Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menhadi Imam
“Kek…”
Kakek Doni menoleh, bingung melihat pria yang baru saja masuk ke halaman rumahnya dengan motor matic hitamnya.
“Ngapain lagi kamu ke sini?” tanya Kakek Doni dengan nada penuh selidik.
“Mau numpang makan malam di sini, Kek,” jawab Rian santai sambil memarkir motornya sembarangan dan naik ke teras.
“Ngapain makan di rumah orang? Makan di rumah kamu sendiri sana.”
“Ibu lagi pergi, Kek.”
“Kalo ibumu pergi, terus adik-adikmu kamu tinggalin gitu aja?” Kakek Doni mengangkat alis.
“Mereka udah pada gede, Kek. Aman. Nggak bakal kebakar rumahnya,” jawab Rian enteng.
Kakek Doni menghela nafas panjang, sangat panjang. “Bilang aja mau ketemu cucuku.”
Rian terkekeh kecil sambil menunjuk sang kakek. “Nah, itu baru Kakek ngerti.”
Mereka hendak masuk ke rumah ketika suara motor lain terdengar memasuki pekarangan. Rian langsung menoleh cepat, senyum lebarnya muncul seketika.
“Yang ditunggu-tunggu tiba…” gumamnya berbinar.
Kakek Doni menyipitkan mata, memandang sinis makhluk muda di sebelahnya yang terlihat seperti bocah kasmaran. Rian tidak peduli, matanya terpaku pada Jelita yang baru memarkir motor dengan rapi.
“Baru pulang, Mbak Jelita,” sapanya sok kalem ketika gadis itu naik ke teras.
“Udah jelas baru pulang, pakai nanya lagi,” sungut Kakek Doni.
Jelita hanya tersenyum kecil lalu menghampiri sang kakek. Ia menyalami tangan beliau dengan lembut. Ketika ia melewati Rian tanpa menyentuh tangannya, Rian berseru pura-pura tersinggung.
“Saya nggak sekalian disalami, Mbak?”
“Ndak perlu,” potong Kakek Doni cepat. “Nanti tangan kamu harus dicuci tujuh kali, satu kali pakai tanah kalau salaman sama dia.”
Kakek memukul pelan tangan Rian yang hendak terulur.
“Najis mughalladzah emang saya, Kek,” sungut Rian sambil memonyongkan bibir.
“Sudah! Katanya mau makan,” ucap Kakek Doni mengakhiri perdebatan tak bermutu itu. “Jelita, kamu masuk kamar dulu, mandi bersih-bersih. Habis itu keluar, kita shalat Maghrib berjamaah. Pengungsi ini mau numpang makan di rumah kita.”
Jelita mengernyit bingung mendengar kata pengungsi, tapi tidak membantah. Ia masuk ke kamarnya. Rian yang dipanggil begitu hanya bisa pasrah.
“Dipanggil apa juga bolehlah… yang penting bisa lihat Jelita cantik,” gumamnya sambil mengusap rambut.
Sambil menunggu, Rian duduk di mushala kecil rumah itu. Ia melepas kemeja yang dipakainya seharian dan hanya mengenakan kaos polos. Tak lama kemudian, terdengar suaranya membaca ayat kursi dengan merdu dan tenang. Suaranya memenuhi seluruh rumah, lembut namun tegas.
Jelita yang baru keluar dari kamarnya terhenti di depan pintu. Ia mendengarkan dalam diam, dadanya terasa hangat tanpa sebab yang jelas. Senyum kecil muncul tanpa ia sadari.
Kakek Doni yang berjalan dari dapur melihat cucunya berdiri terpaku.
“Kenapa? Kadar kegantengannya nambah kalau dia ngaji?” godanya.
Jelita seketika terlonjak, wajahnya langsung memanas. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.
“Yaaah… malu dia,” ucap Kakek Doni sambil terkekeh.
“Ke—Kakek…” protes Jelita lirih.
“Sudah, ayo. Waktunya sholat.”
*
*
*
Mereka berdua masuk ke mushola. Rian sudah berdiri di depan, menoleh sebentar memastikan.
“Kek… saya yang imam, ya?”
“Siapa lagi? Masa kamu datang mau numpang makan tapi nggak mau jadi imam?” balas Kakek Doni ketus.
Rian tersenyum kecil, lalu menghadap kiblat. Kedua tangan terangkat.
“Allahu Akbar.”
Jelita berdiri di shaf perempuan tepat di belakang tirai tipis. Suara Rian terdengar jelas, lantang, dan stabil. Bacaan surahnya mengalun lembut, penuh ketenangan. Entah mengapa, shalat berjamaah kali ini terasa sangat berbeda bagi Jelita.
Ada sesuatu yang merambat hangat di dadanya.
Suara itu…
Cara Rian memimpin…
Cara ia membaca ayat-ayat Allah…
Semua terasa menenangkan, seolah menyentuh bagian terdalam di dalam dirinya.
Dalam sujud terakhir, Jelita merasakan hatinya berdebar tanpa sebab. Ia menutup mata lebih lama, mencoba menyamakan nafas.
Kenapa rasanya seperti ini?
Kenapa suaranya menenangkan sekali…?
Ketika salam diakhiri, Jelita tetap menunduk. Berusaha menyembunyikan betapa hangat dadanya sekarang.
Rian mengusap wajah, berzikir sebentar. Tanpa sadar, ia tersenyum lega.
Baginya, bisa kembali mengimami Jelita… adalah bentuk kebahagiaan paling sederhana tapi paling berarti.
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