Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Salah Kami, Kenapa Kami yang Harus Menanggung?
Parmin dan Imam terdiam, mereka takut dan memilih permisi pada si mbok. Tapi, Melati yang belum selesai memanggil mereka.
"Aku belum selesai bicara, heh, kalian!" seru Melati
Parmin yang tak menyukai nada bicara Melati itu berbalik badan. "Memang kenyataan, buktinya setelah Juragan nggak ada, usaha keluarga kalian bangkrut, mungkin kalian lupa ngurusin pesugihan itu sampai akhirnya semua jadi begini!" ucapnya, dan Imam yang melihat sorot mata Melati yang tajam itu merasa khawatir, dia pun mengingatkan temannya untuk tidak menanggapinya lagi.
"Biar aja, Mam. Kita juga udah lama nggak dibayar, mungkin itu juga yang bikin mobilnya di curi, karena dia nggak ngasih hak kita!"
"Diam kalian, kalian pikir saya mau berhutang, kalau kalian becus kerjanya juga nggak akan bangkrut, ini karena kalian nggak becus kerja!" bentak Melati.
"Sombong banget! Urusin aja tuh adikmu, dia ngomong sendiri terus, jangan-jangan dia yang bakal jadi tumbal selanjutnya!" kata Parmin dan sekarang mereka berdua meninggalkan rumah Drajat dengan tangan kosong.
Melati kesal, dia pun melemparkan tongkatnya, kemudian berjalan dengan menyeret kakinya, duduk ke kursi kayu yang tersedia di teras.
Gadis berambut lurus panjang sebahu itu menangis, dia memalingkan wajahnya tak mau menatap si mbok yang berdiri di dekat pintu, memperhatikannya.
"Dimana Muning?" tanya Melati tanpa menoleh.
"Tadi ada di kamar, Non," sahut si mbok.
Lalu, Melati bangun dari duduk, dia pergi mencari Kemuning yang ternyata ada di belakang rumah, sedang berjongkok di pintu dapur sedang mengobrol sendiri.
Melati mendekat pelan, langkahnya berat, tapi matanya tak lepas dari adiknya.
“Muning," panggilnya lirih.
Kemuning menoleh setengah, senyum tipis muncul, seolah ia sedang bersama seseorang. “Kak, dia bilang ibunya hilang, pergi belum pulang," ucapnya pelan, matanya tak fokus, seperti berbicara pada udara.
Melati merinding. “Siapa yang bilang?”
Kemuning menunjuk ke arah kosong di sampingnya. “Si Mas.”
Melati spontan menarik adiknya berdiri. “Jangan dengarkan dia! Nggak ada siapa-siapa di sini!” bentaknya, meski suaranya bergetar dia mencoba menyembunyikan perasaan takutnya.
Kemuning tertawa kecil, lalu menatap kakaknya. “Kalau nggak ada, kenapa dia masih duduk di situ, dia lagi nunggu ibunya.”
Melati menoleh cepat ke arah yang ditunjuk Kemuning, tapi tak ada apa-apa, hanya pintu dapur yang setengah terbuka dan suara angin dari halaman belakang.
Si mbok yang berdiri di ujung lorong menelan ludah. “Non, mbok rasa, Non Muning nggak sendirian di situ.”
Melati segera menarik Kemuning, memposisikan tubuhnya sebagai tameng. Matanya tak beralih dari sudut ruangan yang tadi ditunjuk adiknya.
“Dengarkan aku!” suaranya rendah namun penuh amarah, “pergi dari sini, atau aku singkirkan kamu!” bentaknya, menatap tajam ke arah kosong itu.
“Mbak, jangan bilang begitu,” suara Kemuning bergetar, matanya masih terarah ke pintu itu. “Si Mas ketakutan, Muning nggak mau dia nangis atau sedih,”
“Cukup!” Melati mendesis, muak dengan sikap adiknya. Ia mencengkeram pipi Kemuning, memaksa wajahnya menghadap pintu. “Lihat! Kamu lihat apa di sana?! Ada siapa?! Nggak ada siapa-siapa! Berhenti bertingkah gila seperti ini! Aku muak! MUAK!” teriaknya, lalu menyeret adiknya dengan kasar menuju kamar.
Pintu kamar dibanting hingga bergetar. “Kamu nggak usah ke mana-mana! Di sini terus sampai kamu sadar kalau apa yang aku katakan itu benar!” ucapnya dingin, mengunci pintu rapat-rapat.
“Non, apa nggak terlalu berlebihan?” tanya si mbok pelan, suaranya terdengar penuh kegelisahan.
“Urus saja urusan mbok! Muning biar aku yang didik!” balas Melati, nadanya meninggi, nyaris seperti orang yang kehabisan kesabaran.
Si mbok hanya bisa menghela nafas panjang. Dalam hati, ia bergidik. Ada sesuatu yang berbeda dari Melati, bukan hanya sikapnya, tapi juga tatapan matanya yang sekarang dipenuhi kebencian.
Si mbok masuk ke kamar Drajat, dia menatap foto juragannya yang terpajang di dinding kamar itu.
"Juragan, aku sudah lelah, sikap Non Melati membuatku menyerah," tangisnya, dia segera mengusap air mata itu, merasa kecewa dengan Melati.
