NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 33

Sore itu juga, angin dari arah barat membawa bau air sungai yang lembap dan tua. Langit cerah membentang di atas Desa Wonosari, dan rumah Ki Ratmoyo masih dilingkupi kesenyapan yang mencekam.

Lalu terdengar suara pintu kamar terbuka pelan. Asmarawati keluar. Dengan kaos tipis lengan panjang dan celana kain hitam yang sudah kusut. Wajahnya pucat, rambutnya awut-awutan belum disisir, seperti seseorang yang baru bangkit dari mimpi buruk yang tak usai-usai.

Ia tidak menoleh pada siapa pun. Tidak ke ibunya. Tidak ke ayahnya yang duduk di kursi rotan depan kamar. Langkahnya tenang, tapi bukan ketenangan yang damai—melainkan kosong. Seperti seseorang yang sudah tidak mengharapkan apa pun dari dunia.

Ki Ratmoyo langsung berdiri, terpaku. Beberapa detik ia hanya bisa menatap punggung putrinya yang berjalan menuju luar rumah. Lalu ia menyusul. Tanpa suara. Tanpa teguran.

"Asmara..."

Mulutnya mengucap lirih, nyaris tak terdengar—lebih seperti gumaman pada dirinya sendiri.

Asmarawati terus berjalan. Menyusuri jalanan tanah di belakang rumah, melewati batang-batang jagung yang sudah kering, dan menuju tanggul Kali Brantas—sungai besar yang jadi batas desa dan dunia percintaannya.

Sesekali Ki Ratmoyo mencoba mendekat. Tangannya hampir menyentuh bahu putrinya, namun terhenti di tengah jalan. Seolah ada tembok tak terlihat yang membatasi mereka. "Asmara, ayo bali...."

Namun gadis itu tetap diam. Langkahnya tak berubah. Tatapannya jauh. Ia berjalan seperti diseret oleh sesuatu yang tak kasat mata.

Sampai di tepi tanggul, ia berhenti. Menatap aliran air yang kecoklatan. Air itu berjalan pelan seperti waktu yang enggan bergerak.

Angin sore meniup ujung kausnya. Rambutnya berterbangan menutupi sebagian wajah. Ia berdiri di sana—sunyi, kukuh, sendiri.

Ki Ratmoyo berdiri beberapa meter di belakangnya. Matanya berkaca-kaca. Ingin bicara, tapi hatinya terlalu penuh oleh hal-hal yang tak pernah ia ucapkan. Penyesalan. Kasih sayang yang terlambat. Dan kesedihan seorang bapak yang tak tahu caranya merangkul anak perempuannya.

Ia bersimpuh di tanah. Tak kuat berdiri lebih lama. Kedua tangannya menutup wajahnya. Bahunya bergetar pelan.

Sore itu, yang terdengar hanya suara gemericik Brantas, dan dua napas luka—yang satu sunyi karena terlalu dalam mencintai,

yang lain diam karena tak tahu caranya mencintai.

Asmarawati masih berdiri mematung di tepi tanggul. Langit mulai meredup. Cahaya sore menipis pelan, menyisakan semburat oranye di ujung barat. Sungai Brantas mengalir perlahan di bawah sana—seolah ikut mengalirkan kenangan yang diam-diam menyelinap dari balik pikirannya.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu duduk perlahan di atas bngku bambu wulung, tempat dimana ia dan Wiji dahulu sering duduk berdua.

Tangannya menggenggam lutut, matanya menerawang. Dari balik kelopak matanya yang sembab, kenangan itu kembali—seperti gambar-gambar hidup dalam diam.

Ia teringat Wiji yang setia menjadi pendengarnya di tanggul itu.

Teringat juga saat Wiji diam-diam menunggunya di bawah teras rumah orang yang tak di kenal di depan balai desa tetangga, saat ia sedang pentas bersama ayahnya. Wiji hanya duduk sambil menunduk sampai ketiduran.

