NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18. Luka Seorang Hayaning

...•••...

Hingga mengantarkan ibunya ke peristirahatan terakhir, Hayaning tak henti-hentinya menangis. Matanya membengkak, suaranya serak, dan energinya terkuras habis.

Ben membimbingnya ke tempat tidur, lalu mendudukkannya perlahan di atas kasur. "Sudah ya, jangan menangis lagi. Kamu pasti lelah," ujarnya sambil menyeka air mata yang terus mengalir, seakan tak pernah habis.

"Aku tidak bisa menepati janji untuk bertemu ibu, Ben. Padahal dia menantikan kehadiranku..." Suaranya bergetar, penuh penyesalan. "Kenapa? Kenapa aku selalu dipermainkan oleh takdir?"

Ben tidak punya jawaban, tidak ada kata-kata yang bisa meredakan luka itu. Jadi, ia hanya menarik Hayaning ke dalam pelukannya. Tangannya terangkat, mengusap lembut rambut panjang perempuan itu, berusaha menenangkan.

Perlahan, isakan Hayaning mereda, digantikan oleh napas yang semakin teratur. Lelah yang teramat dalam akhirnya menuntunnya ke dalam tidur. Ben tetap di sisinya, memastikan perempuan yang tengah rapuh itu tidak merasa sendirian.

Sebelumnya, ia telah meminta izin kepada ayah Hayaning, Brata, untuk membawanya menenangkan diri di tempatnya. Seperti yang sudah Ben duga, pria tua itu marah besar. Baginya, Ben tidak punya hak untuk membawa putrinya begitu saja.

Namun, kemarahan itu seketika mereda ketika Ben mengungkapkan identitasnya—bahwa ia adalah putra mendiang Santoso dan adik dari Sean Soedjono. Saat itu juga, Brata terdiam. Tak ada lagi penolakan, hanya keheningan panjang sebelum akhirnya ia mengangguk, memberikan izin.

Ben tidak melepaskan Hayaning sampai mereka tertidur bersama diatas ranjang yang sama, saling memeluk kehangatan ditengah derasnya hujan dan gemuruh petir diluar sana.

Saat Hayaning lebih dulu terjaga, pandangannya langsung tertuju pada wajah pria yang tertidur di sisinya. Wajah kharismatik nan tampan itu begitu dekat, napasnya teratur, seakan menegaskan bahwa ia benar-benar ada di sana, menepati janjinya untuk tidak meninggalkannya sendirian.

Ben—orang asing yang secara perlahan menyelinap ke dalam hidupnya, ke dalam hatinya, selama delapan bulan ini.

Tanpa sadar, jemarinya yang ramping terangkat, menyapu lembut rahang tegas pria itu. Namun, sentuhan ringan itu cukup untuk membuat Ben tersadar. Matanya terbuka perlahan, langsung menatap Hayaning.

"Bagaimana perasaanmu sekarang? Masih ingin menangis?" Suara baritonnya yang berat terdengar serak, menyentuh telinga Hayaning dengan hangat.

Perempuan itu menggeleng pelan. "Capek... mungkin nanti lagi."

Ben menghela napas, matanya tetap memperhatikan ekspresi lelah di wajahnya. "Jangan, saya lebih suka lihat kamu tersenyum."

"Lagi ngga bisa," balasnya singkat.

"Ya sudah," Ben mengalah. "Sekarang maunya apa?"

Hening.

Hayaning tak menjawab. Ia pikir dirinya sudah cukup kuat, tapi ternyata tidak. Kesedihan kembali menyelimutinya, memenuhi dadanya hingga terasa sesak. Air mata yang sempat mereda kini kembali menggenang.

"Kok nangis lagi?" Ben segera menyeka air matanya, suaranya penuh kelembutan.

Hayaning menarik napas panjang sebelum akhirnya berbisik, "Aku lahir dari ibu yang berbeda. Lebih tepatnya, ibuku hanyalah perempuan kedua yang bahkan tidak tahu kalau Papa sudah punya keluarga..."

Ben menatapnya dalam, mencari kepastian dalam sorot matanya. "Kamu yakin mau berbagi cerita dengan saya?"

Hayaning mengangguk pelan. "Tidak ada lagi yang bisa aku percaya, Benji. Selain kamu. Entah nanti kamu akan mengkhianati ku seperti orang lain, tapi untuk saat ini... aku sungguh percaya padamu."

Ben menghentikan tangannya yang semula merapikan anak rambut Hayaning. Ia tidak mengatakan apa pun, hanya menunggu dengan sabar.

Merasa didukung, Hayaning semakin merapat ke dalam dekapan Ben. Saat ini, ia tak peduli dengan status mereka, tak peduli bagaimana seharusnya hubungan mereka.

