Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarkan, kawan! - 18
...Keluarkan. ...
...Karena jika terus dipendam, ...
...Hatimu akan mati tanpa persetujuan. ...
***
Di tempat ramai, Rai selalu bisa melupakan ketakutannya tentang kehilangan. Jika sendirian, pikirannya selalu berkeliaran dan membuat dirinya semakin ketakutan.
Rai bersyukur ada Angkasa yang selalu banyak bicara. Ia jadi bisa menanggapinya walau itu hanya membisingkan telinga.
Di pasar minggu yang mereka kunjungi, sudah banyak orang yang sekedar berjalan-jalan. Juga anak-anak yang mengantri di tukang jajanan.
Banyaknya lalu lalang orang membuat mereka sedikit kesulitan untuk bergerak dengan bebas sekarang.
"Mau jajan apa?" Tanya Renata yang sepertinya ingin semua jajanan disini. Terlihat dari matanya yang selalu menatap stand makanan yang ia lewati sepanjang jalan.
"Pengen cimin ada gak, ya?"
Rai sedang merindukan rasa dari makanan di daerah rumahnya dulu.
"Cimin itu apa?" Tanya Renata yang baru mendengar nama makanan itu.
"Aci mini. Enak, tau! Kayak cilor sih rasanya. Tapi lebih enakan cimin, menurut aku."
"Aku suka cilor!" Ucap Renata dengan mata yang menunjukkan kecintaannya kepada makanan dari tepung kanji itu.
"Kamu harus coba cimin kalau gitu! Aku cariin."
Rai mulai menggerakan matanya dengan brutal. Bahkan wajahnya saja bergerak dengan asal. Tapi hebatnya, Rai bisa menemukan gerobak bertuliskan cimin dengan mudah.
"Itu! Ayok!"
Rai menarik tangan Renata agar segera ikut dengannya. Meninggalkan Rey dan Angkasa yang berjalan di belakang dengan santai.
"Pak, mau ciminnya lima ribu empat!" Pesan Rai yang langsung dibuatkan. Karena kondisinya yang tidak terlalu ramai.
Mereka menunggu di kursi yang sudah disediakan, sembari melihat sekitar yang semakin siang semakin ramai. Tapi untungnya tidak sampai berdesak-desakan.
Renata dari tadi terus melihat ke arah Kakaknya. Memastikan jika Rey selalu baik-baik saja, dan tidak mengalami sesak nafas.
Syukurnya, Rey terlihat baik-baik saja.
"Angkasa!" Panggil seseorang yang tiba-tiba ada di sekitar mereka.
Dan Angkasa berdecak kencang ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Orang ini...Padahal ia sedang lari darinya,
"Lo disuruh Ibu buat pulang. Jangan malah ngerepotin orang."
Dia Rindu, yang kebetulan sedang jalan-jalan juga di pasar minggu.
Angkasa berpura-pura untuk tidak mendengar. Tapi sialnya, Rindu terus berisik, membuat telinganya terusik.
"Lo diem bisa, gak?!"
Rindu tersenyum miring. "Kalau enggak, lo mau apa?"
Sungguh, Angkasa sangat benci dengan senyuman itu.
Rai yang mendengar perkataan Rindu ikut merasa kesal di tempatnya. "Kamu bisa bicara yang sopan gak sih kalau sama Kakak angkatan?"
Mendengar itu, Rindu memberikan tatapan tajamnya kepada Rai. "Lo gak diajak, diem aja!"
"Aku emang gak diajak. Tapi aku denger hal yang gak sopan disini. Masa aku diem aja?"
Angkasa yang merasa jika percakapan mereka hanya akan menjadi permasalahan, langsung mengambil tindakan.
"Lo pulang aja, sana! Ganggu banget."
"Ya lo juga pulang, lah! Itu Ibu udah nunggu lo di rumah."
Angkasa kembali mengeluarkan decakannya.
"Ya, nanti gue pulang. Udah cepet, sana!"
Angkasa mendorong pelan Rindu agar segera menjauh dari mereka. Ia ingin melupa tentang masalahnya di rumah, bahwa Rindu dan Ibunya adalah hal yang membuat hatinya terluka parah.
Melihat Rindu saja hati Angkasa selau menjerit menahan amarah yang selalu ia tahan. Apalagi ketika melihat tangis Sang Ibu yang luruh ketika mendengar Ayahnya kembali menikah.
"Heran aku sama anak itu. Bisa-bisanya kepilih jadi ketua OSIS." Ucap Rai yang menyadari jika Rindu minim adab.
"Dia emang kurang sopan. Tapi kerjanya cekatan."
Renata bukan bermaksud membela, tapi ia mengutarakan fakta. Karena pada nyatanya, Rindu memang selalu lihai jika ada tugas yang dibebankan padanya.
Rai mengangguk-anggukan kepalanya "Oh, jadi itu alasan dia kepilih? Karena cekatan."
"Eh bentaran. Tadi dia nyuruh kamu pulang, Sa? Tadi apa katanya, ya?" Rai memejam untuk mengingat perkataan Rindu barusan.
Astaga, bisa-bisanya ia jadi pelupa sekarang.
"Ibu! Iya, Ibu! Ibu kamu nunggu di rumah katanya." Ucap Rai begitu antusias ketika berhasil mengingatnya.
Sedangkan Angkasa tidak mau menanggapi. Ia terlalu malas untuk membahasnya. Lagi pun, sudah dibilang 'kan jika wanita paruh baya itu bukan Ibunya. Begitupun dengan Rindu, gadis itu bukan Adiknya. Dua orang itu hanya orang asing yang merusak keluarganya.
Dan Angkasa membenci mereka.
"Sa? You okay? Kamu ada masalah sama Ibumu, ya?" Tanya Rai yang khawatir ketika melihat wajah Angkasa berbeda dari biasanya, seperti sedang menyimpan beban yang tak bisa ia bagikan.
Angkasa tersenyum tipis. "It's okay. Gak ada apa-apa."
Tapi Rai bisa langsung tau jika Angkasa sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari wajahnya, juga nada bicara yang sarat akan luka. "Kalau mau cerita, cerita aja, ya! Aku siap dengerin walaupun nyita waktu sampai 24 jam, asal hati kamu lega."
"Masalah gue, biar gue aja yang nanggung semua."
Rai langsung menyilangkan kedua tangannya, merasa tak setuju dengan kalimat milik Angkasa. "No! Kadang masalah juga harus dibagi dengan cara bercerita. Mungkin gak menyelesaikan masalah secara langsung, tapi hati kamu pasti ngerasa baikkan. Atau kalau kamu gak mau cerita, nangis juga bisa. Percaya deh, hati kamu pasti jadi lebih lega."
Angkasa diam, mencoba mencerna apa yang Rai jelaskan. Karena menurutnya, bercerita kepada manusia tidak akan menemukan kata tenang yang sebenarnya.
Apa benar jika bercerita hati kita akan menjadi lega?
"Bumbunya apa, Dek?" Percakapan mereka dipotong oleh penjual cimin yang menanyakan pesanan mereka lebih detail.
"Kalian bumbunya mau apa?" Tanya Rai sembari melihat ke arah mereka semua.
Rey bangkit untuk melihat ada bumbu apa saja disana, diikuti yang lainnya.
Setelah pesanan mereka selesai semua, mereka kembali berjalan untuk menyusuri pasar minggu yang kini semakin ramai. Ditemani celotehan Angkasa yang tak pernah bosan untuk bersuara, juga pasang mata yang dari tadi memperhatikan mereka dari jauh, dengan tatapan yang tidak terbaca.
***
^^^24-Mei-2025^^^