Kini semua itu terasa jauh. Seperti mimpi yang kabur saat fajar datang. Dan di sinilah ia, sendiri, tanpa Wiji—duduk di tepi sungai yang entah membawa perasaannya ke mana.

“Masihkah sampean ingat pada gadis yang sampean titipi janji. Ia masih menanti kehadiran sampean disini. Ketika matahari tak lagi menerangi. Bayang-bayang sampean masih kuteduhi." gumamnya lirih. Lalu ia tertawa pahit.

Air sungai terus mengalir. Membawa daun-daun kering, serpihan ranting, dan mungkin juga hatinya yang patah.

Di kejauhan, langit mulai menggelap. Tapi Asmarawati tak bergeming. Ia masih duduk, menyulam masa lalu dalam diam. Seakan menunggu waktu menjemputnya kembali pulang—atau mungkin, menunggu kenangan itu reda dengan sendirinya.

Sungai Brantas terus mengalir. Senja kian tenggelam, menyisakan cahaya yang memudar di permukaan air. Asmarawati duduk diam, matanya menatap kosong ke arah aliran sungai. Tapi di dalam kepalanya, suara-suara masa lalu saling bertubrukan—memanggil, menuntut, dan tak kunjung pergi.

Lalu tiba-tiba, ia berdiri. Tubuhnya limbung sejenak, tapi matanya membelalak.

“MAS WIJIIIIII...!!!”

Suara itu meledak dari kerongkongannya seperti petir yang membelah langit senja.

Ki Ratmoyo terperanjat. Ia berdiri tergopoh-gopoh dari tempatnya duduk, matanya melebar penuh panik.

“Asmara...! Nduk...!” panggilnya terbata.

Tapi putrinya tak mendengar.

“Kanmas... WIJIII...!!! Ning endi sampean, mas? Ojo tinggalke aku... OJO...!!!"

Tangisnya meledak. Ia menjerit, menghentak tanah dengan kakinya, menangis seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Namun tiba-tiba, tawanya pecah. Tawa yang nyaring, panjang, dan menakutkan—tawa yang lahir dari luka yang tak lagi bisa dibendung.

"Hihihihi, mas, mas Wiji. Kangmas Wiji, Siro kang aji-aji." Katanya sambil cekikikan.

Ki Ratmoyo melangkah ragu ke arahnya, tangannya gemetar. “Asmara... Eling nduk, ayo bali... ayo pulang, nduk...”

Tapi Asmarawati justru mulai menari. Kaki dan lengannya bergerak seperti wayang tanpa dalang. Tubuhnya meliuk dalam irama yang tak terdengar. Tangannya menjulur ke langit, ke udara, ke kenangan. Rambutnya terurai, kausnya basah oleh peluh dan air mata. Sambil menari, ia menyanyi. Suaranya serak, tapi masih indah. Sepotong tembang lama meluncur dari bibirnya:

"Apa garise urip kudu pisahan

Tresnaku lan tresnamu ra keturutan

Nyanding temahing bojo ra kelaksanan

Apa garise urip kudu pisahan.

Tangis dan tawa menyatu dalam satu tubuh.

Tubuh yang hancur pelan-pelan karena cinta yang dicegah, dirampas, dan dikhianati oleh waktu.

Ki Ratmoyo terdiam. Lututnya lemas. Ia jatuh berlutut di tanah. Matanya berkaca-kaca, napasnya tersengal. Di depan matanya sendiri, putrinya telah berubah menjadi karmanya sendiri—retak, kehilangan, dan tenggelam dalam luka yang ia toreh sendiri. Putrinya kini gila...

“Asmara.. Duh Gusti... nyuwun ngapura...” bisiknya lirih, seperti seorang dalang yang kehilangan lakon, dan harapan semata wayangnya kini runtuh akibat dari pokal gawenya sendiri.

