Niara yang sangat percaya dengan cinta dan kesetiaan kekasihnya Reino, sangat terkejut ketika mendapati kabar jika kekasihnya akan menikahi wanita lain. Kata putus yang selalu jadi ucapan Niara ketika keduanya bertengkar, menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Reino yang di paksa nikah, ternyata masih sangat mencintai Niara.
Sedangkan, Niara menerima lamaran seorang Pria yang sudah ia kenal sejak lama untuk melupakan Reino. Namun, sebuah tragedi terjadi ketika Reino datang ke acara pernikahan Niara. Reino menunjukkan beberapa video tak pantas saat menjalin hubungan bersama Niara di masa lalu. Bahkan, mengancam akan bunuh diri di tempat Pernikahan.
Akankah calon suami Niara masih mempertahankan pernikahan ini?
🍁jangan lupa like, coment, vote dan bintang 🌟🌟🌟🌟🌟 ya 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Kebahagiaan itu berubah seketika. Aku menutup ponselku dengan bantal. Kekhawatiran kembali datang. Namun, sedikit ada rasa lega. Ternyata Reino masih hidup dan baik-baik saja. Getaran dari ponselku terlihat. Aku mengintip dan melihat sudah 50 kali Reino menelpon. Tidak berhenti semenit pun. “Angkat, nggak, angkat, nggak,” gumamku yang terbelenggu dalam kebimbangan. Disisi lain penasaran, disini lain takut jika ketahuan oleh Ibunya Reino lagi dan menambah masalah.
BAB 18 ( Belum Siap )
Aku akhirnya mengangkat telepon itu.
“Niara,” aku mendengar suara Reino yang gelisah.
“Ada apa?” jawabku. Tanganku masih tak berhenti gemetar.
“Ah, aku merindukanmu,” ucap Reino. Aku diam tidak membalas perasaannya.
“bisakah kita bertemu, sebentar saja,” imbuhnya. Suaranya terdengar semakin lirih. Aku masih diam, tidak menyahut apapun. Aku merindukannya, tapi tidak sedalam dulu, sebelum dekat dengan Pak Ridwan.
“Aku ke kosmu, ya?” ucap Reino.
“Ja…jangan!” aku langsung tegas menolak. “hubungan kita sudah berakhir, aku tidak ingin membuat masalah dengan ibumu lagi,” imbuhku.
“Aku menyadari, jika ternyata aku tidak bisa hidup tanpamu.” ucap Reino, aku mendengar suaranya semakin berat. Aku langsung menutup telepon, Kemudian mematikan ponselku. Jantungku masih berdebar, semua perasaan sedih dan takut bercampur aduk menjadi satu.
Aku memejamkan mataku perlahan, mencari ketenangan. Memikirkan wajah Pak Ridwan terus menerus, agar mengalihkan pikiranku tentang Reino. Ternyata semudah itu aku bisa melupakan Reino, aku pikir aku cinta mati padanya. Namun, setelah menyadari ada orang lain yang mencintaiku selain Reino, aku mudah berpaling. Semua hanya masalah waktu untuk bisa melupakan seseorang.
Membayangkan kehadiran Pak Ridwan membantuku tidur lelap. Senyumannya, sentuhannya. Membuatku ingin merasakan di peluknya. ‘seharusnya tadi aku tidak mendorongnya ketika dia memelukku,’ gumamku.
Pagi menjelang, aku membuka mataku perlahan. Sinar matahari membias dari kaca jendela. Aku menggerakkan perlahan tubuhku. Menatap sekeliling sudut kamarku kosku.
“Hah, jam berapa ini!” aku mencari ponselku di bawah bantal. Menyalakannya, dan terkejut dengan 150 panggilan tak terjawab dari Reino semalam. Aku langsung memblokir nomornya, agar tidak menggangguku hari ini. “Kurang 15 menit lagi,” aku melihat jam digital di ponsel. “Mandi nggak ya, mandi nggak ya,” gumamku, mondar-mandir di depan kamar mandi. “padahal aku tadi malam mandi jam 1 pagi, masa iya mandi lagi,” aku yang biasanya hari Minggu bangun siang dan malas mandi, merasakan dilema ketika akan pergi dengan Pak Ridwan. “yaudahlah mandi lagi,” aku bergegas masuk kedalam mandi, hanya sikat gigi dan menyiram tubuhku 3 kali. Aku menyelesaikan mandiku dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Ponselku berdering, aku melihat nama Pak Ridwan di layar. Aku memakai kaos dan celana jeansku buru-buru. Lalu menyisir rambut, menyemprot tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan parfum.
“Hallo,” jawabku sambil mengikat tali sepatuku.
“Aku diluar,” sahut Pak Ridwan. Aku mengambil tasku, memasukkan ponsel, dompet dan lipstik. Kemudian, bergegas keluar dari kamar kos.
Aku melihat Chika keluar dari mobil, menatap ke arahku dengan wajah juteknya. “Maaf ya menunggu,” aku tersenyum ke arah Chika, mengusap kepalanya. Chika langsung merapikan rambutnya dan masuk kedalam mobil.
“Ponselmu dari tadi mati?” tanya Pak Ridwan. Aku hanya diam dan tersenyum. Aku belum berani mengatakan jika semalam Reino mencoba menghubungi terus menerus. Chika dan Nael duduk di kursi belakang, sedang aku duduk di samping Pak Ridwan. Aku menengok ke arah belakang dari kaca spion. Ternyata, ada satu mobil lagi.