"Ibu tidak terima dibohongi. Dia menderita karena harus mengandung aku, anak yang tidak diinginkan. Saat Papa tahu tentang kehamilannya, dia malah kembali ke keluarganya yang pertama. Meninggalkan ibu begitu saja. Sejak itu, aku tumbuh dalam kebencian ibu Luna. Setiap kali dia menatapku, yang ia lihat hanyalah pengkhianatan Papa..."

Ben tidak menyela, hanya mengeratkan dekapannya sedikit.

"Lalu, puncaknya terjadi saat aku berusia delapan tahun. Ibu sudah terlalu lelah. Gunjingan orang-orang, kesulitan hidup, semuanya menghancurkannya perlahan. Sampai akhirnya... dia menyerah."

Hayaning menggiigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang kembali menggebu.

"Ibu mengajakku mengakhiri hidup bersama... aku takut. Aku lari, dia mengejarku, dan..."

Perempuan itu menelan saliva, tangannya menggenggam erat lengan Ben, seolah mencari pegangan.

"Aku terjatuh... Perutku menghantam ujung meja yang tumpul. Rasanya sakit sekali... begitu sakit... Itulah kenapa aku pernah menjalani operasi dan itulah mengapa ada bekas luka di perutku, Ben."

Napasnya tersengal, tubuhnya sedikit gemetar saat mengingatnya. Luka itu masih ada, bukan hanya di tubuhnya, tetapi juga di jiwanya.

"Dan tetiba Papa datang dengan penyesalan begitu saja, entah tahu dari mana tetapi saat itu ia mengutuk ibuku karena ingin melenyapkan darah dagingnya." Ujar Hayaning mengingat kala itu.

"Lalu Papa mengajukan hak asuhku secara diam-diam. Sementara Ibu menyesali perbuatannya padaku, dia tidak terima hak asuhku jatuh ke tangan Papa. Tapi pada akhirnya... aku tetap menjadi bagian dari keluarga Papa, sebab ibu tak memiliki kekuatan apapun untuk melawan pengadilan."

Hayaning tersenyum pahit. "Ternyata, di sana pun aku tidak diterima. Anak-anak Papa membenciku, memperlakukanku seolah aku tidak pernah ada. Tapi setidaknya... aku masih memiliki seseorang yang menyayangiku."

Ben mengerutkan kening, menunggu kelanjutannya.

"Ibu Risa. Ibu tiriku," lanjutnya dengan suara bergetar. "Dia sangat baik, Benji... Dia menangis saat tahu aku hampir dilenyapkan. Dia begitu lembut, memperlakukanku seperti anak kandungnya sendiri. Itu pertama kalinya aku merasa dicintai..."

Ben menatapnya dengan dalam, merasakan kesedihan yang menguar dari setiap kata yang diucapkannya.

"Papa memang sengaja menyembunyikan keberadaan ku dari dunia, karena aku bukan anak dari istri sahnya. Tapi aku tidak peduli, karena untuk pertama kalinya, aku merasa memiliki keluarga. Aku merasa bahagia..."

Hayaning menarik napas dalam, sebelum akhirnya menunduk. "Sayangnya, kebahagiaan itu tidak bertahan lama."

Ben menggenggam tangannya lebih erat, seolah mencoba menyalurkan kekuatan.

"Ibu kandungku... dia akhirnya dimasukkan ke rumah sakit jiwa sebab depresi karena memikirkan aku." Suaranya semakin lirih. "Dan Ibu Risa... dia meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Saat itu, semuanya berubah."

Mata Hayaning menerawang kosong. "Orang-orang di keluarga Adhijokso mulai melihatku lagi, tapi bukan sebagai bagian dari keluarga Adhijokso... melainkan sebagai anak sial yang membawa karma buruk ke dalam hidup keluarga terpandang mereka."

Ben merasakan jemari Hayaning menggenggam erat tangannya, seakan berusaha mencari pijakan di tengah lautan kenangan pahit yang menghempasnya. Ia diam, membiarkan Hayaning melanjutkan.

"Mereka tidak pernah mengatakan itu langsung di hadapanku," suara Hayaning terdengar datar, tanpa emosi, namun Ben tahu, ada luka yang menganga di balik ketenangan itu. "Tapi aku bisa merasakannya. Tatapan mereka... bisikan yang terdengar menyakitkan setiap kali aku hanya melintas... semua itu cukup untuk memberitahuku bahwa aku tidak diinginkan di sana."

Hayaning tersenyum miris. "Anak-anak Papa, terutama Mbak Diandra, Mas Satya dan Mas Farel, membenciku lebih dari siapa pun. Mereka melihatku sebagai penyebab kehancuran keluarga mereka, seakan aku sendiri yang memilih untuk dilahirkan ke dunia dengan keadaan seperti ini. Begitulah aku dihina-kan."

Ben semakin mengeratkan rahangnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin meyakinkan Hayaning bahwa semua yang terjadi bukan salahnya. Namun, ia tahu, saat ini bukan waktunya untuk menyela.

