NovelToon NovelToon
ASI Untuk HOT CEO

ASI Untuk HOT CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Arran Lim

Alur cerita ringan...
Dan novel ini berisi beberapa cerita dengan karakter yang berbeda-beda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arran Lim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Nyonya Amanda, Jason, dan Nicholas meninggalkan kediaman keluarga Angelina dengan wajah keras penuh amarah. Mereka tak peduli dengan teriakan histeris Marissa dan suaminya. Kini fokus mereka hanya satu: memastikan Angelina mendapatkan ganjaran atas semua perbuatannya.

Di dalam mobil, Jason dengan wajah dingin sudah menghubungi pengacara pribadinya. Suaranya tegas, penuh ketegasan yang tak memberi ruang tawar-menawar. “Pastikan perempuan itu mendekam di penjara. Aku tidak mau ada celah sekecil apa pun untuk membebaskannya.”

Nicholas di kursi belakang terdiam, namun tatapannya penuh bara. Dalam hatinya, ia berikrar bahwa apa pun yang terjadi, ia akan melakukan segalanya agar Angelina menerima hukuman seberat-beratnya.

Setelah urusan panjang hari itu, Jason akhirnya kembali ke hotel untuk beristirahat. Nyonya Amanda pulang ke kediamannya dengan hati yang masih dipenuhi kegelisahan. Sementara Nicholas, alih-alih pulang, justru mengarahkan mobilnya menuju rumah sakit tempat Anna dirawat.

Sesampainya di sana, ia berjalan perlahan menyusuri koridor yang sepi. Hatinya perih setiap langkah mendekat ke ruang rawat Anna. Begitu sampai, ia hanya bisa berdiri di depan kaca pintu. Ruangan itu terlarang dimasuki siapa pun selain keluarga inti dan tenaga medis.

Nicholas menempelkan telapak tangannya pada kaca bening itu. Pandangannya tak lepas dari sosok Anna yang terbaring lemah dengan selang dan alat medis menempel di tubuhnya. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

“Maaf, Sayang... Maaf. Ini semua salah aku,” batinnya lirih, suaranya tercekat dalam hati.

Jari-jarinya menyusuri kaca, seolah-olah ia tengah membelai pipi kekasihnya yang pucat.

“Bertahanlah, Sayang. Aku janji... aku sendiri yang akan memastikan perempuan itu dihukum seberat-beratnya. Aku nggak akan biarkan dia menyakitimu lagi.”

Malam itu, Nicholas hanya bisa berdoa. Berulang kali ia memohon kepada Tuhan agar Anna diberi kekuatan untuk melewati semua ini.

**********

Dua hari berlalu.

Pihak rumah sakit akhirnya memberikan kabar yang sedikit melegakan. Dokter keluar dari ruang rawat dengan wajah lebih tenang. “Anna sudah berhasil melewati masa kritisnya,” ujarnya. Kalimat itu bagai angin segar bagi keluarga yang menunggu. Meski begitu, sang dokter menambahkan bahwa Anna masih belum menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Harapan tetap ada, namun perjalanan masih panjang.

Kabar itu sedikit meredakan kecemasan Nicholas dan Jason. Setidaknya, ada cahaya kecil di ujung gelapnya malam.

Pagi-pagi sekali di hari ketiga, Nicholas dan Jason sudah berada di kantor polisi. Udara ruangan pengap dengan ketegangan yang menyesakkan dada. Dua keluarga besar kini berhadap-hadapan: keluarga Nicholas dan Jason di satu sisi, sementara keluarga Angelina di sisi lain.

Marissa dan suaminya memohon dengan segala cara. Mereka menundukkan kepala, suaranya parau memohon agar Angelina dibebaskan. Mereka berjanji akan menanggung semua biaya perawatan Anna, bahkan rela memberi kompensasi apa pun yang diminta.

Namun Jason hanya menatap dingin, sementara Nicholas berdiri tegak tanpa goyah sedikit pun. Permohonan itu berulang-ulang, namun jawaban mereka tetap sama: tidak.

Bagi mereka, luka yang ditorehkan Angelina tak bisa ditebus dengan uang, apalagi sekadar permintaan maaf.

Sidang resmi pun ditetapkan akan digelar minggu depan. Keputusan itu membuat wajah keluarga Angelina semakin muram, sementara Nicholas hanya menatap ke depan dengan hati yang sudah membulatkan tekad. Ia bersumpah, tidak akan ada lagi kesempatan kedua untuk Angelina.

.

.

.

.

.

.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Sidang demi sidang telah mereka lalui, penuh dengan ketegangan, air mata, dan amarah. Dan kini, perjalanan panjang itu sampai juga pada penghujungnya—sidang akhir penjatuhan hukuman untuk Angelina.

Namun di balik hiruk pikuk persidangan, ada luka lain yang lebih dalam, luka yang belum kunjung sembuh: Anna.

Sudah enam bulan lamanya Anna terbaring lemah di rumah sakit, terjebak dalam tidur panjang yang seolah tak berujung. Setiap hari Nicholas setia datang, duduk di kursi kecil di samping ranjang, menggenggam tangan kekasihnya yang dingin.

