertemu pedang, CLANG! CLANG! CLANG!—denting logam seperti guntur di ruang tertutup itu. Wēi Qiao mencoba menggunakan bentuk ketiga dari Jejak Pedang Bayangan, gerakan menyapu rendah untuk memancing lawan membuka celah, tapi bayangan itu malah menginjak pedangnya dan menendang Qiao hingga tubuhnya terbanting ke belakang.
[Micro Bots]: "WÉI QIAO! JANGAN MENYERAH! Kau punya dua tangan dan dua kaki—GUNAKAN MEREKA!"
Qiao berdiri lagi, menggenggam pedangnya lebih erat. Napasnya mulai tersengal. Keringat mengucur di pelipis, bercampur dengan darah tipis dari luka di pipi kirinya.
Bayangan itu mulai berbicara—dengan suara yang mirip dengannya sendiri namun lebih gelap, penuh ejekan.
Bayangan: "Kau… pengecut. Kau membiarkan ibu mati. Kau hampir membunuh dirimu sendiri. Dan sekarang? Kau sudah membunuh orang lain, kan? Rasanya enak?"
Setiap kata itu seperti paku yang ditancapkan di pikirannya. Wēi Qiao mencoba fokus, tapi serangan demi serangan terus datang.
[Micro Bots]: "JANGAN DENGARKAN! Dia hanya memanipulasi mentalmu! Fokus pada pergelangan tangannya, bukan ucapannya!"
Qiao mengayun pedangnya ke kiri, lalu memutar ke kanan—namun bayangan itu selalu tahu langkah berikutnya. Setiap bentuk yang ia pelajari, dari bentuk pertama hingga kesembilan, dipatahkan begitu saja.
Serangan mulai datang lebih brutal. Bayangan itu tidak lagi menjaga jarak—ia masuk ke ruang gerak Qiao, menekan dengan serangan jarak dekat, memaksa Qiao membela diri sepenuhnya.
DENT! CLANG! WHOOSH!
Benturan logam makin cepat, sampai udara di sekitar mereka bergetar. Setiap benturan membuat tangan Qiao semakin berat, bahunya semakin nyeri, dan langkahnya goyah.
Bayangan: "Kau ini bukan apa-apa. Semua pencapaianmu cuma kebetulan. Kau hidup hanya karena orang lain membantumu."
[Micro Bots]: "BOHONG! Kalau kau lemah, kau sudah mati kemarin! Ingat itu!"
Qiao menahan serangan atas, memutar pedang untuk memotong diagonal, namun bayangan itu menggeser tubuhnya dengan halus, lalu menendang lutut Qiao. Ia tersungkur ke tanah.
[Micro Bots]: "PERINGATAN! Posisi terjepit! GULING KIRI! SEKARANG!"
Qiao mengguling, tapi bayangan itu mengejar, mengayunkan pedang seperti kilat. Serangan datang dari atas—Qiao memblokir—serangan datang dari bawah—Qiao mundur setengah langkah—lalu… celah.
Bayangan itu menemukan titik lemah pada pertahanan Qiao. Dengan kecepatan mematikan, pedangnya meluncur lurus ke arah lehernya.
WHOOSH—
Wēi Qiao hanya sempat melihat kilatan logam di matanya sebelum…
Lanjuuuuutttt