"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Rindu
Mencari Perasaan Yang Hilang
Triing... Krekeek
Suara pintu cafe dibuka dan tertutup dengan cepat, tiga orang pengunjung datang dengan wajah menahan marah.
Bruaakk
Suara meja di tampar dengan keras. Untung saja Cafe dalam keadaan sepi.
"Mana anak itu?!" bentak Seorang perempuan paruh baya.
"Siapa yang anda maksud?" tanya Budi.
"Dea! Mana Dea... " hardik dua lelaki muda yang memilki wajah yang sama.
Triingg...
Pintu terbuka lagi. Dea masuk setelah loading biji kopi dari gudang.
"Nah ini dia orangnya! Heh, apa maksudmu melaporkan papaku ke polisi, hah!" bentak Herly.
Herly mencengkram kerah baju kerja Dea, sementara Harry hanya diam dengan tatapan mata sendu saat kembali bisa bertemu Dea.
"Kenapa kamu melaporkan papa kamu ke polisi, Dea? Memangnya dia salah apa padamu?!" cecar Dini mengikis jarak hingga wajahnya hanya beberapa centi saja dari Dea.
Dea mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, wajahnya berubah merah padam menahan amarah,
"Papaku? sejak kapan?! Dan kenapa aku melaporkannya? Lucu sekali pertanyaan kalian. Sudah jelas dia mencoba memperkosaku saat aku kembali untuk mengambil berkas-berkas penting! Apa begitu kelakuan seorang yang ingin disebut papa?!" jerit Dea.
"Kamu! Kamuuu itu yaa! Sok kecantikan kamu, siapa yang mau dengan wanita bekas sepertimu!" hardik Herly.
Dada Dea terasa terbakar mendengar ucapan saudara tirinya.
Plaakk!
Dea melayangkan tamparan ke pipi Herly.
"Kalian keluarga laknat! Tidak punya hati!" jerit Dea.
Herly ingin melayangkan pukulan balasan ke wajah Dea, namun Budi siap menghadang, menghalangi Dea dengan tubuhnya.
"Jangan main kasar dengan perempuan!" hardik Budi.
Harry sontak maju, ia langsung melayangkan pukulan di wajah Budi.
Bugh!
"Siapa kamu berani ikut campur! Dea itu milikku, jangan pernah menyentuhnya!" hardik Harry, yang sejak awal tidak pernah bersuara saat Dea diserang anggota keluarganya sendiri. Tiba-tiba saja dia geram saat Dea ada yang membela.
Kalimat Harry yang menyatakan 'Dea milikku' menambah keyakinan Dea, bahwa malam itu Harry lah pelaku pemerkosaan padanya.
"Keluarr kalian... keluar!!" jerit Dea mendorong Harry, Herly dan juga mamanya.
Herly ingin memberi pukulan lagi pada Dea. Tiba-tiba tangannya di tarik seseorang memakai baju loreng.
"Lebih baik kalian keluar!" Hardik Akbar.
"Siapa kamu! Apa hak kamu mengusir kami!" bentak Dini.
"Aku pemilik cafe ini!" jawab Akbar.
"Kami akan beri rating jelek cafe busuk ini, karena memperkerjakan wanita malam!" hina Herly.
"Hai banci! Kita bisa adu jotos diluar bukan di sini!" Akbar mendorong ketiga orang yang membuat kerusuhan di dalam cafe kecil milik tunangannya.
Setelah ketiga orang berhasil diusir keluar oleh Akbar, Dea seketika luruh dan terjatuh di lantai. Kakinya terasa gemetar dengan kejadian tersebut. Bukan karena dia takut, tapi karena hatinya terlalu sakit.
Ibu kandungnya sendiri justru membela mati-matian suami dan anak tirinya yang berkelakuan bejat.
Beberapa hari lalu, Dea harus kembali ke rumah mamanya untuk mengambil berkas-berkas penting yang tertinggal. Ada akte lahir, surat tanah di Kalimantan, pasport dan surat-surat pensiun papanya yang belum sempat ia cairkan.