Malam merangkak naik. Langit menggantung rendah tanpa bintang, seolah ikut menyaksikan kepedihan yang membusuk di bumi. Dan di tengah kegelapan itu, suara nyanyian lirih menggema—serak, sumbang, tapi penuh rasa.

Asmarawati berjalan mengelilingi desa Wonosari. Tubuhnya lunglai tapi tak henti bergerak. Rambutnya terurai, wajahnya basah oleh air mata yang sudah mengering di pipi. Ia bernyanyi sambil menari, berputar-putar di tengah jalan kampung yang sepi, seperti penari hantu dari kisah wayang yang lupa waktu. “Mas Wiji... mas Wiji... awake dewe ra bakal pisah... merga sampean ana kene... neng jero atiku..."

Suaranya parau, tapi cukup untuk menggetarkan hati siapa pun yang pernah merasakan kehilangan.

Anak-anak kecil mulai mengikutinya. Mereka berlari di belakangnya, menyoraki dan menertawakannya.

> “Mbak Asmara edan!.....Mbak Asmara gendheng... ora waras!” Tawa mereka melengking, membelah jalanan yang tadinya sunyi. Tapi Asmarawati tak menoleh. Ia terus menari, seolah tak mendengar apa pun selain suara di dalam hatinya.

Warga mulai keluar dari rumah. Sebagian hanya berdiri di serambi, sebagian mencoba menghentikan langkahnya, tapi tak ada yang benar-benar berani mendekat. Karena semua orang tahu: perempuan yang patah oleh cinta, tak bisa disembuhkan dengan kata-kata. Ia hanya bisa ditangisi diam-diam.

Asmarawati berhenti sejenak di simpang jalan. Ia mendongak ke langit, membuka kedua tangannya,

dan berteriak: “Mas Wiji... aku isih urip! Tapi kowe ninggal aku... Ninggal kabeh janji sing mbok wenehke neng aku!”

Lalu ia tertawa lagi. Tawa yang panjang, tajam, dan menusuk langit sore.

Orang-orang tua hanya bisa mengintip dari balik jendela. Tak ada yang berani keluar rumah. Semua tahu, putri Ki Ratmoyo telah kehilangan akalnya.

Di belakangnya, Ki Ratmoyo terus mengikuti.

Langkahnya tertatih, dadanya sesak oleh isak.

Tangisnya tumpah tanpa suara, seperti lelaki yang tak lagi mampu menebus kesalahan yang ia ciptakan sendiri. Ia memanggil-manggil nama putrinya, tapi hanya angin yang menjawab.

“Asmara... nduk... pulang, ayo, cukup... ampun...”

Namun Asmarawati terus berjalan. Kakinya membawanya ke arah barat desa, melewati balai kampung yang gelap, lalu mendekat ke rumah Mispan—rumah yang malam itu dipenuhi cahaya dan pelayat. Orang-orang berkumpul di sana. Lesehan di teras. Berpeci dan bersarung. Suara tahlil menggema, menggulung malam dalam kesedihan yang lain.

Wiji tidak tampak. Tapi kabar itu telah menyebar: Kaji Mispan telah meninggal dunia—tadi sore, dalam tidur panjang setelah seminggu sakit. Asmarawati berdiri di depan rumah itu. Menatap kerumunan tanpa ekspresi. Lalu... ia tertawa. Tawa yang panjang. Lirih. Menyusup ke celah langit yang pekat. Bukan tawa bahagia, bukan pula tawa lega. Melainkan tawa seseorang yang sudah tak tahu di mana batas antara kenyataan dan luka.

“Hahaha... piye... mati ya? Kapok kowe... Kowe sing mateni atiku dhisik, saiki bongko kowe... hahaha...”

Orang-orang menoleh, sebagian bergidik.

Salah satu pelayat berbisik, “Inggih bener, kuwi Asmarawati... anaké Ki Ratmoyo...”

Yang lain hanya menunduk, entah karena takut atau iba. Ki Ratmoyo terhenti di pinggir jalan.

