Bening awalnya hanya mengagumi Garda seperti seorang anak terhadap ayahnya sendiri. Tumbuh dalam keluarga yang kurang harmonis membuat Bening bermimpi memiliki ayah seperti Garda. Namun, seiring berjalan waktu, ternyata perasaannya terhadap Garda berubah menjadi ketertarikan yang tak masuk akal. Bagaimana bisa dia menginginkan dan menyukai ayah dari sahabatnya sendiri?
Ketika Bening ingin menyingkirkan perasaan gila itu mengingat usia mereka yang terpaut jauh, tiba-tiba suatu hari Garda membuat pernyataan yang membuat Bening bimbang. Sebuah ciuman melayang, mengantarkan Bening pada kelumit masalah antara menjadi gadis kesayangan Garda atau janji persahabatannya dengan putri pria itu.
#adultromance #agegap #cintabedausia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yourladysan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan
Meskipun Garda terlahir dari keluarga kaya, tetapi Bening tak punya niat untuk memanfaatkannya di tengah kehidupan yang amat susah. Namun, ia tahu, berurusan dengan pria dewasa sepertinya tak akan berjalan mudah. Sekarang pun begitu, Garda dengan senang hati membantunya menyewa kamar indekos. Padahal Bening sudah menolak.
"Saya pengen kamu aman dan nggak jauh dari pantauan saya. Karena saya ingin melindungi kamu, Bening. Kalau mereka macam-macam lagi padamu, saya nggak akan tinggal diam."
Itu yang dikatakan oleh Garda beberapa hari lalu. Tentu saja, 'mereka' yang dimaksud oleh pria itu adalah orang tua angkat Bening.
"Terima kasih udah anterin saya, Pak Ardo," kata Bening karena sopir Garda-lah yang membantunya memindahkan barang-barang.
"Bukan masalah, Non. Kalau gitu saya permisi dulu."
Ardo pun beranjak pergi dari tempat tersebut. Meninggalka Bening di kamar indekosnya yang baru. Cukup luas karena pilihan Garda langsung.
Bening menatap ke sekitar ruangan itu, andaikata bukan karena bantuan Garda, ia tak akan bisa menyewa penuh tempat tersebut. Haruskah Bening sedikit bersyukur?
"Aku nggak perlu pikirkan itu lagi. Lebih baik sekarang aku beres-beres, yang penting aku udah bisa keluar dari rumah ayah dan ibu." Bening menyingkirkan rasa dan pikiran tak nyaman dalam dirinya.
Maka hari itu ia memutuskan untuk mulai membersihkan ruangan dan menata barang-barang bawaannya. Ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama sampai Bening benar-benar kelelahan.
Selepas tempat itu rapi, Bening merebahkan tubuh di lantai dingin. Kipas angin mini terarah ke tubuhnya, berputar-putar ke kiri dan kanan. Sepasang mata gadis itu mengamati plafon putih, kembali terbayang wajah Nata. Ia tak bisa membayangkan betapa marahnya Nata nanti jika mengetahui hubungan Bening dan Garda.
"Ya Tuhan, apa sih yang aku pikirkan? Aku mencemaskan Nata, tapi di sisi lain aku menikmati kedekatan dan hubunganku dengan Om Garda," gumam Bening.
Ia bahkan tak mengerti dengan perasaannya sendiri.
Bening beranjak dari tempat, agaknya mandi akan membuat pikiran sedikit tenang. Omong-omong dia belum mencoba kamar mandi indekos barunya, jadi Bening langsung bergegas ke sana. Membasuh tubuh dengan air dingin adalah pilihan yang tepat.
*****
Selepas mandi, Bening mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Tubuh yang sempat terasa lengket, kini sudah segar kembali. Ternyata memang berbeda indekos mahal dan indekos yang dulu ia tempati dengan Baron dan Diana. Dulu ia bisa kehabisan air, menanti air kamar mandi bisa penuh lagi, dan akhirnya akan kepanasan selama beberapa menit atau bahkan bisa berjam-jam. Belum lagi harus gantian ke kamar mandi.
Lalu yang paling penting adalah tempat tidur. Dulu Bening harus rela tidur di lantai, menggelar karpet tipis sementara kedua orangnya tidur di ranjang. Kadang-kadang Baron tidak pulang, tidur di luar—entah di mana. Seringkali ibunya tidak pulang atau kedua orang tuanya tidak di indekos. Konon, mereka beralasan sibuk mencari uang.
"Makan apa, ya?" Bening mengecek persediaan makanan di kabinet kecil dapur.
