Hanya karena bentuk fisik yang tak seindah wanita lain. Alice harus menelan pil pahit sebuah pengkhianatan suami.
"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!"
Penghinaan serta pengkhianatan yang Gavin lakukan pada Alice meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga membuat hati Alice membiru.
Mahkota yang seharusnya ia hadiahkan pada suaminya, justru menjadi malam petaka dan cinta satu malam yang Alice lakukan pada Bara, kakak iparnya sendiri.
Bagaimana malam petaka itu terjadi? Bagaimana Bara bisa menyentuh Alice saat suaminya saja jijik menyentuhnya? Lalu apa yang akan Alice lakukan untuk melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunga Peony, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Bentuk tanggung jawab
Langit yang gelap telah berganti dengan matahari yang terang yang bersinar di langit biru dengan hamparan awan putih yang bergerak beriringan. Begitu cerah dengan panasnya yang terasa di seluruh bagian bumi.
Cerahnya langit sangat berbeda dengan suasana hati Alice saat ini. Mendung berkabut. Semalaman wanita itu tidak memejamkan matanya sedetik pun. Ia juga melewatkan jam sarapan dan makan siangnya.
Ia duduk termenung di pinggir ranjang, memikirkan apa yang telah terjadi. Semua yang terjadi masih seperti sebuah mimpi untuknya.
Setelah ia resmi menyandang status baru. Janda, gairah hidupnya hilang seketika. Mendengarnya saja sudah membuat kupingnya sakit. Alice ingin kembali menangis, namun kantung air matanya seakan kering terkuras semalaman.
Mata sembab serta lingkaran hitam di bawah mata menjadi tanda jika ia sedang tak baik-baik saja saat ini. Belum lagi pertemuannya dengan wanita itu menambah rasa sakit hatinya. Gendut, adalah kalimat yang paling ia benci saat ini. Rasanya Alice ingin mengiris lemak-lemak yang ada di tubuhnya agar ia bisa berubah seketika.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamarnya terketuk dengan kuat. Alice menatap pintu dengan acuh. Tubuhnya seakan enggan untuk bergerak dari peraduan yang setiap malam terasa dingin.
"Alice! Buka pintunya, Nak! Kamu harus makan, hari sudah hampir sore. Nanti kamu sakit Alice, Mama mohon bukalah!" jerit Jelita khawatir dari balik pintu.
Sebuah nampan dengan piring keramik putih di atasnya. Berisi lengkap makanan empat sehat dan tak lupa buah serta obat sakit kepala untuk wanita itu. Jelita yakin saat ini Alice pasti membutuhkan obat tersebut.
"Alice, buka pintunya, Nak!" panggil Jelita kembali. Bara yang baru saja pulang kerja mendekati mamanya yang masih berdiri tegak di depan pintu adik iparnya. Lebih tepatnya mantan adik iparnya.
"Ada apa, Ma?"
Jelita menoleh dengan raut wajah sendu. "Alice, ia tidak keluar kamar sedari tadi. Ia belum makan apa pun sejak kemarin sore," jawabnya khawatir.
"Bara, kamu ajak Gavin bicara. Siapa tahu dengan kalian berdua bicara ia mau mendengarkanmu. Mama tak ingin mereka berpisah, Mama tidak mau Alice pergi dari rumah ini," adu Jelita dengan wajah suram pada putra sulungnya. Mengatakan apa yang ia takutkan.
Jelita sejak dulu menginginkan anak perempuan. Akan tetapi, ia yang tidak dapat memiliki anak lagi karena sesuatu hal. Mendapati Alice sebagai menantu membuat hati Jelita bahagia.
Alice yang baik dan ramah serta pintar menempatkan diri membuat Jelita semakin sayang padanya. Bagi Jelita Alice adalah wanita cantik di balik tubuh bulatnya.
"Mama tenang saja. Alice akan tetap di rumah ini. Ia tidak akan pergi ke mana-mana dan akan terus menjadi menantu baik untuk Mama," ujar Bara meyakinkan.
Bara mengetuk pintu dengan kuat. Tidak biasanya wanita itu mengurung diri seharian tanpa makan dan minum.
"Alice, buka pintunya! Pilih buka sendiri dengan baik-baik atau aku dobrak!" teriak pria itu kencang. Alice yang mendengar pun langsung bangkit dari duduknya, dengan langkah malas wanita itu mendekati pintu dan membukanya. Dari balik pintu yang ia buka tampak Jelita dan Bara berdiri.
"Ada apa, Ma?" ujarnya datar. Sedatar raut wajahnya kini. Bara sampai memicingkan matanya melihat wanita di hadapannya ini. Ia bahkan tidak dapat membaca apa yang dipikirkan wanita di hadapannya saat ini.
"Kamu belum makan dari kemarin, Nak. Ayo makan dulu!" jelita menyodorkan nampan yang ia bawa. Mata sayu itu menatap nampan, lalu meraihnya.
