Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
“Aluna, aku tidak bisa,” ucap Adam sambil menatap Aluna penuh permohonan.
“Janji adalah hutang, Mas. Aku sudah berjanji akan mengabulkan permintaanku. Dan meskipun kamu tidak menjatuhkan talak kepadaku, aku akan mengajukan ke pengadilan. Yang penting aku sudah izin padamu,” jawab Aluna.
Airmata menetes di sudut mata Adam. “Aluna, aku pernah mengatakan kalau aku tidak akan pernah menceraikanmu. Mas Arman menitipkan kamu dan Kiya kepadaku. Aku tidak bisa mengabaikan janjiku pada Mas Arman.”
Adam masih berusaha membujuk Aluna. Jika ini terjadi dulu, beberapa bulan setelah pernikahan mereka, mungkin dengan cepat Adam mengucap talak. Tapi, kenapa sekarang? Di saat dia sama sekali tidak pernah berpikir untuk bercerai dari Aluna, disaat pikirannya dipenuhi Aluna dam disaat diam-diam dia sudah jatuh cinta pada Aluna, wanita itu meminta berpisah.
“Ada tanggung jawab yang lebih besar menantimu, Mas. Soal Mas Arman, dia pasti akan memakluminya. Kamu sudah menepati janjimu setahun ini, itu sudah cukup. Dan jika kelak entah didunia mana kami kembali bertemu, aku akan menjelaskan kepada Mas Arman kalau semua ini bukan salahmu. Kamu telah menunaikan wasiatnya dengan baik,” jawab Aluna.
Angin bertiup di luar rumah menembus jendela, dinginnya terasa hingga ke dalam dan menusuk hingga ke tulang dua insan yang saling berhadapan di meja makan dalam diam. Dua orang yang kini larut dalam pikiran masing-masing.
Tetes hujan mulai terdengar jatuh ke atap rumah, seperti hati keduanya yang belum sepenuhnya terikat kini akan terlepas lagi.
“Mas, aku tunggu talak darimu,” ujar Aluna memecah keheningan.
Dia berdiri, mendorong kurisnya ke belakang, dan meninggalkan meja makan itu dengan takdir yang menggantung.
Aluna masuk ke kamar dan menutupnya dari dalam.
Klik!
Dia mengunci pintu kamar, kemudian tubuhnya luruh ke lantai. Air matanya tidak bisa lagi ditahan, kini tumpah begitu saja.
“Maaf, Mas. Aku tidak bisa bertahan lebih lama menjadi duri dalam hubungan kamu dengan Laras. Ini bukan karena Laras, ini bukan karena aku membencimu, tapi ini karena aku sudah tidak mampu lagi bertahan,” gumam Aluna.
“Hidupmu juga sebentar lagi akan sempurna, anak kandungmu akan lahir ke dunia, aku tidak mau membuat seorang anak kekurangan kasih sayang ayahnya. Aku juga perempuan, aku tahu beratnya hari yang harus Laras lalui hamil seorang diri,” sambungnya.
Sementara di luar kamar, Adam berdiri di depan pintu dengan tangan yang ingin mengetuk, namun di tahannya.
Selama mereka menjadi suami istri, Aluna tidak pernah mengunci kamar. Tapi, kali ini Aluna telah membatasi diri.
“Aluna, aku mencintaimu…” lirih Adam.
Entah apakah Aluna bisa mendengarnya atau tidak dari dalam sana, yang pasti perasaan itu telah tumbuh, mengakar dan subur di hati Adam. Tapi, ternyata dia terlambat.
Keesokan harinya…
“Kamu mau kemana, Aluna?” tanya Adam ketika pagi-pagi sekali melihat Aluna sudah rapi bersiap untuk pergi.
Aluna sudah menyiapkan sarapan, tapi hanya untuk Adam. Untuknya dan Kiya sudah dimasukkan ke dalam wadah, yang akan dibawanya.
Selagi Adam belum menjatuhkan talak atau pengadilan belum mengetuk palu, Aluna tahu dia masih berstatus sebagai istri Adam, dia masih harus berbakti kepada suaminya. Setidaknya, dia masih harus menyiapkan sarapannya.
“Aku mau ke rumah Bapak. Ada janji dengan orang yang mau beli rumahnya,” jawab Aluna.
“Biar aku antar, takutnya Kiya akan sakit lagi.”
Aluna menggeleng. “Tidak perlu, Mas. Aku akan naik motor saja, dan juga tidak banyak tujuan mau kemana-mana. Aku usahakan Kiya gak kepanasan.”
Tanpa menunggu jawaban dari Adam, Aluna membawa tas bekalnya menuju keluar rumah. Tidak lupa dia juga membawa tas perlengkapan Kiya.
