Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BUKAN SEKEDAR PACAR BOS
Hari Senin dimulai dengan briefing mingguan dari Arkan untuk tim inti. Ruang rapat dipenuhi oleh para kepala divisi dan beberapa staf pendukung. Febi, seperti biasa, duduk di sisi kanan Arkan untuk mencatat jalannya rapat.
Namun kali ini ada yang berbeda. Saat Arkan menyebut nama Febi dalam presentasinya, semua kepala divisi langsung menoleh.
“Saya minta Febi memimpin tim dokumentasi dan koordinasi untuk proyek klien baru minggu ini. Karena saya tahu, dia orang yang paling teliti di antara kita.”
Beberapa alis terangkat. Beberapa orang saling pandang.
Ibu Rini, sang sekretaris senior, hanya berdeham pelan.
Febi menunduk sopan. Ia tahu penunjukan itu bukan main-main. Tapi di belakang kepala, ia sudah bisa membayangkan omongan yang akan datang.
**
Dua hari berikutnya Febi bekerja lebih dari biasanya. Ia harus menghubungi vendor, menyiapkan proposal, dan ikut dua kali rapat eksternal. Ia bahkan sempat lupa makan siang karena terlalu fokus pada susunan laporan yang harus dikirim hari itu juga.
“Sayang …” panggil Arkan dari pintu ruangannya saat jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. “Kamu belum pulang?”
“Masih nunggu satu email final, Mas,” jawab Febi tanpa menoleh.
Arkan masuk ke ruangannya, duduk di seberang meja Febi.
“Kamu ngasih contoh buruk ke staf lain. Harusnya udah istirahat.”
Febi tertawa kecil. “Nggak apa-apa, aku anggap olahraga mata.”
“Ck. Ini olahraga hati juga kayaknya,” balas Arkan sambil meletakkan kotak makanan kecil di mejanya. “Aku bungkusin makanan.”
Febi menatap kotak itu. Tahu isi perutnya sudah demo dari tadi, ia tidak banyak protes. “Makasih, Mas…”
“Bukan karena aku pacar kamu ya,” ucap Arkan. “Tapi karena kamu memang kerja keras. Dan kamu pantas dapat apresiasi.”
**
Keesokan harinya…
Saat Febi turun ke kafe kantor untuk membeli kopi, ia melihat sosok yang sudah mulai familiar: Meta. Kali ini mengenakan blus satin dan celana putih. Duduk dengan santai, memainkan ponsel. Di meja ada dua gelas kopi dan satu boks makanan.
“Eh, Febi ya?” sapa Meta manis, membuat Febi sedikit kaget.
“Iya… Mbak Meta,” jawab Febi sopan.
“Panggil Meta aja. Nggak usah pakai embel-embel.”
Meta tersenyum. “Kebetulan aku lagi di sini. Kirim makanan buat Arkan. Dia bilang kamu yang biasa ngatur jadwal, ya?”
“Iya, ada yang bisa saya bantu?”
“Nggak, aku tunggu aja deh. Kali aja bisa ngobrol langsung. Atau… kamu bisa kasih ini ke dia?”
Febi menerima boks itu, meski dalam hati terasa tidak enak. Setelah menyampaikan ke Arkan, ia melihat pria itu hanya mengernyit.
“Kenapa dia datang terus ya?” gumam Arkan. “Padahal aku nggak pernah undang.”
Febi hanya mengangkat bahu.
“Kamu cemburu?” tanya Arkan tiba-tiba, matanya menyelidik.
“Nggak juga. Cuma... ngerasa sedikit aneh aja.”
Arkan tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya. “Cemburu itu tanda sayang. Tapi percaya itu bukti cinta. Dan aku percaya kamu. Sekarang giliran kamu percaya aku.”
**
Di akhir minggu, Febi berhasil mengoordinasikan tim dan menyelesaikan presentasi untuk klien. Saat meeting penutupan, kepala divisi marketing langsung memuji:
“Presentasinya rapi banget. Detail tapi tetap ringkas. Good job, Mbak Febi.”
Beberapa rekan kantor yang biasanya diam, ikut bertepuk tangan kecil.
Febi tersenyum. Bukan karena dipuji, tapi karena akhirnya orang mulai melihat dirinya dari kemampuannya, bukan hanya posisinya sebagai pacar sang bos.
**
Sore itu, saat langit mulai menguning, Febi dan Arkan duduk di rooftop kantor sambil minum teh.
“Lega?” tanya Arkan.
“Banget. Tapi juga… lebih tenang. Sekarang aku ngerasa lebih pantas berdiri di sini.”
Arkan meraih tangannya. “Kamu memang pantas, Sayang. Bahkan sebelum mereka sadar. Aku bangga banget sama kamu.”