"Tapi, kenapa aku kecewa? Atau karena aku terlalu berharap? Berharap kalau dia akan menganggap aku ibunya sendiri?"
Saat itu, si mbok mendengar suara yang berbisik kembali memanggilnya, itu dari arah botol yang semalam dia simpan.
Lalu, si mbok berjalan ke arah botol itu, dia mengambilnya dan tau harus menyimpannya dimana.
Si mbok membawanya ke gudang, dia memasukkannya ke dalam peti, lalu mengubur peti itu di sana.
Begitu peti terkubur, senja mulai turun.
Di luar, Melati melangkah sendirian menyusuri jalan tanah yang mengarah ke sawah. Udara sore terasa lembab, bau lumpur dan batang padi kering menusuk hidung. Pandangannya menyapu hamparan sawah yang memutih oleh hama, batang-batangnya rebah, tak ada satu pun yang layak dipanen.
Tangannya mengepal. “Begini terus, lama-lama habis kita,” gumamnya lirih, tapi matanya tetap dingin, seolah sedang menghitung sisa waktu sebelum segalanya runtuh.
Tak ada harapan, Melati berpikir untuk meminta bantuan sang kakek di desa sebelah.
Dengan kaki pincangnya, dia mulai berjalan seorang diri, menembus jalan setapak yang sepi. Tak ada satu pun dari mereka yang menoleh apalagi menyapa. Mereka tidak menganggap Melati ada.
Menyedihkan, jika orang tuanya yang salah, lalu kenapa anak-anaknya yang harus menanggung karma.
Padahal Kin sudah terkurung, tapi kesialan demi kesialan seolah tidak ada habisnya. Bagaimana Melati dan Kemuning bisa lepas dari semua ini. Dari karma yang tak pernah dia perbuat.
Ba’da maghrib, Melati sampai di rumah kakeknya. Cahaya lampu bohlam menyemburat dari balik pintu, namun sambutannya tak sehangat yang ia harapkan.
“Ada apa kamu ke sini?” suara sang kakek terdengar datar. Ia berdiri di tengah pintu, tidak mempersilakan masuk, bahkan untuk sekadar duduk di kursi teras.
Melati berdiri kikuk, diperlakukan persis seperti seorang pengemis.
“Kakung, Melati mau minta bantuan,” ucapnya lirih.
“Bantuan apa? Memangnya semua harta orang tuamu sudah habis?” tanyanya ketus.
Melati tersenyum tipis, menatap pria tua berblangkon itu.
“Bukannya Mbah Kakung juga orang tua kami?”
“Nggak usah bertele-tele. Langsung saja, apa tujuanmu kemari. Jangan lama-lama di sini, kami nggak mau ketiban sial.”
Deg. Ucapannya seperti pedang yang menghujam jantung Melati.
Wajahnya tertunduk. Di antara malu dan sedih, ia mulai melangkah pergi tanpa permisi, tak lagi memperdulikan apa itu sopan.
Melati pulang dengan perut keroncongan, saat itu seseorang menghampirinya, dia adalah Arman yang baru pulang dari masjid.
"Hai, itu kamu lagi," kata Arman seraya turun dari sepedanya, dia berjalan mengiringi langkah Melati, gadis itu hanya diam, memalingkan wajahnya karena tak ingin Arman melihatnya menangis.
Melati mengusap matanya yang basah, kemudian mengangguk pelan.
"Dari mana atau mau kemana, nih?" tanya Arman sesekali menoleh ke arah Melati.
"Mau pulang," jawab Melati singkat dan entah kenapa ada yang berdesir di dalam darahnya, dia juga merasa malu dan gugup.
"Ayo, ku antar pulang!" ajaknya dan Melati menggeleng.
"Nggak usah, aku takut kamu ketiban sial!" jawab gadis itu, Melati mempercepat langkahnya, dia berusaha meninggalkan Arman dengan langkah yang pincang, berharap bisa mendahului pria itu.
Namun, kenyataannya tak seperti harapan Melati, pria itu berjalan santai dengan mendorong sepedanya. "Ketiban sial?" Dia mengulangi perkataan Melati.
"Ya, semua yang dekat sama aku, mereka akan ketiban sial!"
"Boleh aku buktikan?" tanya Arman seraya menatap Melati, menunggu jawaban.
"Caranya?" Melati bertanya dengan nada keheranan.
"Izinkan aku dekat sama kamu," jawab Arman, dia juga tersenyum manis dan baru kali ini Melati melihat senyum yang begitu tulus, selain senyum dari almarhumah ibunya.
Tanpa terasa, senyum manis tersungging di bibir Melati membuat aura kecantikannya semakin terpancar di bawah terang rembulan.
Tapi, Melati segera menggulung senyum itu, dia tak ingin pria sebaik Arman ketiban sial karenanya.
"Jangan main-main. Aku serius! Seluruh penduduk kampung sudah tau itu!" ucap Melati dengan serius walau dijawabi senyuman oleh pria itu.
Apakah benar kekhawatiran Melati akan terjadi?
Lanjut?? Lanjut ke bab selanjutnya ya, jangan lupa like dan komentar, okey. 😇