NovelToon NovelToon
Jodoh Tak Akan Kemana

Jodoh Tak Akan Kemana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:328
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Asillah, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, selalu percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Ia tidak terlalu memusingkan urusan percintaan, fokus pada karirnya sebagai arsitek di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Namun, di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, pertanyaan tentang "kapan menikah?" mulai menghantuinya. Di sisi lain, Alfin, seorang dokter muda yang tampan dan idealis, juga memiliki pandangan yang sama tentang jodoh. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Jakarta, membantu orang-orang yang membutuhkan. Meski banyak wanita yang berusaha mendekatinya, Alfin belum menemukan seseorang yang benar-benar cocok di hatinya. Takdir mempertemukan Asillah dan Alfin dalam sebuah proyek pembangunan rumah sakit baru di Jakarta. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang desain rumah sakit, yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit. Namun, di balik perbedaan itu, tumbuhlah benih-benih cinta yang tak terduga. Mampukah Asillah dan Alfin mengatasi perbedaan mereka dan menemukan cinta sejati? Ataukah jodoh memang tidak akan lari ke mana, namun butuh perjuangan untuk meraihnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Identitas terungkap,pertemuan yg penuh tegangan,pengakuan yg mengguncang

Asillah dan Rian terkejut melihat wanita yang berdiri di hadapan mereka. Ternyata, (nama disensor) adalah Renata! Calon istri Dokter Alfin!

Asillah mematung, tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak menyangka Renata akan terlibat dalam masalah ini. Ia merasa bingung dan tidak mengerti.

"Renata? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Asillah dengan nada yang penuh kebingungan.

Renata menatap Asillah dengan tatapan yang penuh penyesalan. "Maafkan aku, Asillah. Aku tahu aku salah. Tapi, aku tidak punya pilihan lain," jawab Renata dengan suara yang bergetar.

"Salah? Salah apa? Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini," kata Asillah dengan nada yang semakin bingung.

Rian, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Renata, apa kau yang mengirim pesan misterius itu pada Asillah?" tanya Rian dengan nada yang tegas.

Renata mengangguk. "Iya, aku yang mengirim pesan itu. Aku ingin bertemu dengan Asillah dan menjelaskan semuanya," jawab Renata.

"Menjelaskan apa? Kenapa kau melakukan ini? Bukankah kau akan menikah dengan Dokter Alfin?" tanya Asillah dengan nada yang penuh emosi.

Renata terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Itu semua bohong, Asillah. Aku tidak akan menikah dengan Dokter Alfin," kata Renata.

"Bohong? Apa maksudmu?" tanya Asillah dengan nada yang semakin tidak mengerti.

"Aku hamil, Asillah. Tapi, bayi ini bukan anak Dokter Alfin," jawab Renata, air matanya mulai menetes.

Asillah dan Rian terkejut mendengar pengakuan Renata. Mereka tidak menyangka Renata akan mengatakan hal seperti ini.

"Apa? Jadi, bayi itu bukan anak Dokter Alfin? Lalu, anak siapa?" tanya Asillah dengan nada yang penuh rasa ingin tahu.

Renata terdiam lagi. Ia tampak ragu untuk menjawab pertanyaan Asillah.

"Katakan, Renata! Siapa ayah dari bayi itu?" desak Asillah dengan nada yang semakin penasaran.

Renata akhirnya membuka mulutnya dan mengatakan sebuah nama yang membuat Asillah dan Rian terkejut.

"(Daniel danuarta) adalah... (Daniel danuarta)," kata Renata dengan suara yang lirih.

Asillah dan Rian saling bertukar pandang. Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.

"(Daniel danuarta)? Tapi, bagaimana bisa? Bukankah dia...?" Asillah tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena terlalu terkejut.

"Iya, Asillah. (Nama ayah bayi) adalah... (penjelasan hubungan (Daniel danuarta) dengan Dokter Alfin)," jawab Renata, air matanya semakin deras mengalir.

Asillah merasa dunia di sekitarnya berputar. Ia tidak bisa mencerna semua informasi yang baru saja ia dapatkan. Ia merasa seperti sedang berada dalam sebuah mimpi buruk.

"Ini tidak mungkin! Ini pasti mimpi! Aku tidak percaya dengan semua ini!" teriak Asillah dengan nada histeris.

Rian mencoba menenangkan Asillah. "Tenang, Sil. Tarik napas dalam-dalam. Kita harus tenang dan mencari tahu kebenaran dari semua ini," kata Rian.

Asillah mencoba menenangkan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan.

"Oke, Renata. Sekarang, jelaskan semuanya padaku. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Asillah dengan nada yang lebih tenang.

Renata mulai menceritakan semua yang terjadi padanya. Ia menceritakan tentang hubungannya dengan (nama ayah bayi), tentang kehamilannya, dan tentang rencana pernikahan palsunya dengan Dokter Alfin.