Lututnya lemas. Ia menatap putrinya dari jauh—tubuh yang dulu ia gendong penuh cinta,

kini menari-nari di depan rumah kematian, diiringi tawa yang hampa.

Ia menangis. Terisak dalam diam. Bahu dan dadanya bergetar. Mulutnya hanya bisa menyebut satu nama:

“Asmarawati... nduk... pun cukuplah... Gusti, nyuwun tulung...”

Dan malam itu, Wonosari menyimpan dua jenis duka: satu duka yang dibungkus kafan dan doa, dan satu duka yang meracuni jiwa—berjalan keliling desa, menyanyikan cinta yang tak sempat sampai pada penghabisan.

*****

Tepat tengah malam. Wonosari telah sunyi, hanya suara jangkrik dan gemerisik daun yang sesekali mengusik keheningan. Namun di atas tanah kuburan yang baru, yang masih dipenuhi taburan bunga kenanga, seorang gadis muda menari-nari sambil tertawa keras.

Asmarawati. Tubuhnya berputar-putar di antara batu nisan. Kakinya menjejak tanah makam Kaji Mispan, tangannya terangkat ke langit, seolah mengundang bintang turun menemaninya. Suara burung kadasih berkicau, melengking lirih dari pohon-pohon semboja yang merunduk dingin.

Udara malam mengendap pekat. Aroma dupa yang masih membara di ujung nisan bercampur dengan wangi bunga kenanga dan melati yang mulai layu. Bau kematian dan cinta yang dikubur bercampur dalam satu napas nyanyiannya.

"Aja cilik atimu aku ngugemi

Sumpah prastya wingi tulus lan suci

Senadyan aku pisah ra bakal lali

Aja cilik atimu aku ngugemi."

“Hahaha… iki panggung-ku, mas! Iki pentas perayaan kanggo tresno sing ra oleh restu! Iki… hahaha… iki kuburané bapakmu sing mateni katresnane awake dewe!.. Saiki wes modar. Hihihihi.......”

Ia menari seperti wayang lepas kendali. Langkahnya lincah tapi tak berpola. Suaranya menggema di antara nisan-nisan tua, dan malam pun menggigil menyaksikannya. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Tapi ia terus bernyanyi dan menari. Seperti di rasuki nyawa-nyawa yang tak rela mati.

Di kejauhan, sosok Sundari dan Ratmoyo

Dengan lampu senter di tangan dan ia menyusuri jalan pemakaman yang lengang—sendiri, menyusul anak gadisnya yang hilang akal.

Sundari mendekat, langkahnya pelan. Matanya sembab. Wajahnya letih. Namun hatinya tetap digerakkan oleh satu-satunya kekuatan yang tersisa: cinta seorang ibu.

Saat ia tiba di bawah pohon semboja yang menaungi makam Mispan, ia melihat—putrinya sendiri, yang dulu ia suapi dengan penuh kasih, kini tertawa-tawa di atas pusara salah seorang yang dulu melarangnya mencintai cintanya.

Sundari tak bicara apa-apa. Ia hanya membuka kedua lengannya, berdiri diam, menunggu.

“Asmara…” suaranya pelan, tersedu-sedu.

“Asmara, nduk… wis wayahe bali. Panggungmu ora ning kene, nduk.....” Asmarawati berhenti menari. Ia kembali tertawa. Tertawa terpingkal-pingkal seperti anak kecil yang lupa caranya menangis. Tubuhnya limbung, mulutnya tetap menyanyikan bait-bait tembang campursari yang dipelintir-pelintir nadanya. Ia tidak lagi mengenali malam, tidak mengenali bumi tempat ia berpijak.

Ki Ratmoyo akhirnya mendekat. Dengan tangan gemetar, ia memeluk putrinya. Ia angkat tubuh itu—yang dulu kecil dan sering ia gendong sepulang dari pentas—sekarang kembali dalam pelukannya, tapi dengan jiwa yang remuk tak terbendung.