Dokter sudah berulang kali mengatakan bahwa luka-luka fisik Anna akibat kecelakaan telah pulih dengan baik. Luka jahitan di tubuhnya mengering, tulang yang patah pun sudah menyatu kembali. Tubuhnya seolah membaik, tetapi kesadarannya tak kunjung kembali. Setiap kali monitor di samping ranjang berbunyi stabil, keluarga hanya bisa menarik napas lega sejenak, namun hati mereka tetap dihantui satu pertanyaan: kapan Anna akan membuka matanya?

Enam bulan tanpa suara lembutnya, tanpa senyum hangatnya, membuat semua orang di sekitarnya hampir putus asa. Tetapi mereka memilih untuk bertahan.

Nicholas adalah orang yang paling terpukul. Sebagai calon suami Anna, ia merasakan luka itu paling dalam. Malam-malamnya dipenuhi doa dan bisikan lirih ke telinga Anna, seakan berharap satu kalimat darinya bisa menggerakkan jiwa yang tertidur. “Bangunlah, Sayang… aku di sini. Aku nungguin kamu.”

Meski begitu, bukan hanya Nicholas yang harus kuat. Jason, Mami Tania, Papi Aditama, nyonya Amanda, dan keluarga besar lainnya pun berusaha tegar. Mereka yakin bahwa Anna masih berjuang di balik tidurnya, bahwa suatu hari nanti ia akan kembali. Keyakinan itulah yang membuat mereka tetap berdiri tegak menghadapi persidangan, memastikan Angelina mendapat hukuman yang setimpal.

Hari ini, tepat enam bulan sejak Anna koma, sidang akhir akhirnya digelar. Semua orang hadir dengan hati berdebar. Bukan hanya untuk menyaksikan putusan hakim terhadap Angelina, tetapi juga untuk memberi penghormatan pada perjuangan Anna yang tak kunjung usai.

Ruang sidang dipenuhi wajah tegang. Nicholas duduk di barisan depan bersama Jason dan nyonya Amanda. Wajahnya tampak lebih tirus, matanya sayu, seolah enam bulan tanpa tidur nyenyak telah merenggut banyak hal dari dirinya. Namun sorot matanya tetap tajam ketika menatap kursi terdakwa.

Angelina masuk dengan langkah gemetar, tangan terborgol, wajahnya kusam jauh dari kecantikan angkuh yang dulu ia banggakan. Semua mata tertuju padanya, tetapi hanya ada dingin dan kebencian yang menyambut.

Ketukan palu hakim menggema, menandai dimulainya sidang akhir yang akan menentukan segalanya.

Hakim yang duduk di kursi tinggi memandang berkas di depannya dengan serius. Kacamata dibetulkan, lalu ia menatap sekilas ke arah terdakwa—Angelina. Perempuan itu menunduk, wajah pucatnya nyaris tanpa ekspresi. Seakan ia sudah pasrah, atau mungkin terlalu takut menghadapi kenyataan.

“Setelah melalui rangkaian sidang panjang, mendengarkan keterangan saksi, bukti-bukti yang diajukan, serta pledoi dari pihak terdakwa maupun jaksa penuntut umum,” suara hakim bergema mantap, “maka hari ini pengadilan memutuskan....”

Semua orang menahan napas. Nicholas menggenggam erat tangannya sendiri, buku-bukunya memutih. Jason melirik kedua orangtuanya, melihat betapa keras usahanya menahan emosi. Mami Tania menunduk sambil berdoa dalam hati, air mata sudah menggenang bahkan sebelum putusan dibacakan.

“....menyatakan terdakwa, Angelina, terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan atas perbuatannya. Oleh karena itu, menjatuhkan hukuman penjara selama dua puluh tahun.”

Suara palu diketukkan kembali, tiga kali berturut-turut.

Seketika ruangan meledak dengan berbagai reaksi. Ada yang bersorak kecil lega, ada yang menangis pelan, dan ada pula yang hanya terdiam dengan perasaan bercampur aduk. Nicholas menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar. Bukan karena bahagia, melainkan karena semua rasa—lega, marah, sedih—bercampur menjadi satu.

Angelina sendiri hanya menunduk tanpa suara. Tubuhnya goyah saat petugas menghampiri dan membawanya keluar dari ruang sidang. Tatapan kosongnya tak lagi menantang, justru terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan segalanya.

“Mami...” panggil Jason lalu memeluk ibunya dengan erat. “Kita bisa bernafas lega sekarang, pelakunya sudah dihukum berat.” ucap Jason lirih.

Namun mami Tania menggeleng, suaranya serak. “Nggak... mama masih belum lega. Selama adek belum bangun, rasanya semua ini belum selesai...”

Kata-kata itu membuat Papi Aditama terisak, menggenggam tangan istrinya erat. Mereka semua tahu, sekalipun Angelina sudah mendapat ganjaran, luka yang sebenarnya belum sembuh—karena Anna masih terbaring koma, terjebak dalam kegelapan tanpa tahu kapan kembali pada orang-orang yang mencintainya.

Ruang sidang mulai sepi, tapi di hati keluarga itu, perjuangan justru masih terus berlanjut.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!