Seorang Punggawa mengharapkan sebuah arti kehidupan rakyanya yang penuh dengan kemakmuran. Banyak bahaya dan intrik di sana.
Simak ceritanya......Petuah Tanah Leluhur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB III TIWIKRAMA SANG KSATRIA
Setelah kembali dari tempat pekuburan Ki Bugulun, Raden Singgala dan beberapa Punggawa kembali ke pendopo. Di pendopo itu para Punggawa sekalian berpamitan dengan Nyai Bengkalis. Namun Raden Singgala tidak ikut kembali bersama mereka. Raden Singgala telah jatuh hati kepada Nyai Bengkalis. Para Punggawa kembali ke Kerajaan , sementara Raden Singgala dan beberapa temannya seperti Mandala Jati , Jali Kendra dan Sukma Wenang tidak turut bersama mereka. Mereka menetap di Cikeusik hingga akhir hayat.
Rasa cinta yang begitu mendalam dari seorang Raden Singgala membuat hatinya begitu berharap terhadap Nyai Bengkalis. Untuk mewujudkan semua itu, dirinya menjalankan apa yang dinamakan Tiwikrama, yaitu mengeluarkan sukma dari raga. Malam itu ia menjalankannya.
Dalam Tiwikrama Raden Singgala tersebut , ia melakukan posisi Sidakepsinuku tunggal. Sebagai ksatria yang tinggi ilmunya , ia dengan mudah melakukan itu. Tubuhnya diam tak bergeming, namun sukmanya keluar dan melesat secepat kilat. Sukma itu menuju ke sebuah tempat Pertapa di Bukit Sindur, dengan sekejap sukma itu sudah berada di depan seorang pertapa yakni Resi Wiguna.
" Sampurasun Ki, saya Singgala menghadap Panjenengan dengan tujuan untuk menyampaikan hati yang gundah gulana akibat seorang wanita yang begitu rupawan, namanya Nyai Bengkalis, mohon bantuannya Ki," kata sukma Singgala.
Resi Wiguna hanya diam sambil mengamati sukma Singgala. Dalam diri seorang Resi tidak mudah percaya begitu saja. Beliau mengamati setiap relung hati muridnya itu. Kemudian setelah beberapa saat, Resi itu mengeluarkan sebuah benda yang ditengahnya terdapat cermin kecil dengan sekejap, benda itu dimasukkan kembali, lalu dikelurkan sebuah senjata dengan bentuk Trisula, dan benda itu diberikan kepada Singgala.
" Ini yang harus kau bawa sebagai senjata perlindungan dan jangan sampai ke tangan orang lain , kalau sampai ke tangan orang lain, itu bisa bahaya bagi tanah Cikeusik," kata Resi Wiguna.
Setelah menerima pemberian Resi Wiguna , sukma Singgala berpamitan dan melesat kembali menuju raganya. Dalam sekejap sukma itu telah kembali ke raga Singgala. Tubuh yang terdiam itu bergerak dan memandang sekeliling, tampak dua orang temannya sedang duduk sambil menikmati minuman yang sudah dipersiapkan.
" Rupanya sudah kembali Raden, apa yang Raden peroleh ?" tanya orang yang dua tadi.
" Aku sudah bertemu dan dititipi ini paman Surya", jawab Singgala.
" Itu Trisula Raden , senjata yang sangat ampuh dan tak ada lawan, itu Trisula Yudhapati namanya, paman pernah melihat saat digunakan untuk membasmi penyamun di Alas Cagak," kata Ki Surya.
" Rupanya paman lebih paham senjata ini , terus apa yang saya lakukan paman Surya?" tanya Singgala.
" Raden tinggal simpan saja dulu kalau nanti dibutuhkan baru digunakan, soalnya menurut paman, waktu kita kesini, ada beberapa bangsa kasat mata yang bisa jadi menjadi rintangan Raden, atau bisa jadi sebagai halangan bagi kehidupan , tadi paman lihat ada Keraton siluman sungai, ada semacam kampung siluman , ada buaya putih, juga ada istana dedemit alas Kodra", kata Ki Surya.
" Kalau begitu sebaiknya kita di sini dulu paman, menunggu apa yang akan terjadi di pedukuhan itu," kata Singgala.
" Oh iya paman Samba, apa yang paman ketahui tentang pedukuhan itu ?" tanya Singgala.