"Asmara… ayo, bali, nduk... ayo muleh," lirihnya dengan suara tercekat.

Asmarawati tertawa di pelukannya.

“Haha… Mas Wiji, mas Wiji… ayo joget bareng aku… ayo… ayo mas!”

Lalu ia menyanyi dengan suara sumbang, menggema di sepanjang jalan makam:

Nadyan aku wes edan, ra megat tresna

Tresnaku mung Mas Wiji, ra pingin liya

Bebarengan nggondeli, sumpah prasetya

Muga dadiya jodho.. ing sak-laminya..

Ki Ratmoyo menggendongnya melintasi pematang, jalanan tanah yang becek dan gelap. Kakinya tertatih, napasnya terengah, tapi ia terus berjalan. Tak peduli pada rasa malu. Tak peduli pada mata orang-orang. Yang ada hanya satu: ia ingin membawa anaknya pulang.

Di belakang mereka, Sundari berjalan sambil sesenggukan. Kerudungnya kusut, kakinya nyaris tersandung ilalang. Air matanya tak henti mengalir. Ia mengikuti suaminya dalam diam, sesekali memanggil nama putrinya di sela isaknya.

“Asmara… nduk… Gusti, kuatna atiku iki…”

Ia memegangi ujung baju suaminya, seolah itu satu-satunya pegangan agar tidak roboh bersama duka.

Dan malam itu, jalanan desa Wonosari menjadi saksi langkah-langkah rapuh:

seorang ayah yang menggendong luka bernyawa, dan seorang ibu yang menggiring air mata di bawah langit yang tak lagi bicara.

Sesampainya di rumah, suasana semakin hening. Lampu gantung di ruang depan menyala redup, bayang-bayang bergoyang di dinding retak. Ki Sanusi, yang sudah menunggu sejak beberapa jam lalu, langsung berdiri dari duduknya. Wajah sepuh itu muram, penuh keprihatinan.

Tanpa banyak tanya, ia segera menyuruh Ki Ratmoyo membawa Asmarawati ke kamarnya. Dengan langkah pelan, tubuh putri itu dibaringkan. Asmarawati masih tertawa—terpingkal-pingkal, matanya kosong, mulutnya terus menyanyikan tembang patah hati yang tak selesai-selesai.

Ki Sanusi duduk di sampingnya. Tangannya gemetar ketika menyentuh ubun-ubun cucunya. Ia pejamkan mata, dan mulutnya mulai komat-kamit. Sebuah mantra lirih mengalir, dibacakan dalam bahasa yang nyaris terlupakan. Mantra dari jalur kasepuhan, diturunkan dari leluhur desa.

“Ya Allah, ya Kang Maha Kuwasa... Semburna jiwa anakku si jabang bayine Asmarawati iki… Tugelen lelembut sing ngrogoti batine Padamkan laku sétan sing ndadekake edan…”

Tangan kirinya tetap menempel di ubun-ubun, sementara tangan kanannya bergerak pelan seperti mengusap angin. Aroma minyak cendana perlahan menguar dari asap dupa yang dibakar di sudut ruangan.

Namun Asmarawati tak menunjukkan tanda-tanda tenang. Ia justru tertawa semakin keras. Tawa yang menyerupai tangis, menyerupai jeritan, menyerupai rintih yang ditertawakan.

“Hahaha… wis telat, Mbah.. kabeh wes telat!

Mas Wiji... mas... sesuk awak dewe rabi ya, mas... hahaha...”

Ki Sanusi membuka mata. Tatapannya tajam, namun penuh iba. Ia menoleh pada Ki Ratmoyo dan Sundari yang duduk bersimpuh di sudut ruangan, tubuh mereka lunglai, mata basah tak berkedip.

“Bocah iki, wis kebacut gendhenge,” gumam Ki Sanusi lirih. “Anakmu ora mung lara batin, tapi wes kelangan jiwa sejatine."