Asillah dan Rian mendengarkan cerita Renata dengan seksama. Mereka merasa kasihan pada Renata. Mereka mengerti mengapa Renata melakukan semua ini.

"Jadi, Dokter Alfin tahu tentang semua ini?" tanya Asillah setelah Renata selesai bercerita.

Renata mengangguk. "Iya, Dokter Alfin tahu. Dia yang membantuku menyusun rencana ini. Dia ingin melindungi

"Jadi, Dokter Alfin tahu tentang semua ini? Dia yang membantumu menyusun rencana ini? Dia ingin melindungi reputasi keluarganya?" Asillah bertanya, suaranya bergetar antara marah dan terluka.

Renata mengangguk lemah, air mata terus membasahi pipinya. "Iya, Asillah. Maafkan aku. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak punya pilihan lain. Keluargaku dan keluarga Alfin sangat terpandang. Skandal ini bisa menghancurkan mereka."

Rian menghela napas berat. "Jadi, selama ini kami semua dibohongi? Dokter Alfin tega melakukan ini padamu, Renata? Dia memanfaatkanmu untuk menutupi aib keluarganya?"

Renata menunduk, tidak berani menatap Rian. "Dia memang salah, tapi dia juga dalam posisi sulit. Keluarganya sangat menekan dia."

Asillah tertawa sinis. "Posisi sulit? Lalu, bagaimana denganku? Apa dia tidak memikirkan perasaanku saat dia merencanakan semua ini? Dia tahu aku mencintainya, tapi dia malah menikahi wanita lain, meski itu hanya pura-pura!" Mulut Asillah mulai "licin", kata-kata pedas meluncur begitu saja.

"Asillah, kumohon, jangan salahkan Alfin sepenuhnya. Aku juga bersalah. Aku yang memintanya untuk membantuku," sela Renata, berusaha membela Dokter Alfin.

"Kau memintanya? Lalu, apa dia tidak punya otak untuk berpikir jernih? Dia seorang dokter, seharusnya dia tahu mana yang benar dan mana yang salah!" Asillah semakin geram, emosinya meluap-luap.

Rian mencoba menenangkan Asillah. "Sudah, Sil. Jangan marah-marah lagi. Kita sudah tahu kebenarannya. Sekarang, yang penting adalah bagaimana kita menyelesaikan masalah ini."

Asillah menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosinya. "Kau benar, Rian. Maafkan aku, Renata. Aku tidak seharusnya marah padamu. Kau juga korban dalam situasi ini."

Renata mengangkat wajahnya dan menatap Asillah dengan tatapan penuh terima kasih. "Terima kasih, Asillah. Aku sangat menghargai pengertianmu."

"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang, Renata? Apa kau akan tetap melanjutkan pernikahan palsu ini?" tanya Asillah.

Renata menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak bisa melanjutkan kebohongan ini. Aku akan mengatakan yang sebenarnya pada semua orang. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku," jawab Renata dengan nada yang lebih tegar.

"Itu keputusan yang tepat, Renata. Aku akan mendukungmu," kata Asillah.

"Aku juga," timpal Rian.

Renata tersenyum lega. "Terima kasih, teman-teman. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kalian."

Asillah memeluk Renata dengan erat. "Kau tidak sendirian, Renata. Kami akan selalu ada untukmu."

Setelah berpelukan, mereka bertiga duduk bersama dan membahas tentang rencana selanjutnya. Mereka sepakat untuk mengungkap kebenaran pada keluarga masing-masing dan pada publik.

"Ini akan menjadi sulit, tapi kita harus melakukannya. Kebenaran harus diungkapkan," kata Asillah dengan nada yang penuh tekad.

"Aku setuju," kata Rian dan Renata serempak.

Setelah merencanakan semuanya, Asillah dan Rian pamit pada Renata. Mereka berjanji untuk terus memberikan dukungan padanya.

Saat keluar dari rumah Renata, Asillah merasa lega. Beban berat yang selama ini membebani pikirannya akhirnya terangkat.

"Akhirnya, semuanya jelas. Aku tidak perlu lagi merasa bingung dan penasaran," kata Asillah sambil tersenyum.

"Kau benar, Sil. Tapi, perjalanan kita belum selesai. Kita masih harus menghadapi konsekuensi dari semua ini," kata Rian.

"Aku tahu. Tapi, aku siap menghadapinya. Aku tidak takut lagi," jawab Asillah dengan nada yang penuh keyakinan.

Mereka berdua kemudian berjalan menuju mobil dan meninggalkan rumah Renata. Mereka siap menghadapi masa depan, apapun yang terjadi.

Namun, di dalam hati Asillah, masih ada sedikit rasa sakit dan kekecewaan. Ia merasa kecewa pada Dokter Alfin. Ia tidak menyangka pria yang

Saat mereka berjalan menuju mobil, Asillah tiba-tiba berhenti dan menatap langit. "Eh, tapi tunggu deh," katanya, dengan nada berpikir keras.