"Ibu Risa adalah satu-satunya yang melindungi ku. Selama dia masih hidup, aku masih bisa bernapas lega di rumah itu. Tapi setelah dia pergi... aku benar-benar sendirian." Suaranya melemah, seolah setiap kata yang keluar menguras tenaganya.

"Papa berubah... Dulu, dia menyembunyikan ku dengan alasan melindungi ku. Tapi sekarang? Dia memilih menjauh, seolah aku hanya bayangan dari masa lalu yang ingin dia hapus. Dan itulah kenapa aku bingung saat pertama kali dia memperkenalkan mu dengan begitu lembut. Karena sebelumnya, Papa bahkan tidak pernah mau berbicara denganku. Menatapku pun dia enggan. Sungguhan aku bingung Ben, sebenarnya dia menyayangi ku apa tidak?"

Ben mengerutkan kening, sulit percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa?" gumamnya, hampir tak percaya. "Saya kira hubungan kamu dengan Pak Brata..."

Hayaning menggeleng pelan. "Semuanya sandiwara," katanya lirih. "Kasih sayang itu... tidak pernah nyata."

"Oh, fuck!" Ben mengumpat, rahangnya mengeras menahan amarah. Sekarang semuanya masuk akal. Selama delapan bulan bekerja untuk menjaga Hayaning, ia tak pernah sekali pun melihat perempuan itu benar-benar berinteraksi dengan Brata. Bahkan saat Hayaning mengurung diri di kamar selama empat hari, tak ada satu pun tanda perhatian dari pria itu. Dan lebih menyakitkan lagi, di hari pemakaman istri sirinya, Brata bahkan tidak datang.

Ben mengepalkan tangannya. Rasa kesal yang menghantamnya begitu kuat, namun ia tak tahu harus melampiaskannya ke mana. Tapi satu hal yang pasti, melihat Hayaning menganggap semua ini sebagai sesuatu yang biasa... itu membuatnya semakin geram.

Hayaning menghela napas panjang, lalu mengangkat kepalanya, menatap Ben dengan mata yang terlihat begitu lelah. "Lucu, ya? Aku sudah terbiasa ditinggalkan, tapi tetap saja rasanya menyakitkan setiap kali itu terjadi."

Ben menatapnya dalam, lalu tanpa ragu menariknya ke dalam pelukannya. "Kamu tidak sendirian sekarang, Hayaning," bisiknya, penuh keyakinan. "Saya ada di sini, dan kamu tidak akan kembali ke rumah itu setidaknya selama dua minggu."

"Hah? Ma-maksudnya, Ben?" Hayaning menatapnya dengan bingung.

"Pak Brata memberikan izin untuk kamu tinggal di tempat saya,"

Hayaning tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Papa?" suaranya terdengar serak, nyaris tidak keluar. "Dia benar-benar mengizinkan?"

Ben mengangguk. "Ya. Awalnya, dia marah besar, tapi begitu saya mengatakan siapa saya sebenarnya... dia langsung berubah pikiran."

Hayaning terkekeh kecil, "aku bingung, sebenarnya Papa itu... Menyayangiku atau tidak?" Gumamnya lirih.

"Persetan dengan semua itu, kini kamu aman bersama saya. Kamu akan tinggal bersama dengan saya dirumah ini, lupakan beban-beban menjengkelkan mu itu dirumah, biarkan saja orang-orang brengsek itu menggonggong brisik."

"Ben tapi pertunangan ku—"

"For fuck's sake!" (Si*lan). Ben menggeram keras, disaat seperti ini, Hayaning masih memikirkan tentang pertunangannya dengan pria keparat itu.

"Pak Brata mengundur tanggal pertunangan kalian menjadi bulan depan. Tapi... Apa kamu serius menanyakan hal ini Haya?"

Hayaning redam, ia tak berkata apa lagi. Namun yang pasti, perlahan, tubuh Hayaning melemas dalam dekapannya. Dan untuk pertama kalinya, mungkin, ia merasa tidak sendirian dalam kepedihan yang selama ini membelenggunya.

Ben menarik napas panjang, berusaha meredam emosinya. "Hayaning, tolong pikirkan dirimu sendiri dulu. Kamu baru saja kehilangan ibumu, kamu butuh waktu untuk bernapas, untuk pulih," suaranya lebih lembut kini, meski ketegasan di matanya tetap terlihat.

Hayaning menunduk, jari-jarinya saling meremas satu sama lain. "Aku tahu, tapi... aku merasa seperti tidak punya pilihan," gumamnya pelan.

Ben mengangkat dagunya dengan lembut, memaksanya menatap langsung ke arahnya. "Selalu ada pilihan, Haya. Dan mulai sekarang, saya akan pastikan kamu tahu itu."

1
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!