" Begini Ngger, tanah ini tanah yang penuh dengan bala atau petaka, sebab di belakang pendopo itu terdapat sebuah lubang yang banyak mengandung unsur negatif, juga di sebelah Timur pendopo , rasanya ada sejenis makhluk berupa kerbau tapi tubuhnya manusia, hati-hati Ngger," jawab Ki Samba.
" Kalau begitu paman Surya dan paman Samba juga harus waspada, supaya kita bisa mengatasi semuanya nanti paman," kata Singgala.
Setelah mereka bercengkrama kemudian mereka berjalan menuju pendopo Cikeusik. Tampak di pendopo itu sedang ada pembahasan khusus, sehingga mereka mengurungkan untuk kesana, dan menuju ke jalan balong Bakung.
Sementara itu di pendopo pedukuhan, Nyai Bengkalis sedang berembug bersama Ki Sawerga , Jaya Kusuma, Mandaga dan Nyai Kinanti. Pembahasan di situ nampak Ki Sawerga begitu paham urusan warganya, dan dalam kesempatan itu Ki Sawerga berkata , " Kita di sini adatnya seperti itu Nyai , habis panen padi kita adakan syukuran berupa pagelaran wayang beber , sintren dan juga adu ketangkasan berupa seni Sampyong.
" Sintren itu apa Ki ?" tanya Nyai Bengkalis.
" Sintren itu kesenian yang menggambarkan sebuah jabatan dan apabila jabatan itu digunakan untuk memperkaya diri, maka hancurlah jabatan itu, jadi sebelum pemain atau pelaku sintren itu menjadi sintren, si pelaku itu diwajibkan untuk masuk ke dalam sangkar ayam yang sudah ditutup dengan kain. Sementara yang bukan pelaku sintren berbaris sambil berjalan mengelilingi sangkar ayam tadi dengan membaca mantra aji, setelah si pelaku sintren sudah siap untuk keluar dari sangkar tadi, maka para pembaca mantra tadi berhenti dan sama-sama membuka sangkar itu, baru si pelaku sintren tadi dengan pakaian yang indah berhias mutiara dan perhiasan, kemudian diringi musik, dan mulailah sintren itu menari dengan gemulai, dan diwajibkan untuk para penonton guna melempar koin atau benda yang berharga, kira-kira mengenai sintren tadi. Begitu benda atau uang tadi mengenai sintren, secara otomatis sintren tersebut lemah lunglai bahkan ada yang pingsan. Begitu kira-kira Nyai," katanya.
" Lalu bisa bangun dan sadar tidak ?" tanya Nyai Bengkalis.
" Bisa , asal dibaca mantra-mantra aji oleh si pawang, pada intinya setiap sintren apabila kena lemparan uang atau benda berharga sudah pasti akan roboh," jelas Sawerga.
" Hmmmmmm...begitu ya Ki, berarti itu lambang dari sebuah jabatan, bila amanah pasti selamat tapi apabila disalahgunakan, niscaya akan hancur," tutur Nyai Bengkalis.
" Kalau wayang beber , itu menceritakan sebuah perjalanan hidup yaitu dengan alat berupa papan atau sejenisnya , baik dari kulit pohon atau kulit binatang lalu ada gambarnya, kemudian setiap gambar dipajang di depan si pemain wayang atau dalang dengan diringi lantunan gamelan," kata Sawerga.
" Dalang itu apa Ki ?" tanya Nyai Bengkalis penasaran.
" Dalang itu asal kata dari Medal dan halangan atau penghalang , yang artinya seorang dalang itu harus mampu menyampaikan isi cerita dan menyampaikan kepada penonton dengan fasih juga harus mampu memberi petuah yang isinya menyampaikan apa yang menjadi penghalang dalam kehidupan, begitu kira-kira Nyai," kata Sawerga sambil minum teh hangat.
" Berarti harus belajar dulu tentang sejarah kehidupan Ki," lanjut Nyai Bengkalis.
" Iya Nyai, bahkan harus ada seperti ritual khusus yang dinamakan Ngableng, itu yang paling berat, soalnya setiap calon dalang harus bisa seperti orang gila, uji mental, begitu," kata Sawerga.
" Waduh.....berat ya Ki, kalau semua sudah dijalani apakah siap jadi dalang Ki ?" tanya Nyai Bengkalis.
" Masih belum Nyai , soalnya ada hal penting pada diri dalang itu, apakah bisa mengatasi gangguan jiwa atau tidak, nah....proses ini yang susah," kata Sawerga.
" Baik Ki , nanti kita lanjut ya," kata Nyai Bengkalis sambil menuangkan lagi air teh supaya ceritanya berlanjut.