Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.
Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.
Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Benih Romansa
Minggu-minggu berikutnya mengalir bagai sungai di musim semi—tenang namun penuh kehidupan baru. Setiap pagi, Zhao Liyun bangun sebelum fajar menyingsing. Ritualnya sederhana: menyalakan api unggun, merebus air, lalu merapikan gubuk kecilnya yang semakin berjiwa. Jejak kehadirannya telah mengubah ruang kosong ini menjadi rumah; seikat bunga liar di atas meja, tirai kain biru tua yang dijahitnya dari sisa kain, dan rak bambu sederhana untuk menyimpan rempah dan benih.
Suatu sore, saat Liyun sedang kesulitan mengangkut air dari sumur, bayangan panjang jatuh di sampingnya.
"Biarkan aku bantu."
Wu Shengli sudah berdiri di sana, kedua tangannya dengan sigap mengambil tong air dari genggamannya. Mata mereka bertemu sebentar—sebuah percikan diam-diam yang membuat Liyun menunduk, tiba-tiba sangat memperhatikan ujung sepatunya yang sudah usang.
"Kau tidak harus selalu membantuku," protesnya lemah, tapi hatinya bergetar hangat.
Shengli hanya tersenyum, bahu yang kokoh sudah mengangkat kedua ember air. "Jalan menuju rumahmu searah dengan tempatku memancing."
Itu alasan yang sama yang ia gunakan kemarin, dan tiga hari sebelumnya. Liyun tidak menolak lagi. Mereka berjalan berdampingan di jalan setapak yang dipagari rumput hijau baru, diiringi kicau burung pipit yang berlompatan di ranting-ranting pohon mulberry.
"Musim semi tahun ini terasa lebih hangat," ucap Shengli memecah kesunyian.
"Atau mungkin karena kita punya lebih banyak harapan," jawab Liyun tanpa berpikir. Begitu kata-kata itu terucap, ia sendiri terkejut. Di kehidupan sebelumnya, ia tidak akan pernah mengucapkan sesuatu yang begitu puitis.
Shengli memandangnya, ada cahaya lembut di matanya yang biasanya teduh. "Mungkin kau benar."
Sesampainya di gubuk Liyun, alih-alih langsung pergi, Shengli berdiri sebentar di depan kebun kecil yang baru dibajaknya. "Kau sudah menanam benih wortel?"
"Belum. Aku masih ragu apakah tanahnya sudah cukup subur."
"Biarkan aku lihat." Shengli membungkuk, mengambil segenggam tanah, menggosokkannya di antara jari-jarinya. "Tambahkan sedikit abu kayu, nanti aku antar yang dari tungku ibuku."
Liyun memperhatikannya—pria ini dengan tangan kasar yang begitu lembut memeriksa tanah, seolah-olah setiap gumpalan bumi adalah sesuatu yang berharga.
"Mengapa kau melakukan semua ini?" tanyanya akhirnya, suara hampir berbisik.
Shengli berbalik, wajahnya serius. "Karena kau pantas ditolong."
Tapi ada sesuatu lebih dari sekadar pertolongan dalam cara ia memandangnya—sebuah pengakuan diam-diam yang membuat Liyun tiba-tiba sadar betapa dekatnya mereka berdiri. Ia bisa melihat butiran keringat di pelipis Shengli, dan bagaimana mata hitamnya memantulkan bayangannya sendiri.
Percakapan mereka mengalir lebih mudah setelah hari itu. Shengli sering datang setelah matahari terbenam, duduk di bangku kayu depan gubuk Liyun sambil memperbaiki jala ikan atau membuat perangkap tikus. Liyun sibuk dengan pekerjaannya—memilah benih, memperbaiki pakaian, atau sekadar duduk menikmati senja—tapi kehadiran Shengli tidak terasa mengganggu. Justru, ruang itu terasa lebih lengkap dengan dia di sana.
Suatu malam, di bawah sinaran bulan sabit yang samar, Shengli bercerita tentang ayahnya—seorang nelayan yang hilang di danau saat badai sepuluh tahun lalu. "Ibuku bilang, dia pergi pada malam seperti ini, ketika bulan tersenyum tipis seperti alis wanita."
Liyun mendengarkan, tangannya berhenti memilah kacang hijau. Ini pertama kalinya Shengli bercicara tentang keluarganya.
"Aku berjanji tidak akan seperti dia—pergi dan meninggalkan orang yang mengandalkannya." Suara Shengli rendah tapi tegas, bagai sumpah yang diucapkan pada bintang-bintang.
Liyun menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat bocah laki-laki yang ditinggalkan di balik mata pria dewasa itu. "Kau tidak akan," katanya yakin.
Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman setelah itu, ditemani nyanyian jangkrik dan desau angin malam. Saat Shengli akhirnya berpamitan, langkahnya seakan enggan meninggalkan pelataran rumah Liyun.
"Besok ada pasar mingguan," katanya sambil berbalik di ujung jalan setapak. "Aku akan membawakanmu bibit terong jika kau mau."
"Aku mau," jawab Liyun cepat, terlalu cepat mungkin. Tapi ia tidak peduli.
Senyum Shengli merekah lebar di kegelapan, putih dan hangat. "Sampai besok, Liyun."
"Sampai besok, Shengli."
Setelah pintu tertutup, Liyun bersandar di baliknya, tangan menekan dada yang masih berdebar. Ini bukan lagi sekadar persahabatan atau sekutu—ini sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya, dan lebih indah.
Di atas tempat tidurnya, ia memandang bulan melalui celah jendela. Dalam novel asli, Zhao Liyun mati tanpa pernah merasakan kehangatan semacam ini. Tidak pernah ada pria yang memandangnya seperti Shengli memandangnya—seperti ia adalah sesuatu yang berharga, bukan sekadar karakter pendukung dalam cerita orang lain.
Tapi bersama dengan kehangatan itu, datang juga kegelisahan. Bagaimana jika semua ini hanya ilusi? Bagaimana jika takdir menemukan caranya untuk memperbaiki alur cerita yang telah rusak?
Angin malam berbisik melalui celah-celah dinding kayu, membawa serta aroma bunga melati yang mulai mekar. Liyun menutup mata, membiarkan harapan kecil itu bersemi di hatinya. Mungkin, hanya mungkin, ia berhak mendapatkan kebahagiaan ini—tidak sebagai karakter dalam novel, tapi sebagai Zhao Liyun yang seutuhnya.