Namun naas, hari itu rumah dalam keadaan sepi hanya ada Syam di dalam rumah. Kejadian memalukan itu nyaris terulang lagi dalam hidupnya. Ia berhasil kabur karena pembantu rumah tangganya mendobrak pintu kamar yang sudah di kunci Syam dari dalam.
"Minum Dea, kamu lebih baik istirahat di kamar belakang," suruh Budi sambil membantu Dea bangun.
"Biar aku di sini, mas. Aku takut lelaki itu di kroyok," ucap Dea, matanya terus ke arah luar cafe dimana Akbar masih berdebat dengan ketiga orang yang sudah memporak-porandakan hidupnya.
"Biar aku panggil polisi!" Budi segera mengambil handphone nya untuk menghubungi polisi.
Belum sempat menekan tombol panggil, ketiga orang tersebut berhasil diusir Akbar. Budi menarik napas lega melihat tidak terjadi perkelahian di depan cafe milik bosnya, Dona.
Triingg
Pintu cafe terbuka lagi.
Akbar masuk, wajahnya masih menyimpan perasaan kesal dan amarah.
"Kamu punya hutang berapa sama mereka?" tanya Akbar dengan napas terengah-engah.
"Hu-hutang... ?!" Dea menggeleng kan kepalanya dengan cepat, telapak tangannya melambai di depan wajahnya.
"Wanita tua itu bilang, ini masalah hutang. Berapa hutang kamu? Biar aku bayar!" bentak Akbar masih terbawa emosi.
Dea menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, tangisnya pecah. Jantungnya terasa diremas dengan begitu kencang. Sakit, sakit sekali. Mamanya malah memfitnah ia memiliki hutang pada mereka.
Akbar merendahkan tubuhnya, berjongkok. Ia baru menyadari Dea sedang rapuh. Baru saja ia membentak Dea dengan suara sangat keras. "Maaf... Suaraku terlalu keras. Bukan maksudku—"
Budi ikut bicara, "Maaf, masnya ini siapa ya? Tadi bilang ini cafe milik mas. Setahu kami ini milik mba Dona," ucap Budi dengan sopan.
"Owh itu— maaf, aku hanya ngaku-ngaku. Aku ... Aku teman mba ini," akui Akbar.
Triingg!
Pintu cafe terbuka lagi, dua orang perempuan memakai seragam kerja cafe baru saja masuk.
"lho Dea, kamu kenapa?" tanya Tina dan Wulan berbarengan.
"Wes ... Udah nggak usah ditanya dulu. Biar Dea istirahat. Sini ayo hitung kasir, biar Dea cepat ganti shift dan istirahat di kostan." Budi menarik tangan Wulan untuk segera pergantian shift.
"Aku antar kamu pulang." Akbar mengulurkan tangannya agar Dea segera bangkit.
Setelah melepas apron dan mengambil tasnya, Dea keluar cafe bersama Akbar. Di saat bersamaan, Devan hendak masuk ke dalam cafe.
"Selamat sore, komandan!" Akbar sontak menyapa dengan cara militer, sikap sempurna dan memberi hormat pada komandan kesatuannya.
Langkah Devan terhenti, pandangannya langsung pada sosok gadis di samping Akbar yang terus menundukkan kepalanya. Wajahnya nyaris tertutupi rambut. Tapi Devan sangat mengenali gadis tersebut. Hatinya tiba-tiba terasa terbakar melihat Dea di sisi anak buahnya, Akbar.
"Komandan, mau masuk?" tanya Akbar sambil menggeser tubuh agar tidak menghalangi pintu masuk.
Devan hanya mengangguk dengan wajah mengkerut tanpa senyuman. Tatapan matanya terus ke arah Dea.
"Saya permisi, komandan!" pamit Akbar.
Lagi, Devan masih terdiam dan hanya mengangguk. Tanpa bisa mencegah kepergian Dea dengan Akbar.
Andai saja lelaki di samping Dea bukan anak buahnya, Devan akan menarik Dea dan membawa dalam pelukannya. Namun, demi kehormatan dan nama baik yang harus dia jaga di depan anak buahnya. Devan menahan perasaan rindu hingga ke dasar hatinya
Akbar merangkul bahu Dea saat melewati Devan. Tidak sedikit pun Dea menoleh ke arahnya. Sementara, Devan masih terus menatap punggung Dea hingga mobil Akbar perlahan pergi membawa gadis yang ingin dia temui.