Febi tersenyum. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, ia tidak hanya merasa sebagai ‘pacar bos’. Ia merasa dirinya sendiri.
Dan itu lebih dari cukup.
**
Hari itu, suasana kantor mulai sedikit lengang menjelang jam makan siang. Febi baru saja selesai mengecek ulang dokumen kontrak yang harus dikirimkan sore nanti. Saat ia hendak berdiri menuju ruang cetak, resepsionis muncul di balik pintu.
“Bu Febi… ada tamu. Tante Wulan.”
Langkah Febi langsung terasa berat. “Oh… baik, suruh masuk saja.”
Tak lama kemudian, Tante Wulan melangkah masuk. Seperti biasa, penampilannya anggun, rapi, dan penuh aura "kelas atas". Tapi tatapannya, seperti biasa juga tajam, dingin, dan menelanjangi.
“Kamu sedang sibuk?” tanya Tante Wulan, duduk tanpa dipersilakan.
“Sedikit, Bu. Tapi kalau ada yang bisa saya bantu—”
“Saya tidak datang untuk dibantu,” potongnya cepat. “Saya datang untuk bicara. Langsung. Tanpa basa-basi.”
Febi diam. Menanti.
“Kamu sudah berapa lama kerja di sini?”
“4 bulan Bu.”
“Dan kamu pacaran dengan Arkan sejak…?”
“Seminggu lebih bu”
“Saya tahu kamu terlihat... manis. Kalem. Tapi saya juga tahu permainan perempuan zaman sekarang. Tahu cara pasang wajah polos, lalu mencuri perhatian.”
“Saya tidak pernah berniat seperti itu, Bu.”
“Semua perempuan dari ‘kelas bawah’ bilang begitu,” ucap Tante Wulan lirih tapi tajam. “Saya tidak tahu kamu pakai cara apa tapi Arkan, keponakan saya, bukan untuk kamu. Kamu mengerti maksud saya?”
Suasana menjadi dingin. Febi hanya menjawab dengan suara yang rendah tapi mantap,
“Saya mengerti. Tapi yang saya tahu, Arkan memilih saya bukan karena latar belakang saya… tapi karena saya.”
Tante Wulan berdiri, menatap Febi seperti menilai lukisan murahan.
“Dan saya akan pastikan pilihan itu tidak bertahan lama.”
Tanpa menunggu jawaban, Tante Wulan melangkah keluar.
Febi berdiri diam. Nafasnya naik turun. Tapi ia tidak menangis.
**
Sorenya, Meta kembali muncul. Kali ini bukan ke kantor melainkan langsung menemui Arkan saat ia keluar dari gedung menuju mobil.
“Arkan!” sapa Meta ceria, menghampiri cepat.
“Meta?” Arkan terkejut.
“Aku kebetulan lewat. Bisa ngobrol sebentar?” tanyanya dengan nada memaksa.
Arkan ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk sopan. Mereka duduk sebentar di café kecil seberang kantor. Meta langsung mulai bicara panjang lebar tentang proyek sosialnya, prestasi adiknya yang baru lulus S2, dan... ibunya yang baru dapat undangan makan malam dari kedutaan.
“Aku dengar kamu pacaran sama sekretarismu ya?” tanya Meta, senyum tetap terpulas tapi suaranya mengandung tekanan.
“Ya,” jawab Arkan, tegas.
“Kamu serius?”
“Ya,” ulang Arkan. “Sangat.”
“Dia itu... siapa, Arkan? Maksudku, dia bukan siapa-siapa.”
“Dia orang yang aku pilih,” jawab Arkan datar. “Dan aku nggak butuh alasan dari orang lain untuk membenarkannya.”
Meta mendengus. “Pantas Tante Wulan sampai datang sendiri ke kantor. Aku kira kamu hanya main-main. Tapi ternyata… kamu serius dengan dia?”
Arkan berdiri. “Kalau kamu cuma datang untuk mempertanyakan itu, maaf, aku harus pergi.”
**
Beberapa hari kemudian, Arkan datang ke rumah Febi, membawa makanan kesukaan Bu Anita. Sudah tiga kali dia berkunjung, dan makin dekat dengan keluarga.
Di ruang tamu, Bu Anita menyambut hangat.
“Tante seneng kamu main ke rumah.”
“Saya senang juga bisa datang ke sini, Bu. Rasanya lebih tenang,” ucap Arkan sambil melirik Vania yang sedang membantu di dapur.
Di luar rumah, Tante Wulan berdiri di balik kemudi mobil hitam, memperhatikan dari kejauhan.
Dengan nada kesal, ia menggeram sendiri.
“Jangan pikir semua ini akan semudah itu, Febi.”