“Oke. Tapi, there's no love and no *3*. Kalau kamu yes, saya juga yes dan serius menjalani pernikahan ini,” tawar Linda, yang sontak membuat Adam menyeringai.
“There’s no love? Oke. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Karena saya juga tidak mungkin bisa jatuh cinta padamu secepat itu. Tapi, no *3*? Saya sangat tidak setuju. Karena saya butuh itu,” papar Adam. “Kita butuh itu untuk mempunyai bayi,” imbuhnya.
***
Suatu hari Linda pulang ke Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan sepupunya, Rere. Namun, kehadirannya itu justru membawa polemik bagi dirinya sendiri.
Rere yang tiba-tiba mengaku tengah hamil dari benih laki-laki lain membuat pernikahan berlandaskan perjodohan itu kacau.
Pihak laki-laki yang tidak ingin menanggung malu akhirnya memaksa untuk tetap melanjutkan pernikahan. Dan, Linda lah yang terpilih menjadi pengganti Rere. Dia menjadi istri pengganti bagi pria itu. Pria yang memiliki sorot mata tajam dan dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tianse Prln, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Yang Memilih
Suara burung dari luar jendela menyusup pelan ke dalam kamar. Cahaya matahari pagi menembus tirai, menciptakan garis-garis hangat di lantai marmer. Linda membuka matanya perlahan, tubuhnya masih membelakangi Adam.
Ia terdiam beberapa saat, mencoba mengingat apakah kejadian semalam benar-benar terjadi atau hanya mimpi samar. Tapi rasa hangat di pipinya, dan detak jantung yang sempat berlari kencang, mengingatkannya bahwa itu nyata.
Adam sudah bangun. Dia duduk di tepi ranjang, mengenakan piyama abu-abu. Tangannya memegang ponsel, tapi matanya tak fokus. Ia seperti sedang menimbang sesuatu.
Linda bangkit perlahan, duduk bersandar di kepala ranjang. Rambutnya masih sedikit berantakan, tapi wajahnya tetap tenang.
Adam menoleh ketika merasakan pergerakan di belakangnya.
“Kamu sudah bangun,” katanya pelan.
Linda mengangguk. “Pagi,” sapanya, dengan nada canggung.
“Pagi,” balas Adam, lirih.
Keheningan kembali menyelimuti mereka setelah sapaan singkat itu. Kini yang terdengar hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas.
Adam mencoba membuka obrolan lagi, tapi kali ini dengan nada lebih hati-hati. “Tentang semalam.…”
Linda menatapnya, menunggu Adam melanjutkan kalimatnya.
“Aku… aku nggak bermaksud buat kamu nggak nyaman,” lanjut Adam. “Aku pikir kamu sudah tidur.”
Linda menarik napas pelan. “Aku belum tidur,” jawabnya.
“Iya. Tapi, kalau pun kamu udah tidur, aku enggak pernah terpikirkan melakukan sesuatu tanpa izin dari kamu,” ujar Adam.
Linda menatap dengan pandangan skeptis. Adam berkilah kalau dia tidak akan melakukan apa pun pada dirinya tanpa izin. Tapi semalam, jelas sekali Adam mencium tanpa permisi, melakukannya di saat Linda sedang mencoba untuk tidur, itu benar-benar membuat Linda syok hingga kesulitan untuk tidur. Hampir semalaman Linda terjaga.
“Terus kenapa semalam kamu melakukannya tanpa izin dariku?”
Pertanyaan itu membuat Adam terdiam. Ia menatap ponsel yang masih ada di tangannya, seolah berharap jawabannya ada di dalam ponsel tersebut.
“Aku tidak tahu,” kata Adam, seolah kehilangan kata-kata dalam benaknya. Dia sendiri tidak mengerti kenapa semalam tiba-tiba naluri untuk mencium Linda hadir begitu saja. “Mungkin karena akhir-akhir ini aku merasa... nyaman sama kamu....”