"Terima kasih, Ma. Nanti aku makan," jawab Alice singkat.
"Makan yang banyak, ya! Biar tambah pintar dan kuat! Setelah memberikan makanan tersebut, Jelita kembali ke bawah membiarkan Alice untuk menenangkan dirinya sejenak.
"Alice tunggu!" Bara yang masih berdiri pada tempatnya, langsung menahan lengan wanita berbaju tidur itu. Langkah kaki Alice terhenti dan berbalik.
"Ada apa? Apa ada yang tinggal?" tanya wanita berwajah bulat dengan rambut panjang lurus yang dicepol ke atas dengan asal itu.
"Aku ingin ngomong denganmu. Boleh aku masuk sebentar?"
Alis sebelah kanan wanita itu terangkat. Ia berpikir sejenak. Haruskah ia mengizinkan pria itu masuk? Apa yang ingin ia bicarakan?
Rasa penasaran mengalahkan Alice. Ia mengizinkan Bara masuk tanpa menutup pintu kamarnya. Bukan karena takut pria itu bertindak macam-macam padanya. Karena Alice tak sepercaya diri itu.
"Katakan apa yang ingin Kakak katakan!" ujarnya sambil meletakkan makanan itu ke atas meja kecil yang ada di depan sofa, tidak jauh dari ranjangnya.
"Ayo kita menikah? Aku akan mengantikan posisi Gavin. Aku akan bertanggung jawab padamu," ujar Bara. Sontak wanita itu menoleh, sesaat ia menatap Bara seperti orang bodoh. Namun sedetik kemudian wanita itu terkekeh.
Ucapan Bara seperti pertunjukan badut yang membuat perutnya terasa tergelitik. Apakah ini namanya tertawa di atas penderitaan sendiri?
"Lelucon Kakak sungguh bagus sekali. Aku sampai ingin memberikan Kakak penghargaan. Kategori menyenangkan hati wanita," ujar Alice. Tawanya terdengar begitu hambar.
"Aku sedang tidak bercanda Alice. Apa yang aku katakan sungguh-sungguh!" ucapnya begitu menyakinkan.
Alice tersenyum kecut. "Sungguh-sungguh?" tanya wanita itu lagi memastikan. Bara mengangguk. Setelah apa yang terjadi di antara mereka, ia merasa bertanggung jawab akan wanita itu.
Alice menatap pada kedua bola mata Bara, mencari sesuatu di sana dan tak menemukan apa pun kecuali rasa kasihan. Ya ... Bara melakukan semua itu hanya karena kasihan padanya.
"Seberapa besar kesungguhan itu? Apa kamu pikir aku adalah mainan yang sangat bagus di mainkan, huh! Saat adikmu merasa jijik dan menceraikanku, sekarang kamu datang justru untuk menikahiku. Apa kamu pikir aku akan percaya begitu saja?"
"Bukan seperti itu, aku tak berniat untuk membohongi ataupun menyakitimu. Tapi aku merasa terbebani dengan rasa bersalah ini."
Alice terkekeh mendengar akhir dari ucapan Bara. Terbebani? Alice tak menginginkan pernikahan atas landasan rasa kasihan dan rasa bersalah.
Jika mereka menikah, lalu apa bedanya pernikahan yang akan ia jalani dengan pernikahannya dengan Gavin yang kandas? Selama tak ada cinta, maka pernikahan itu akan tetap berakhir sama.
"Simpan rasa bersalah itu untuk dirimu sendiri, Kak! Jujur aku tidak mengerti dengan apa yang sedang Kak Bara katakan? Aku merasa Kak Bara tidak melakukan apa pun terhadapku."
Bara memicingkan mata. Ia merasa janggal dengan ucapan Alice padanya. Wanita itu sedang berpura-pura bodoh.
"Apa kamu sedang menghindariku Alice. Jangan bermain kata-kata padaku. Aku mengerti dengan jelas maksud dari ucapanmu!"
"Bagus kalau Kakak mengerti dengan apa yang aku maksud. Sekarang silakan Kakak keluar dari kamarku. Aku tak ingin diganggu, baik kamu ataupun Gavin. Aku tak membutuhkan kalian dalam hidupku!" balas Alice. Jari tangannya menunjuk ke arah pintu kamar yang terbuka.
Bara menghela napas berat. Sepertinya ia datang di waktu yang tak tepat. Wanita masih sedang emosi dan tak bisa berpikir jernih. Saat ini ia tidak bisa memaksa. Bukan hanya sekedar tanggung jawab yang membuat Bara memutuskan untuk menikahi Alice. Akan tetapi demi Jelita. Walau tidak berucap, Bara begitu yakin Jelitalah yang paling kecewa atas keputusan Gavin.
Jika Gavin dan Alice berpisah, otomatis wanita itu akan keluar dari rumah ini dengan sendirinya. Sedangkan mereka tak memiliki hak lagi untuk menahannya.