“Oh iya, yang di belakang sopir sama baby sitter nya anak-anak,” ujar Pak Ridwan. Lalu, menyalakan mesin mobil.
Aku menoleh kebelakang, melihat Nael yang duduk dengan memakai sabuk pengaman, begitupun Chika. Keduanya sedang asyik melihat video anak-anak di ponsel. Pak Ridwan menyentuh tanganku, aku lekas memukulnya. Karena tak enak jika dilihat kedua anak-anaknya. Namun, Pak Ridwan mengabaikan peringatanku. Dia malah mencium telapak tangan kananku berulang kali. Aku melihat Chika cemberut dari kaca spion depan.
Mataku tak berhenti menatap keluar jendela, tidak ingin melewati pemandangan yang indah di sisi kanan dan kiri. Sesekali menengok kebelakang, melihat Nael yang tertidur lelap, sedang Chika mendengarkan earphone.
Tiba di pantai, Chika yang tak sabaran langsung keluar dari mobil. Berlarian kesana kemari. Sedang Nael menangis setelah bangun tidur, karena terkejut mendengar teriakan Chika. Kedua baby sitter juga keluar dari mobil, langsung mengangkat kedua anak Pak Ridwan.
Kami berjalan menyusuri Pantai. Cahaya matahari sangat terik. Membuatku kehilangan pandangan ke depan, karena lupa membawa kacamata. Pak Ridwan terus menggandeng tanganku, tidak membiarkan aku terlepas sedikitpun.
Melihat Chika berlarian di pantai, membuatku terngiang masa lalu saat liburan bersama ayah dan ibuku sebelum berpisah. Tawa yang mengembang, keceriaan yang tergambar dalam wajah Chika menggugah memory.
“Lusa kita tunangan,” ucap Pak Ridwan, aku yang setengah sadar melamun, menganggukkan kepala saja. Mataku masih tertuju ke arah kegembiraan Chika dan Nael.
“beneran kan, kamu setuju?” Pak Ridwan memastikannya, lalu merangkul pundakku.
“Apa?” tanyaku, sambil menyingkirkan tangannya.
“Lusa tunangan,” jawab Pak Ridwan.
“Hah,” aku terkejut, tidak menyangka akan secepat itu. “nggak nggak, aku nggak mau buru-buru,” imbuhku.
“Pokoknya lusa tunangan, aku udah siapin semuanya,” ucap Pak Ridwan.
“Siapin apa? nggak, nggak aku masih butuh waktu,” jawabku.
“Waktu apalagi?”
“Ya mengenal lebih dekat Chika dan Nael, terus keluargamu. Kamu pikir tidak butuh waktu,” gerutuku.
“Semua bisa sambil berjalan,”sanggah Pak Ridwan. “Nggak!” tegasku. “Bilang iya nggak, kalau nggak aku cium disini!” gertak Pak Ridwan. “Apaan sih, nggak jelas!” gerutuku, lalu pergi menghindar. Aku berlari mendekati Chika yang sedang membuat istana dari tanah. Aku mencoba mendekatkan diri dengan Elsa ratu es versi Chika. Karena dia masih selalu dingin ketika memandangku.
“Tante beneran mau nikah dengan papaku,” ujar Chika, yang membuka suara. Aku menatapnya sesaat, kemudian mengangguk.
“Kenapa harus papaku?” tanya Chika, suaranya lirih, sesenggukan, seakan menahan tangisan.
Aku mencoba menenangkannya, tangannya aku genggam perlahan. Ada sedikit rasa bimbang. Karena sepertinya Chika tidak menyetujui ku sebagai ibu sambungnya. Chika menarik tangannya, dan pergi berlari ke arah baby sitternya. Aku menyelesaikan istana yang belum sempurna, sambil memikirkan perasaan Chika.
“Makan dulu, yuk!” ujar Pak Ridwan, mendekat ke arahku. Aku masih diam, dengan mata basah, memendam kebimbanganku. “kenapa?” Pak Ridwan berjongkok dan menatapku. Aku segera mengelap air mataku yang hampir jatuh.
“Aku takut, Chika dan Nael tidak menerima kehadiranku,” ucapku.
“Kenapa masih dipikirkan, ayo makan! Nanti kita obrolin lagi,” Pak Ridwan menarik tanganku. “mau aku gendong?” Pak Ridwan menggodaku, aku langsung memukul punggungnya. “nanti kita bicara berdua sama Chika, udah jangan nangis.” imbuh Pak Ridwan, mengelap air mataku dengan ujung kaosnya. Aku langsung mendorong tubuhnya dengan kesal. Sedang dia malah tertawa, sambil terus menarik tanganku.
mana main!!!!
tarik atuh!
nanti giliran di tinggal istri baru sesak nafas.
Kau yang lebih terluka.
gak bisa diginiin:(
bunga for you nael
btw bikin Reno mati atuh Thor
Thor...bawa reoni kesini!!
gak bisa gak bisa!
apaan baru baca udah ada yang mati:>
ihh pengen cubit ginjal nya
thor cerita mu tak bisa d tebak.
kerenn bangeettt 👍👍👍