Devan berdiri di depan pintu cafe, kepalanya tertunduk dalam, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Satu bulan ia berhasil menahan gelombang kerinduan pada Dea. Tapi hari ini, yang ia dapati gadisnya bersama orang lain.
Dadanya bergemuruh hebat, kerinduan bagai putik dandelion tertiup angin dan menempel erat di dadanya. Menebarkan benih baru dan tumbuh semakin subur.
Aku sengaja diam, padahal separuh nyawa merindukanmu. Sengaja menjaga jarak, tapi sepenuh jiwa menginginkan temu. Aku sengaja mengabaikan perasaan yang ada, tapi pikiranku tidak pernah bisa melupakanmu.
Dea, kamu adalah kenyamanan dari rasa yang tidak seharusnya ada dalam dadaku.
Rindu adalah sebuah rasa yang melibatkan semua emosi di dalam diri Devan juga Dea.
Di kursi penumpang,
Dea menatap jendela, tatapannya jauh ke menatap pemandangan luar. Airmatanya menetes tiba-tiba. Kali ini airmata yang keluar bukan untuk kejadian dengan mama kandung dan saudara tirinya.
Bukan.
Tapi untuk seseorang yang tidak menyapanya sama sekali saat tadi berpapasan di depan pintu cafe. Dea tahu itu Devan. Aroma parfumnya sangat Dea kenali, langkah kakinya penuh rasa percaya diri dan kerut tajam di keningnya isyarat kedewasaan, semua yang ada pada diri Devan terekam kuat dalam ingatan. Seringkali membuat Dea tidak sanggup menahan kerinduan.
Tapi sikap Devan terlalu dingin dan tidak perduli lagi padanya. Seakan kisah satu malam yang mereka rajut, hanyalah kisah yang tidak berarti bagi Devan.
Sementara, selama satu bulan ini Dea menahan gejolak kerinduan padanya dan berharap Devan datang untuk menjelaskan, mengapa tidak datang menepati janji pada hari itu.
Sepanjang perjalanan diisi keheningan. Akbar hanya mencuri-curi pandang ke arah Dea, tidak berani memulai percakapan. Hingga suara telepon terus berdering meski beberapa kali di reject oleh Akbar. Mobil di berhentikan di pinggir jalan.
"Aku ijin angkat telepon." Dea hanya mengangguk pelan.
Akbar keluar mobil dan berjalan agak jauh dari kendaraan.
"Akbar belum sempat ketemu Dona, mam. Tadi sudah ke cafenya tapi dia tidak ada di tepat," Jawab Akbar di panggilan telepon.
"Jangan kecewakan mama terus Akbar! Kita banyak berhutang Budi pada keluarga Dona. Lagian kalian teman sejak kecil, apa sih susahnya sekarang ini kalian menjalani keakraban lagi," Jawab mama Akbar.
"Mam, aku bisa jadi seperti sekarang ini karena hasil jerih payahku meniti karier jadi sniper. Piala dan piagam sudah aku dapatkan dari SMP. Mengapa kalian merasa berhutang Budi pada keluarga Dona karena aku bisa masuk Akmil!" jawab Akbar.
"Jangan lupakan masalahmu dua tahun lalu Akbar. Kalau bukan papa Dona yang menutup kasus penembakan Polhut di Kalimantan... Saat ini kariermu sudah tamat!" hardik papa Akbar.
Klik!
Akbar mematikan panggilan, karena orangtuanya selalu berhasil menekannya dengan kasus yang ia lakukan tanpa sengaja dua tahun lalu.
Akbar mengepalkan tangan, sebelah telapak tangannya meremas ponsel pintarnya. Ia menarik napas dengan dalam sebelum masuk lagi ke dalam mobilnya.
Kok Kasandra jadi side character di cerita cintanya Devan sama wallpaper 😭
kasihan juga pada Kasandra, tapi mau gimana lagi? udah telat.
semoga zie tidak jadi korban