Hari ini, dia juga akan sekalian mendaftarkan proses perceraian mereka di pengadilan. Batas menunggu talak dari Adam sudah habis. Dia menunggu hingga subuh hari ini, tetapi lelaki itu tidak kunjung menceraikannya.
Aluna tiba di rumah peninggalan orang tuanya masih sangat pagi, rumput-rumput masih basah. Aluna menatap bangunan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak ada pilihan lain, dia harus melepaskannya. Daripada nanti akan menjadi masalah berkepanjangan.
“Aluna, kamu sudah datang?” tanya Bu Sarni, tetangga di sebelah rumahnya, yang juga sekaligus orang yang mau membeli rumah itu. Menurutnya, rumah itu akan di renovasi untuk anaknya.
“Bu Sari, iya Bu. Biar gak kesiangan takut Kiya kepanasan,” jawab Aluna tersenyum dan mencium tangan wanita paruh baya itu.
“Duh gemesnya,” ujar Bu Sarni sambil menjawil pipi Kiya yang tembam.
Aluna dan Bu Sarni duduk di teras, dengan sedikit menepuk-nepuk debu yang melekat. Tidak berapa lama, muncul Pak Basri, suaminya Bu Sarni.
“Apa kamu yakin mau menjual rumah ini, Aluna?” tanya Bu Sarni.
Aluna mengangguk. “Yakin, Bu. Aku kan juga menukar dengan tanah ibu di pinggir sawah.”
Iya, Aluna bukan hanya menjual rumahnya. Tapi, dia menukar dengan sepetak tanah yang cukup luas, tapi terletak di pinggir sawah, bukan di pinggir akses jalan utama. Sedikit terpencil dari orang-orang, tapi juga tidak terlalu sepi. Dan pasti jaraknya, jauh dari rumah yang ditempatinya sekarang juga jauh dari rumah ibu mertuanya, meskipun masih satu desa.
Pak Basri dan Bu Sarni, membayar sisa uang lebihnya setelah dipotong harga tanah.
“Tapi, maaf. Ibu dan Bapak tidak bisa membayar lebih mahal,” sesal Bu Sarni.
“Bu itu sudah cukup bagiku. Aku juga tidak mau menjual dengan orang lain, kalau aku jual dengan orang lain, aku sama sekali tidak bisa lagi datang kesini. Kalau dengan ibu, jika sewaktu-waktu aku merindukan Ayah dan Ibu, aku akan main kesini. Masih boleh, kan bu?” tanya Aluna.
“Boleh, Nak.”
“Terima kasih, Bu. Ibu juga sudah sekalian membangunkan aku rumah disana, itu bahkan diluar kesepakatan kita, Bu,”sambung Aluna.
Pak Basri dan Bu Sarni akan membantu Aluna membangun rumah sederhana berdinding papan untuk tempat Aluna dan Kiya tinggal. Tanah sisanya, Aluna bisa berkebun sayur seperti kesukaannya.
Setelah selesai dan langsung dilakukan pembayaran, Aluna akhirnya melepaskan rumah itu. meskipun dengan berat hati, tapi dia yakin ini yang terbaik. Sebab, bercerai dari Adam, dia juga butuh modal untuk memulai hidup baru bersama Kiya. Dan sisa penjualan rumah itu, masih cukup untuk hidupnya beberapa bulan ke depan sambil mulai membangun memikirkan pekerjaan yang bisa dia lakukan tanpa meninggalkan Kiya.
Aluna juga sudah menyerahkan berkas ke pengadilan, tinggal menunggu panggilan sidang. Untuk sementara, dia masih kembali ke rumah lama.
Namun, begitu siang harinya dia tiba di rumah…
Plak!
Sebuah tamparan keras menyambutnya, bahkan dia belum mengucapkan salam. Kiya yang melihat adegan itu secara langsung, menangis berteriak.
Bukan hanya sekali, tapi tamparan itu kembali mendarat di pipi sebelahnya.
Punya istri dan mertua cuma dijadikan mesin atm berjalan doang!
Gimanaa cobaa duluu Adam liatnya.. koq bisaa gituu milih Laras.. 🤔🤔🤦🏻♀️🤦🏻♀️😅😅
Terimakasih Aluna kamu sudah mau membantu Adam membuka kebusukan Laras semoga Adam bisa secepatnya menyelesaikan masalahnya dengan Laras dan bisa lebih dewasa lagi kedepannya 💪
Klo Laras tau Aluna ngasi rekaman bukti perselingkuhan Laras.. mesti Laras akan berbuat sesuatu yang jahat sama Aluna
Bisa2 Laras nekad! 😤😤