Victoria Baserra seorang siswi SMA High school tak sengaja bertemu dengan El Ganendra, putra tunggal keluarga Eros, salah satu keluarga ternama dan memiliki impact yang besar. Seiring berjalannya waktu sesuatu hal gelap mulai terkuak.
Sebuah rahasia kelam, terkubur dalam dalam. tak ada yang tahu. hari ini dia berakhir atau justru baru memulai. Apa yang terjadi sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Putu Widia Sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Bibi memalingkan wajahnya kembali, mengepalkan kedua tangannya nya. Ia terus bolak balik menatap Vicky dengan tatapan cemas. " Bi, siapa yang nelpon," tanya Vicky penasaran.
"Itu non, yang nelpon... Dia," Ucap bibi gugup.
Wajah Vicky berubah tegang, kedua matanya menyipit penuh arti. Ia menatap ke arah depan dengan tajam, alis nya melebar tegas. " Sejak kapan?," Ucap Vicky dengan penuh penekanan.
"Baru, tadi non,"
"Lain kali, jangan angkat telpon dari orang luar. Abaikan saja, paham!!," Tegas Vicky menatap bibi tajam.
Bibi mengangguk sembari berkata ," P--aham non,"
Vicky membalikkan badannya dengan tegas, masih dengan tatapan tajam ke depan. Menghela nafas berat, kemudian pergi melangkah dengan hentakan kaki yang cukup tegas.
"Apa dia akan muncul kembali," Ucap Bibi penuh kekhwatiran sambil terus menatap ke arah Vicky pergi.
Dikamar Vicky duduk di hadapan cermin, menatap penuh ke arah pantulan cermin dengan tatapan tajam. Kedua tangan nya mengepal perlahan, nafas yang berangsur dalam. Disaat bersamaan ponsel Vicky berdering, ia menoleh tegas.
Mengamati sejenak, kemudian meraih nya. Nampak nomor tak dikenal ( Unknown number). Ia mengangkat nya perlahan, mendekatkan telpon nya di telinga nya.
"Hallo, " Suara pertama yang terdengar, berat cukup aneh dan misterius.
"Apa kabar, nona muda ,"
"Saya tidak suka basa basi, " Tegas Vicky, menekan nada suaranya ia kemudian beranjak bangun.
"Ouhhh,, santai. Jangan terlalu terburu buru,"
"Kami hanya ingin tau, bagaimana kabar nona muda Vicky, nama panggilan yang cukup unik,"
"Saya sudah pernah katakan, jangan ganggu saya dan orang terdekat saya. Tapi, sepertinya kalian tidak mengerti bahasa itu," Vicky menggenggam erat kursi di hadapannya. Tatapan selalu penuh ketajaman.
"Tenang. Kami tidak mengganggu kalian, kami hanya menjalankan perintahnya , perintah dari..."
"Cukup!! saya tidak ingin mendengar apapun," Sela Vicky kemudian mematikan ponsel nya.
********
Setelah mengantarkan Vicky pulang, El dengan tas punggung yang masih tergantung di bahu, melangkah pelan memasuki rumah setelah seharian beraktivitas disekolah. Langkah nya terasa ringan, penuh kelelahan namun juga lega karena hari yang panjang sudah usai.
Dia mengarah dan menatap tangga di depan matanya, anak tangga yang akan membawanya ke kamar lantai atas. Dengan satu kaki mengangkat, dia mulai menaiki anak tangga pertama, berharap segera dapat beristirahat dan bersantai.
Namun, tiba tiba suara lembut namun tegas dari ruang tamu memecah kesunyian " Den El," panggil bibi.
El berhenti sejenak, kaki nya yang sudah setengah naik di anak tangga terhenti. Ia menoleh ke bawah, melihat bibi berdiri dengan senyum hangat namun penuh perhatian. Ada sesuatu dimatanya yang membuat El tahu, ini bukan sekadar panggilan biasa.