Rian menoleh, bingung. "Tunggu apa? Ada yang ketinggalan?"

"Bukan ketinggalan, tapi... kurang afdol rasanya kalau kita nggak 'nyapa' Dokter Alfin dulu," jawab Asillah, dengan senyum licik yang mulai menghiasi wajahnya. Mulut licinnya sudah siap beraksi.

Rian mengernyitkan dahi. "Maksudmu? Kau mau menemuinya? Sekarang? Sil, jangan cari masalah lagi deh. Kita sudah cukup pusing dengan semua ini."

"Siapa yang cari masalah? Aku cuma mau mengucapkan 'terima kasih' secara langsung atas drama yang sudah dia ciptakan. Masa' iya kita pergi gitu aja? Nggak sopan dong," jawab Asillah, dengan nada polos yang dibuat-buat.

Rian memutar bola matanya. Ia tahu betul apa yang ada di pikiran Asillah. "Oke, oke. Aku tahu kau cuma mau menyindirnya habis-habisan kan? Ayolah, Sil. Jangan kekanak-kanakan."

"Enak aja kekanak-kanakan! Ini namanya membela diri! Lagian, aku cuma mau meluruskan beberapa hal yang mungkin masih belum dia pahami," balas Asillah, dengan nada membela diri. "Misalnya, tentang betapa bodohnya dia karena sudah menyia-nyiakan berlian demi sebongkah batu kerikil."

Rian tertawa kecil. "Oke, Nona Berlian. Terserah kau saja. Tapi ingat, jangan sampai kebablasan. Jangan sampai kau menyesal nanti."

"Siap, Bos! Aku janji akan bersikap 'santun' dan 'beradab'," jawab Asillah, sambil mengacungkan jempol. Tapi, senyum liciknya mengisyaratkan hal yang sebaliknya.

Mereka berdua kemudian menuju rumah Dokter Alfin. Sesampainya di sana, Asillah langsung mengetuk pintu dengan keras.

"Dokter Alfin! Buka pintunya! Ada tamu spesial yang ingin mengucapkan selamat atas pernikahannya!" teriak Asillah, dengan nada yang sengaja dibuat keras dan penuh sindiran.

Setelah beberapa saat, pintu terbuka. Dokter Alfin muncul dengan wajah yang pucat dan lesu. Ia tampak terkejut melihat Asillah dan Rian berdiri di depan rumahnya.

"Asillah? Rian? Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Dokter Alfin dengan nada gugup.

"Kami cuma mau mengucapkan selamat, Dokter. Selamat atas pernikahan palsunya dan selamat karena sudah berhasil mempermainkan perasaan banyak orang," jawab Asillah, dengan senyum manis yang palsu. Mulut licinnya mulai beraksi.

Dokter Alfin menelan ludah. Ia tahu Asillah sudah mengetahui segalanya. "Asillah, kumohon, jangan membuat keributan di sini. Aku bisa jelaskan semuanya," kata Dokter Alfin.

"Menjelaskan apa? Bahwa kau adalah pria pengecut yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya? Atau bahwa kau adalah boneka keluarga yang rela melakukan apa saja demi menjaga nama baik mereka?" Asillah terus menyerang dengan kata-kata pedasnya.

Dokter Alfin terdiam, tidak bisa membantah. Ia tahu Asillah benar.

"Sudahlah, Alfin. Tidak ada gunanya kau berbohong lagi. Semuanya sudah terbongkar," sela Rian.

Dokter Alfin menatap Rian dengan tatapan yang penuh penyesalan. "Maafkan aku, Rian. Aku tahu aku salah. Aku sudah mengecewakanmu dan Asillah."

"Maafmu tidak berarti apa-apa, Alfin. Kau sudah menyakiti banyak orang. Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu," kata Rian dengan nada tegas.

Asillah mengangguk setuju. "Benar, Dokter. Kau harus berani menghadapi konsekuensi dari semua ini. Jangan terus bersembunyi di balik ketiak keluargamu."

Dokter Alfin menghela napas panjang. "Aku tahu. Aku akan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku akan meminta maaf pada semua orang dan aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku."

"Bagus. Itu baru namanya laki-laki," kata Asillah, dengan nada yang sedikit melembut. "Tapi ingat, Dokter. Jangan pernah lagi kau mempermainkan perasaan wanita. Karma itu nyata."

Setelah mengatakan itu, Asillah berbalik dan berjalan meninggalkan rumah Dokter Alfin. Rian mengikuti dari belakang.

Saat mereka berjalan menuju mobil, Asillah tersenyum lega. "Akhirnya, aku bisa melampiaskan semua kekesalanku. Sekarang, aku bisa move on dengan tenang," kata Asillah.

"Kau memang hebat, Sil. Kau berhasil membuatnya sadar," kata Rian sambil tersenyum bangga.

"Hehe... itu

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!