Bagian dapur menyatu dengan area tempat tidur. Hanya saja dapur terletak pas di depan pintu masuk. Untung ada jendela sebagai akses keluar-masuk udara.
"Oh iya, aku kan cuma punya mi instan," gumam Bening.
Andai sekarang sedang di unit apartemen Garda, ia tak akan kesusahan mencari makanan. Bening mendadak kangen dengan pria itu.
Sebelum memasak mi instan, Bening melirik jendela. Hari sudah petang, gelap mulai samar-samar menghiasi langit ibu kota. Bening menghela napas, lalu kembali melanjutkan kegiatan di dapur. Namun, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Siapa?" gumam Bening. Mungkinkah tetangga?
Untuk mengusir rasa pensaran, Bening meletakkan kembali sebungkus mi instan dan bergegas ke arah pintu. Padahal ia merasa tak punya janji dengan siapa pun. Apalagi sampai harus datang ke indekos barunya.
Ah, ingatkan Bening kalau hanya Garda dan Nata yang mengetahui alamat tempat ini.
"Om Garda!" Bening sedikit berseru melihat siapa yang berdiri di depan pintu kamar indekos.
Tak mau ada yang memergoki, Bening menarik cepat pria itu untuk masuk ke kamar indekosnya. Untung saja CCTV di lorong sedang bermasalah—menurut pengakuan pemilik bangunan indekos. Namun, Bening harus hati-hati karena beberapa tetangga indekos bisa saja muncul.
"Kenapa Om nggak bilang-bilang kalau mau ke sini?" tanya Bening sedikit panik.
"Kejutan." Garda meletakkan barang bawaannya ke meja dapur. "Kamu belum makan malam? Saya sengaja ke sini setelah pekerjaan di kantor selesai. Saya selesaikan lebih cepat biar bisa makan malam bersama kamu. Apa kamu keberatan?"
"N-nggak, tapi aku agak kaget karena Om mendadak ...."
"Maaf, Ning," ucap Garda memutus perkataan Bening. "Lain kali saya akan mengabari dulu."
"Udahlah, lupain. Toh, Om kan udah di sini juga." Baru beberapa jam lalu Bening resah karena merasa bersalah pada Nata. Namun, sekarang ia senang karena Garda ada di sini.
Diam-diam ia merasa sedikit munafik.
"Aku belum makan malam. Tadi mau bikin mi," imbuh Bening.
"Jangan terlalu sering makan mi. Walaupun kamu tinggal di kos, tapi makan mi terus nggak baik untuk kesehatan kamu." Garda menarik bungkusan yang tadi dibawanya. "Nih, saya bawakan makanan."
Senyum lebar Bening merekah. "Terima kasih, Om."
"Apa pun untuk kamu, Sweetie." Jemari Garda mengelus lembut pipi kanan Bening. "Jangan ragu untuk meminta apa pun yang kamu mau."
"Om, aku nggak seperti itu."
Garda terkesiap. "Hei, bukan, saya nggak bilang kamu gadis seperti itu," katanya sembari menangkup kedua pipi Bening. "Saya cuma pengen memberikan apa yang kamu inginkan. Maafkan saya kalau pilihan kata-kata saya salah."
"Nggak, Om. Terima kasih karena Om udah bantuin aku. Biaya sewa tempat ini aja udah cukup buat aku, Om," kata Bening.
Pria berahang tegas itu menggeleng. "No, ini belum cukup, Sweetie." Ia memangkas jarak. Sehingga Bening bisa mencium aroma parfum Garda yang kian familiar. "Saya ingin memberikan segalanya untuk kamu."
"Om, a-aku ...."
Kalimat Bening tertahan saat Garda menariknya ke dalam pelukan. "Jangan menolak, Bening. Saya bisa sangat gila kalau saya jatuh cinta dan kamulah orang yang akan menghadapi kegilaan saya."
Pelukan Garda kian erat, Bening menerima dengan hangat. Ia tersenyum samar, menghirup aroma parfum Garda dalam-dalam. Selama ini ia hanya bisa membayangkan rasanya berada dalam pelukan pria itu, sekarang ia benar-benar merasakannya.
Bening baru hendak menjawab ucapan Garda, tetapi suara dering ponsel mengejutkan mereka. Pun ia melepas pelukan dan mengambil benda itu, nama Nata terlihat di layar. Sepasang mata Bening membelalak kaget dan pesan masuk terlihat di layar ponsel, dikirim sekitar dua menit lalu.
"Siapa?" tanya Garda.
"Nata ...." Bening mendekati Garda. "Katanya lima belas menit lagi dia sampai di sini, Om."