Dengan langkah perlahan, El menurunkan kaki nya kembali ke lantai dasar. Suasana menjadi hening sejenak, hanya terdengar detak jam dinding. Ia sedikit curiga, bibi ingin bicara sesuatu yang penting sebelum ia melanjutkan langkah nya. " Iya Bu?, ada apa?," Tanya El penasaran.
Bibi menunduk, bola matanya mengarah kesana kemari pertanda dia sedang berpikir. Bibir nya mulai tak bisa mengucapkan kata, " Bi? ," Tegur El memastikan.
Bibi mengangkat wajahnya, menatap El dengan penuh arti. " Tadi, "
"Tadi apa?, ngomong aja bi,"
"Tadi, Tuan besar nelpon, katanya tak lama lagi dia akan kembali dari luar negeri," Ucap bibi perlahan.
Suasana menjadi hening sejenak, mata El melebar tetapi bukan terkejut melainkan memiliki arti tertentu, wajahnya seketika berubah tanpa ekspresi, datar dan acuh.
"Iya, biarkan dia pulang," Jawab El ketus.
"Tapi Den, apa ,"
"Sudah Bi, saya mau istirahat," Sela El segera beranjak kembali melanjutkan langkah nya yang tertunda tadi.
Dibawah kedua tangan bibi saling memegang erat, wajah peduli dan kasian terlihat jelas. Kedua matanya mulai berkaca kaca, seolah ada sesuatu kesedihan yang mendalam.
El membuka pintu dengan keras, meletakkan tas nya dengan tegas. Ia berjalan menuju koridor, wajahnya mulai memerah penuh emosi. Entah apa yang terjadi padanya, setelah mendengar kabar berita mengenai sang papa yang akan pulang dari luar negeri.
Ia menatap tegas dengan tatapan kemarahan, kedua tangannya memegang erat penyangga koridor. " Untuk apa dia pulang, apa belum cukup semuanya," Jelas El dengen nada gemetar.
Ponsel El bergetar di saku celana nya, menatap penuh pada layar ponsel yang ternyata sudah 4 kali panggilan terlewat dari Adit. Tanpa berpikir panjang ia mengangkat panggilan Adit.
"Hallo," Dengan nada suara tegas.
"Ehhh,, Lo kenapa? Serem amat suara Lo," Sahut Adit yang rupanya sudah tiba di cafe dekat rumah.
Adit sudah disana sejak tadi, dan di hadapannya ada Devan yang sedang menikmati secangkir cappuccino hangat. Adit mengangkat kedua alis nya, menunjuk pada suara El.
"Kenapa dia?," Tanya Devan mensejajarkan tubuhnya. Adit bergidik tidak tahu.
"Ada apa?," Jelas El menghela nafas mulai meringankan nada suaranya.
"Gue udah di cafe sama Devan. Katanya hari ini ada agenda penting, kita tinggal nunggu Lo aja,"
" Sebentar lagi gue otw,"
"Okeyy, kita tunggu. On time,"
***********
10 Menit setelahnya El tiba dengan motor sport nya, mengenakan celana pendek dan kaos putih yang membentuk badannya. Outfit yang keren untuk sekelas anak kolongmerat.
"Nah, ini dia orang nya," Ucap Adit sumringah melihat kedatangan El disana.
El melangkah mendekatinya, dengan langkah berat, wajahnya terlihat tegang dan mata yang menyiratkan kemarahan yang dipendam rapat rapat. Tangannya terkepal di sisi tubuh, nafas nya agak berat, seolah berusaha menahan ledakan emosi yang ingin keluar.
Adit mulai memperhatikan nya , menangkap gelagat yang berbeda dari temannya itu. Ia mengamati dengan seksama, melihat bahu pria yang sedikit membungkuk dan rahang yang mengeras.
"Shutttt, El kenapa Lo?, muka Lo kayak habis mendem dendam mendalam," Tanya Adit, mencoba membuka ruang untuk berbicara. Walaupun ucapan nya sering diluar Nurul.
