Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dekapan Rayhan
Vania menatap tangan yang terasa lebih hangat dari hatinya. Bibirnya tak sanggup bertanya, ia masih menahan isak yang kian membuncah. Baru kali ini ia merasa senang dengan kedatangan Rayhan yang menariknya pergi, di saat kakinya begitu sulit untuk melangkah. Hatinya seperti di hujani puluhan belati, saat kata-kata Jalu kembali terulang dalam ingatannya.
Rayhan membukakan pintu mobilnya dan menyuruh Vania masuk ke dalam. Ia pun menurut, ia tak ada tenaga untuk menolak atau bertanya. Rayhan pun masuk dan melajukan mobilnya, meninggalkan kampus Jalu, walaupun sepertinya ia melupakan sesuatu yang tak ia perdulikan.
“Rayhan! Gue pulang gimana? Di tinggal beli makan malah gue di tinggal!” teriak Ali, yang melihat Rayhan melajukan mobil tanpa dirinya.
“Tapi ... tadi vania nangis? Apa gue salah liat” lanjutnya dengan menerka-nerka.
Dalam mobil, vania masih terdiam, walaupun bulir matanya terus mengalir tanpa henti. Rayhan menghela napas, lalu meminggirkan mobilnya.
“Sekarang lo bisa nangis sepuasnya, anggap gue gak ada.” Kata Rayhan, suaranya terdengar begitu lembut. Namun, tangannya menggenggam setir mobil dengan kuat sampai otot di lengannya menonjol. Ia menahan amarahnya yang tadi sempat menyaksikan Vania dan Jalu di taman, hingga tangis Vania yang membuatnya nekad menarik gadis itu pergi meninggalkan Jalu.
Vania menggeleng pelan, kepalanya terus menunduk, hingga bulir bening itu jatuh membasahi punggung tangannya yang mengepal kuat.
“Gak papa vania... lo bisa teriak, ngumpat atau nangis sepuasnya. Luapin semua emosi lo sekarang supaya hati lo lega. Lo boleh sedih, Van, gak masalah kalo lo nangis sekarang.”
Mendengar itu bahu Vania bergetar, tangis yang ia tahan sekuat tenaga pecah seketika. Air matanya jatuh tanpa henti, seperti hujan yang tak mengenal jeda.
“Sakit banget hati gue, Ray ...” lirih Vania, suaranya serak, parau, seolah setiap helaan napas terasa menyayat hatinya.
“Kenapa gue selalu mengharapkan hal yang tak bisa gue gapai? Kenapa gue selalu terlambat satu langkah?” lanjutnya, sambil meremas dadanya yang hancur bersama harapannya yang patah.
Rayhan mengepalkan tangannya, hatinya ikut teriris melihat gadis pujaannya menangisi pria lain. Ia ingin memeluk tubuh yang terlihat rapuh itu sekedar meringankan beban kepedihannya. Namun, ia urungkan niat itu, Rayhan tak ingin mengganggu Vania yang masih meluapkan segala emosinya.
“Dia hadir kembali ... tiba-tiba ... seolah ngasih kesempatan buat gue yang udah lama berhenti berharap. Gue yang bego atau dia yang kelewat gak peka?! Gue ngerasa dipermainkan! Walaupun ... gue tau dia gak pernah bermaksud begitu.” Ungkap Vania, tangisnya menggantung di setiap kata.
Rayhan mendengus kesal, kedua alisnya berkerut.
“Lo gak bego, Van. Umpat aja itu si Jalu biar lo puas. Ikutin gue— Jalu brengsek!”
Vania menatap dengan mata yang sudah sembab, wajahnya basah, ia mengusap seadaanya.
“Ayo, ikutin gue. Jalu! lo brengsek! Teriak yang keras!” desak Jalu, suaranya mantap.
“Emang ... boleh?” tanya Vania ragu, napasnya tersengal.
“Boleh! Santai aja, cuma gue yang denger. Ayo cepet.” Dorong Rayhan, memberi keberanian.
Vania terdiam, ia hirup napas dalam-dalam, lalu berteriak lirih. “Kak Jalu brengsek!”
“Kurang keras!”
“Kak Jalu lo brengsek!” Vania menaikkan suaranya.
Rayhan menyipitkan matanya dan menggeleng pelan. “Masih lemes, lo beneran lagi kesel ga sih?”
Mendadak Vania meledak. “JALU LO BRENGSEK! GAK PEKA! GUE BENCI LO! DASAR BAJINGAN! SIALAN LO JALU!” suaranya pecah, matanya terpejam kuat, dadanya naik turun menahan emosi yang meluap.