Asmarawati. Gadis edan itu kini duduk bersila di kamarnya yang gulita. Dunia luar telah ia tutup,

tapi di dalam dirinya, langit-langit retak dan bayang-bayang kehancuran terus berdendang.

Ia terus bernyanyi dan menari, seperti gamang antara bumi dan langit, antara hidup yang patah dan akhirat yang belum rela menjemput. Matanya kosong memandang atap kusam, sementara bibirnya menyenandungkan satu nama yang tak henti-henti:

"Mas Wiji… mas Wiji…"

Di sudut ruangan, Ki Sanusi memejamkan mata kembali. Jari-jarinya gemetar, mantranya belum rampung. Asap dupa melingkar pelan seperti napas panjang dari leluhur yang letih. Namun malam itu, tanpa perlu dikatakan—semua tahu:

Yang luka bukan hanya Asmarawati. Tapi juga satu keluarganya, satu generasinya, dan satu zamannya…

Zaman yang tertatih dari cinta yang terlarang, dan dendam masa lalu yang tak pernah benar-benar di usadani. Hanya disembunyikan, disangkal, lalu diwariskan. Siapa yang bajingan? dan siapa yang korban?. Dunia tak pernah sudi untuk mendengar.

Sementara itu, Ki Ratmoyo hanya bisa terdiam. Tenggorokannya tercekat. Kata-kata tak lagi sanggup keluar dari mulutnya. Ia hanya berdiri mematung di pendhapa rumah, memandang langit malam yang kelam, seolah mencari petunjuk yang tak kunjung datang.

Dengan sisa harapan yang nyaris padam, ia memanggil Pak Lurah Sungkowo—orang yang selama ini ia hormati, ia banggakan, bahkan sering ia puji di pentas wayangannya dan di hadapan para warga. Seorang sahabat dalam tata desa, kawan lama dalam musyawarah malam-malam.

Tapi harapan itu runtuh seketika.

Pak Lurah justru menyalahkannya.

“Maaf, Ki. Tapi semua ini juga karena Sampean. Panjenengan terlalu memaksakan kehendak. Terlalu sibuk menjaga nama baik sampai lupa menjaga perasaan anak sendiri. Sampean pikir mereka cuma bagian dari pertunjukan? Sekarang lihatlah hasilnya... Mereka bukan wayang yang tipologis, yang bisa Sampean atur-atur sesuai keinginan. Mereka adalah makhluk psikologis yang punya perasaan.”

Suara Pak Lurah terdengar datar—tenang tapi menohok. Tidak ada kemarahan, tapi juga tak ada pelipur.

Ratmoyo terdiam. Kata-kata itu menghantam tepat di rongga dadanya. Tak bisa membela diri, tak tahu harus menyangkal dari sisi mana.

Dalam hatinya ia ingin berseru: “Aku hanya ingin yang terbaik.” Tapi segera ia sadar—apa arti “terbaik” jika pada akhirnya justru menghancurkan semua yang ia cintai?

Dan yang lebih menyesakkan: bahkan Pak Lurah pun kini seolah menarik diri, berdiri di seberang.

Ia merasa ditinggalkan. Tidak hanya oleh anaknya. Tapi juga oleh sahabatnya. Oleh kepercayaan yang dulu ia rawat dengan seluruh wibawa. Oleh dunia yang tiba-tiba berubah, tak bisa lagi ia kendalikan.

Langit malam tetap hitam. Dan angin hanya lewat, dingin—tanpa membawa pesan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang panjang, Ki Ratmoyo merasa benar-benar sendiri.

Kini, anaknya—Asmarawati—terus menari dan menyanyi tanpa henti, dengan tawa yang tak bisa dijelaskan logika. Malam menjadi saksi bagaimana cinta yang dipenjara oleh restu dan harga diri berubah menjadi kegilaan.