El menghela nafas panjang, menatap ke arah lain berusaha menenangkan diri. " Engga, gue gak papa," Ucap nya singkat, tetapi nada suaranya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang ada.
Adit mengangguk pelan, tapi dengan wajah tak percaya. " Masak? kok gue gak percaya, sedikit meragukan," ujar nya menyipitkan pandangan curiga.
"Udah, gak semua hal harus diutarakan. Mungkin sebagian lebih baik disimpan, Lo tinggal kontrol diri Lo , biar emosi gak kuasai Lo El," Sahut Devan memberi nasehat.
El mengangguk, menoleh ke arah Devan. Pandangannya berubah melembut, ucapan Devan sangat membantu keadaan El hari ini. Ia mulai memberikan senyum tipis di sudut bibir nya.
"Oke deh, kita langsung aja bahas agenda hari ini. Biar cepet kelar, habis itu kita eksekusi langsung," Ucap Adit bersemangat.
"Tumben, semangat banget ," Ceplos Devan meledek.
"Jelas, ini adalah pembahasan masa depan yang cerah. Harus semangat, jadi gimana?,"
Devan memajukan posisi duduk nya, sedikit membungkuk tetapi tetap cool dan keren. " Jadi kita bisa bangun beberapa bisnis yang menurut gue perkembangan nya lumayan pesat,"
"Tapi untuk bangun beberapa bisnis ini kita butuh modal yang lumayan besar, "
"Tunggu deh, bisnis apa?," Sahut Adit mulai serius.
" Kita bisa buka cafe seperti ini, cafe untuk tempat nongkrong atau sekedar have fun, atau keluarga, banyak anak seusia kita bahkan kalangan dewasa yang meminati tempat tempat seperti itu,"
"Atau kita bisa Inves modal ke beberapa toko besar, seperti toko roti, fashion dan lain lain, kalo Lo suka terjun langsung, Lo bisa ambil Inves aktif, tapi kalo Lo males Lo bisa ambil Inves pasif, gampang"
"Cuma untuk investasi kita perlu modal yang lebih besar, kalo cafe kita bisa buka yang standar namun unik dan menarik perhatian,"
"Untuk buka cafe kita perlu cari lokasi strategis, konsep, fasilitas cukup, market pasar dan riset, belum lagi ada banyak cafe tentu persaingan juga akan semakin banyak,"
"Banyak hal hal yang perlu dipertimbangkan, bukan sekadar modal. Jika investasi ada minus yang harus di perhatikan, modal awal, penurunan tren, atau pasar , resiko kehilangan sangat memberi impact," Sela Adit berbicara dengan penuh penghayatan.
Mendengar penjelasan mengenai hal ini, membuat Devan terheran heran, kedua alis nya mengkerut matanya penuh tatapan tak menyangka. Ia menoleh ke arah El, mengangkat kedua alis nya, dan memberikan kode sinyal mengenai Adit.
"Lo ngomong seolah Lo udah pernah berkecimpung di dalam nya, " Jelas Devan terheran heran.
"Hah?," Sahut Adit melongo.
Adit memalingkan wajahnya, menggaruk sedikit kepalanya yang tak gatal. Ia mulai meringis kecil sambil sesekali mengarah pada Devan, yang tatapannya tak pernah lepas darinya.
"Ahhh, cuma kebetulan aja otak gue lancar ,"
"Soalnya tadi gua search soal bisnis gitu, dan kebetulan sama , heheh," Sahut Adit cengengesan.
Devan menatap tajam, ia terdiam tapi tatapan tidak percaya begitu saja. " Engga, itu beda. Apa yang dia katakan tadi, jelas ia mengerti dan pernah mengalami nya,"
"Itu bukan hanya asal keluar dari pikirannya, cara dia menganalisa dan mengutarakannya. Seperti ada sisi berbeda dari dalam dirinya," Ucap hati Devan sedikit curiga.