Rayhan terdiam, mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia tak menyangka Vania akan berteriak dengan begitu menggebu-gebu. Hampir saja ia tertawa, buru-buru kedua tangannya menutup mulut.
Vania menoleh cepat, sorot matanya tajam walaupun basah oleh air mata. “Kenapa lo ketawa? Kan lo yang nyuruh!” tanya Vania dengan napas yang masih sesegukan.
“Nggak kok.” Rayhan menggeleng cepat, mengatur kembali ekpresinya.
“Semua cowok memang sama saja, nyebelin!” tangis Vania kembali pecah, membuat Rayhan kebingungan. Apakah Vania menangis karena Jalu atau karenanya.
Tanpa pikir panjang, Rayhan menarik Vania dalam dekapannya. Ia biarkan gadis itu meluapkan tangis, meski ia harus menerima pukulan di dadanya. Tangan Rayhan terulur, mengusap lembut rambut panjang Vania, berharap belaian itu mampu meredakan amarah sekaligus kesedihan yang membuncah.
Keheningan tercipta cukup lama. Tangis Vania perlahan mereda, hingga isaknya benar-benar hilang. Rayhan melepas pelukan itu dengan hati-hati, lalu melajukan kembali mobilnya. Tak ada sepatah kata dari keduanya, mereka larut dalam pikiran masing-masing. Hening berubah menjadi canggung yang menyesakkan.
Entah karena pelukan tadi yang terlalu tiba-tiba, atau karena Vania masih mencoba menenangkan perasaannya sendiri.
Tak Lama, mobil kembali berhenti tepat di depan sebuah kafe. Rayhan turun begitu saja, meninggalkan Vania tanpa penjelasan apapun. Vania menatap kepergian Rayhan dengan dahi berkerut, bingung harus menunggu atau menyusul.
Beberapa saat kemudian, Rayhan kembali dengan tangan yang penuh dengan paper bag berisi dessert dan minuman.
“Ini. Lo bisa makan semuanya. Sorry ... gue udah meluk lo sembarangan. Anggap aja ini bentuk permintaan maaf gue, dan ... gue harap lo gak sedih lagi.” Ujar Rayhan sambil menyerahkan paper bag.
Vania menerimanya dengan ragu. “Buat gue semua? Lo gak mau?”
“Enggak, gue gak terlalu suka makanan manis. Cukup senyum manis lo yang gue suka.”
Vania sontak melirik tajam, tapi ujung bibirnya tak kuasa menahan senyum tipis. Mungkin itu cara Rayhan menghiburnya dengan sederhana.
“Oke, gue makan semua, yah. Thanks.” Ucap Vania pelan.
Mendengar itu, senyum Rayhan mengembang. Dadanya terasa lapang bisa melihat kembali senyum manis Vania, walaupun masih samar.
Mobil kembali melaju, hingga mereka sampai di depan rumah Vania. Di sepanjang perjalanan Rayhan menatap takjub gadis di sebelahnya yang sudah menghabiskan empat slice cake, dua cookies, dan dua gelas milk shake. Rayhan terkekeh pelan, bisa secara langsung menyaksikan mukbang dadakan dalam mobilnya.
“Kenapa?” tanya Vania terheran, ia menoleh dengan menyeruput minumannya hingga tuntas.
Rayhan mengangkat bahu dan tersenyum. “Gue seneng liat lo makan habis semuanya.” Katanya, menatap dalam mata bulat Vania,
Wajah Vania memerah, ia menunduk kikuk. “K—karena semuanya enak, tanpa sadar gue ngabisin semuanya.”
Rayhan mengangguk pelan. “Iya, lain kali gue beliin lagi.”
“Nggak perlu, gue bisa beli sendiri.” Buru-buru Vania membereskan sampah bungkusannya, dan meraih slim bagnya.
“Gue turun sekarang, sekali lagi ... makasih.”
Rayhan mengangguk pelan, matanya tak lepas menatap kepergian Vania, hingga sosoknya hilang di balik pintu. Ia bersandar di jok, menghela napas panjang, samar-samar senyumnya terbit di wajah tampannya. Rayhan merasa senang bisa hadir di saat Vania terpuruk.
Di sisi lain, Vania melangkah pelan memasuki kamar. Dadanya terasa lebih ringan dari sebelumnya. Luka di hatinya belum sembuh, namun ada sesuatu yang berubah hari itu. Entah bagaimana, Rayhan berhasil meninggalkan jejak hangat yang sulit ia tolak.
Bagus k, saya suka yg temanya sekolahan gini. jadi kangen masa” skolah 😄
aww gemes ih