Ratmoyo terduduk di tangga pendhapa. Bahunya turun. Punggungnya membungkuk. Ia tampak seperti orang tua yang mendadak menjadi kecil di hadapan dosa-dosa masa lalu.

Langit Wonosari malam itu begitu gelap.

Dan tidak ada siapa pun yang bisa menyembunyikan air mata seorang ayah yang baru sadar: ia sendiri yang mendorong anaknya ke jurang itu.

********

Keesokan harinya matahari berdiri tegak di atas langit Wonosari. Udara terasa lengket, dan debu beterbangan setiap kali motor melintas. Warung angkringan Yu Kastun tetap ramai, meski tak ada yang benar-benar lapar—kecuali mulut-mulut yang haus gosip.

"Sudah kuduga, anak itu bakal gila. Karma itu memang sabar, tapi pasti datang."

Ia tertawa kecil,

"Waktu masih waras, semua orang mengaguminya. Sekarang? Bahkan anak kecil pun menyorakinya."

Aroma tempe goreng dan sate usus bercampur dengan bau panas dari seng yang memuai. Marjoko duduk santai di bangku panjang, menggoyang kipas lidi di tangan. Sementara Yu Kastun sibuk membungkus nasi dan melayani pembeli satu-satu.

“Desa ini sudah jadi panggung,” kata Marjoko, terkekeh. “Kalau Asmarawati nyinden setiap waktu, ya penontonnya kita semua, warga kampung.”

Yu Kastun mendelik, tapi tak membantah. “Memang. Satu kampung geger. Hari ini saja, lihat… anak-anak kecil sudah hafal lagunya Asmara. ‘Mas Wiji… mas Wiji…’ Sekarang malah jadi bahan mainan.”

Tawa kecil terdengar. Tapi tidak semua ikut tertawa.

Di sudut warung, duduk Nasirun, Kopyah lusuh di kepalanya, rokok lintingan di menyelip di bibirnya. Kopi hitam di depannya sudah dingin. Ia hanya menatap jalan kampung yang mulai sepi. “Orang kampung ini cepat melupakan, tapi lambat memaafkan,” gumamnya pelan. “Yang salah dibiarkan. Tapi yang gila… dijadikan tontonan.”

Nasirun menghela napas panjang. Matanya menatap langit siang yang putih dan hampa. “Aku tahu, orang yang dianggap gila itu bukan kalah. Tapi dia tak tahan melihat dunia yang lebih gila dari pikirannya sendiri. Asmarawati itu bukan sinden yang edan. Dia hanya anak muda yang ingin bicara… tapi tak ada yang mau mendengar.”

Suasana warung mendadak hening. Hanya suara gorengan yang terus mendesis di minyak panas.

“Kalian semua sibuk menggoreng cerita,” lanjut Nasirun, lirih, “tapi lupa… luka tak bisa dibersihkan hanya dengan berceramah. Katresnan yang dibunuh akan menjelma kutukan—kutukan yang tak bekerja seketika, tak menghukum secepat mungkin... hanya diam-diam mengendap, ia terus menari dalam iringan tangis.”

Tak ada yang membalas. Karena dalam hati, mereka tahu… yang tua itu benar. Dan diam-diam, semua sedang memikirkan satu hal: bisa jadi, yang gila bukan Asmarawati—tapi kita semua yang menyebabkan dan membiarkannya jadi begitu.

"Midera sak jagad raya... Kalingana wukir lan samodra..... Nora ilang memanise, adhuh.... Dadi ati selawase....."

Sayup-sayup mendayu-dayu. Nasirun bersenandung, mengusir kegelisahan dalam hatinya. Suara minyak yang mendesis tadi perlahan padam. Tak ada yang bicara, hanya lagu itu, menggantung di udara seperti kabut yang enggan pergi.

"Nalika nira ing dalu, atiku..... Lam-lamen sira wong ayu...... Nganti mati ora bakal lali...... Lha kae lintange mlaku....."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!