Linda tercenung mendengarnya. Kalimat itu mungkin sepele, tapi terdengar seperti sebuah ungkapan perasaan yang membuat Linda bingung harus menanggapi apa.
“A-aku mau ke kamar mandi,” ujar Linda tiba-tiba bangkit dari ranjang. “Kebelet pipis,” ucapnya, langsung berlari menuju kamar mandi.
Gelagat Linda jelas sekali menunjukkan bahwa dia sedang salah tingkah. Tapi Adam yang juga sedang merasa dag dig dug tidak dapat menangkap sinyal dari Linda bahwa gadis itu tersipu dengan kata-katanya tadi.
Pagi itu, meski masih canggung, mereka mulai membuka pintu kecil menuju kejujuran. Bukan cinta yang meledak tiba-tiba, tapi sesuatu yang tumbuh perlahan, seperti cahaya matahari pagi yang menyusup pelan lewat celah tirai.
***
Suara telepon berdering memecah keheningan pagi. Pak Tristan mengangkatnya dengan malas, masih mengenakan sarung dan kaus oblong. Tapi wajahnya berubah seketika setelah mendengar suara dari seberang.
“Om... Zaka udah nggak ada di rumahnya. Kemungkinan dia kabur. Orang tua dan keluarganya juga enggak ada yang tau kalau kamarnya udah kosong, semua barang-barangnya juga enggak ada.”
Pak Tristan terdiam. Napasnya tercekat seketika. Tangannya gemetar saat menutup telepon dari Rizki.
“Mi... Umi!” panggilnya dengan raut panik.
“Ada apa, Pak?”
“Zaka... kabur, Mi.”
Bu Lastri yang sedang menyiapkan teh di dapur langsung menghentikan gerakannya.
“Apa maksudnya kabur?”
“Dia pergi. Nggak ada jejak. Nggak ada tanggung jawab.” Pak Tristan terlihat sangat frustrasi, tangannya mengepal, penuh emosi.
Rere yang duduk di ruang tengah langsung datang mendekat.
“Siapa yang kabur?” Suaranya nyaris tak terdengar.
“Siapa lagi kalau bukan laki-laki yang kamu pilih,” tukas Pak Tristan. “Hancur, Re. Bener-bener hancur nama baik keluarga kita. Sekarang siapa yang mau bertanggung jawab atas kehamilan kamu?! Laki-laki yang menghamilimu sudah pergi entah ke mana.”
“Nggak. Enggak mungkin Zaka pergi. Ayah pasti salah dengar, kan?”
Pak Tristan menatap putrinya tajam. “Kamu pikir untuk apa ayahmu ini berbohong?! Sudah jelas kan, dari awal dia sudah bilang sendiri kalau dia bahkan nggak pernah benar-benar mencintaimu, Rere.”
Tubuh Rere melemas. Ia jatuh terduduk di lantai, tangannya memegangi perutnya yang mulai membesar. Air matanya mengalir deras.
Bu Lastri berlari menghampiri, memeluk putri semata wayangnya erat.
“Sabar, Nak... sabar....”
Pak Tristan menggeleng, suaranya mulai meninggi.
“Sabar? Kita ini keluarga terpandang. Aku dihormati banyak orang di kampung ini, Las! Dan sekarang semua orang membicarakan keluarga kita di belakang kita. Semua itu karena dia!” Dengan kesal Pak Tristan menuding Rere yang masih menangis.
“Ayah, jangan salahin aku terus...,” ujar Rere di sela isak tangisnya. “Aku cuma... aku cuma nggak mau dijodohkan. Aku pikir Zaka akan....”
“Menikahi kamu? Menerima anak yang kamu kandung?” Pak Tristan tertawa sinis. “Dia bahkan nggak punya perasaan sama kamu. Kamu itu bodoh. Sudah benar orang tuamu menjodohkanmu dengan pria mapan dam sempurna seperti Adam. Tapi kamu malah menghancurkan semuanya, Re.”
‘Aku pikir cinta bisa aku paksakan. Aku pikir kalau aku cukup nekat, aku bisa mengubah takdir. Tapi ternyata, cinta nggak pernah bisa dipaksakan. Dan takdir... kadang datang dalam bentuk penyesalan.’ Batin Rere bergemuruh penuh penyesalan. Andai waktu bisa diputar, mungkin dia tidak akan mengulangi hal bodoh yang membuatnya dan keluarganya menanggung malu seperti ini.
***
Langit sore di luar jendela kantor tampak kelabu, seolah ikut meresapi kesibukan yang menumpuk di meja kerja Linda. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mencoba menyelesaikan laporan sebelum tenggat waktu. Fokusnya tak tergoyahkan, hingga suara dering ponsel memecah keheningan.
Linda mengerutkan kening. Ia melirik layar ponsel yang menyala di samping mousepad. Nama itu muncul begitu saja, seperti khayalan yang tak pernah benar-benar hilang.
Zaka.
Nama itu membuat jantung Linda berdegup tak beraturan. Tangannya sempat terhenti. Napasnya tertahan. Linda sempat ragu untuk menerima panggilan itu, sebelum akhirnya dia meraih ponsel.
Pria itu dulu mengisi ruang-ruang kecil dalam hatinya sejak masa SMA. Mereka tak pernah benar-benar dekat, tapi cukup untuk membuat Linda menaruh harapan. Dia pernah membayangkan mengenakan gaun pengantin, berdiri di samping Zaka, tersenyum di pelaminan. Tapi semua itu hancur. Harapan yang sudah lama dia bangun telah runtuh.
Linda kini adalah istri Adam. Menikah dengan laki-laki itu bukan karena cinta, tapi karena keadaan. Semua karena pernikahan Adam dengan Rere gagal di detik terakhir. Di depan penghulu, Rere mengumumkan bahwa dia mengandung anak Zaka. Semua orang terdiam. Termasuk Linda, yang saat itu hanya tamu undangan, tapi berakhir pulang sebagai pengantin, pengganti.
Linda tidak pernah menyalahkan Adam. Dia tahu betul bahwa mereka berdua adalah korban dari badai yang sama. Dan sejak hari itu, Linda berusaha menjadi istri yang baik. Bahkan perasaan itu perlahan tumbuh tanpa bisa Linda tolak, meski hatinya belum sepenuhnya utuh untuk Adam.
Tapi sekarang, tiba-tiba Zaka menelepon, muncul setelah membuat hatinya sempat hancur.
Linda menatap layar ponsel. Jantungnya berdetak tak beraturan. Ia tahu, menjawab panggilan itu bisa membuka luka lama. Tapi ia juga tahu, ia tak bisa menolak panggilan dari Zaka.
Dengan jemari gemetar, Linda menekan tombol hijau, menerima panggilan tersebut.
Dan suara itu terdengar.
“Halo, Linda.…” Suara itu terdengar ragu, seperti seseorang yang tahu ia tak lagi punya hak untuk bicara.
Linda diam. Menunggu Zaka melanjutkan kalimatnya.
“Aku… aku sekarang ada di Jakarta. Bisa kita ketemu?”
Linda tertegun. Dia ada di Jakarta? Kenapa?
“Ada perlu apa tiba-tiba kamu mau bertemu denganku, Ka?” Suara Linda terkesan dingin, tapi tak sepenuhnya tegas.
Zaka terdiam sejenak, mungkin dia cukup kaget dengan sikap Linda yang berubah. “Aku cuma… ingin kita bicara. Ada hal yang ingin aku katakan. Ini tentang kita. Aku yakin kamu ingat tentang apa yang aku katakan hari itu.”
Linda menatap jendela. Matahari semakin tenggelam. Di dalam dirinya, perasaan bimbang mulai berperang.
“Aku sudah menikah, Ka,” ucapnya pelan.
“Aku tahu,” jawab Zaka. “Justru karena itu aku ingin bicara denganmu, Lin.”
Linda menggenggam ponselnya erat. Ia tak tahu keputusan apa yang akan dia pilih.