Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
•
Karina tidak menyadari ada sesuatu yang salah hari itu sampai matahari sudah tenggelam dan malam sudah tiba.
Karina baru saja mengganti pakaiannya dengan gaun malam panjang tanpa lengan berwarna ungu muda, yang dilapisi dengan kimono tipis berwarna sama. Rambutnya masih basah setelah mandi. Dengan handuk wajah yang masih melingkar di lehernya, Karina berjalan menuju balkon kamar, di mana ia melihat Steve sedang duduk sambil menikmati sebotol wine. Karina menyadari ada satu gelas lain di meja balkon, yang Karina artikan sebagai ajakan untuknya ikut bergabung di sana.
Steve dan Karina duduk cukup lama di sana tanpa membicarakan apa pun, hanya diam sambil menikmati wine dari gelas mereka masing-masing. Sambil menyandarkan punggungnya dengan santai pada sandaran kursi, Karina memperhatikan Steve yang sedang menuangkan wine ke dalam gelasnya. Tatapan Karina berfokus pada jari-jari Steve ketika ia melihat cincin yang ada di jari Steve memantulkan cahaya berwarna oranye dari lampu yang ada pada dinding balkon. Dan ketika Karina mengulurkan tangannya untuk meraih gelasnya yang ada di atas meja, saat itu lah ia menyadari bahwa cincin yang sama tidak terlihat melingkar di jarinya.
Tubuhnya seketika menegak. Karina menatap tangan kirinya dengan mata yang sedikit melebar. Otaknya seketika berputar keras, berpikir kemana perginya Etincelle de Cartier yang seharusnya ada di jari manis tangan kirinya. Matanya berkedip beberapa kali, dan dengan alis yang berkerut Karina menarik kembali tangannya dan menatap jari-jarinya dengan lebih seksama. Mungkin saja dirinya hanya salah lihat karena terlalu kelelahan. Karina berharap begitu dirinya melihat lebih dekat, ia akan menemukan bahwa cincin itu ternyata masih melingkar di jarinya.
Tapi setelah ia menatap agak lama, Karina sama sekali tidak melihat cincin itu di jarinya.
Karina merasakan kepanikan menjalan ke seluruh tubuhnya. Ia mengalihkan pandangannya pada Steve, dan pria itu sepertinya sama sekali tidak menyadari perubahan sikap Karina, tampak sibuk menatap ke arah halaman rumah sambil menyesap wine-nya.
Di sisi lain, Karina sibuk menenangkan dirinya. Ia memberitahu dirinya bahwa ini bukan masalah besar, dan ia tidak perlu panik. Mereka bisa membeli cincin yang baru kalau memang ia tidak bisa menemukannya nanti.
Karina menarik napas pelan sambil menutup matanya.
Tidak bisa!
Karina membuka matanya. Ia harus menemukan cincin itu. Selama ini, Steve selalu mengomelinya ketika ia lupa memakai cincin itu, membuat Karina selalu berusaha keras untuk tidak melepas cincin itu dari jarinya jika tidak perlu, ia ingin membuktikan pada Steve bahwa dirinya tidak pelupa.
Dan sekarang, tidak adanya cincin itu di jarinya hanya menjadi bukti bahwa ucapan Steve adalah benar, dan Karina tidak menyukainya. Karina juga tidak senang dengan fakta bahwa sebuah cincin berlian platinum sehara delapan ribu dollar bisa hilang begitu saja dari genggamannya. Tidak peduli seberapa kaya dirinya, delapan ribu dollar tetaplah uang yang banyak.
Karina menarik napas panjang, lalu berdiri dan berjalan kembali ke dalam kamar. Ia tidak mendengar Steve yang mengeluarkan suara kaget saat dirinya menutup pintu balkon dengan kuat.
Karina langsung memulai pencariannya di dalam kamar. Ia mencari di berbagai tempat, di dalam kamar mandi, meja nakas di samping tempat tidur, dan ia bahkan mencari ke dalam ruang ganti dan di setiap lemari dan meja yang ada di sana. Sama sekali tidak menemukan cincin itu di dalam kamar, Karina langsung beranjak keluar dan mencari di meja dan sofa ruang tamu. Ia juga mencari di dapur, namun tetap tidak menemukannya.
Karian berdiri diam, berusaha mengingat di mana kira-kira ia melepaskan cincin itu. Setelah berpikir beberapa saat, Karina sangat yakin dirinya tidak pernah melepasnya hari ini. Ia juga sama sekali tidak keluar rumah. Ia bahkan tidak melakukan banyak hal hari ini, selain–
Oh!
Karina langsung melesat ke halaman belakang mansion, menuju ke kolam renang yang ada di sana.
Karina berdiri di tepian kolam renang, berusaha untuk melihat ke dalam air kolam yang tenang. Namun dengan minimnya cahaya, ia hampir tidak bisa melihat apa pun dari atas. Sambil mendecak pelan, Karina melepas kimononya, melemparnya sembarangan ke belakangnya dan langsung melompat masuk ke dalam air.
Suara ceburan air pun membelah keheningan malam. Karina seharusnya berhati-hati agar tidak membangunkan ibu mereka, namun ia tidak terlalu peduli saat ini. Tidak ketika ia baru saja kehilangan cincin kawinnya hanya enam bulan setelah menikah.
Di tengah gelapnya malam, hamparan halaman belakang mansion hanya di terangi oleh beberapa lampu taman yang berjejer di jalan setapak. Lampu-lampu LED yang berjajar di dasar kolam bersinar cukup redup dan tidak banyak membantu penglihatannya di dalam air. Karina nyaris tidak bisa melihat apa pun. Namun ia terus berenang, menyelam ke dasar kolam dan meraba-raba di sana. Ia berharap tangannya akan menyentuh sesuatu di dasar kolam, atau matanya akan menangkap kilauan cahaya di sana. Apa saja.
Setelah menyelam selama beberapa menit, Karina kembali muncul ke permukaan sambil menarik napas dalam-dalam. Kepalanya sedikit pusing karena kekurangan oksigen, telinganya terasa sedikit berdengung, dan matanya terasa cukup perih karena terus berusaha membuka mata di dalam air.
Samar-samar, Karina mendengar satu suara yang bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan?” yang diikuti dengan suara langkah kaki yang mendekat.
Suara itu tidak asing di telinga Karina. Karina langsung menyibak rambut yang menutupi wajah dan mengusap wajahnya. Karina mendongakkan kepala dan tatapannya bertemu dengan Steve yang berdiri dengan tangan bersedekap. Karina mendengus pelan lalu berenang ke arah Steve yang kini sudah berjongkok, menatapnya bingung. “Kenapa kamu berenang malam-malam sambil memakai baju tidur? Apakah ini adalah hobimu secara diam-diam?”
Karina menatap Steve dengan tatapan yang sangat tajam. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin Steve sudah tergeletak di lantai dengan bersimbah darah saat ini. Karina mendengus kuat sebelum mengeluarkan tangan kirinya dari dalam air, mengulurkan dan menunjukkan punggung tangannya pada Steve.
Awalnya, Steve terlihat bingung mengapa Karina menunjukkan tangannya seperti itu. Tapi kemudian Karina bersuara, “Aku kehilangan cincin kawinku.”
Wajah Steve berubah dari bingung menjadi terkejut, dan sedetik kemudian ekspresinya berubah menjadi kesal. Steve menatap Karina dengan tatapan yang tajam. Karina tahu Steve pasti merasa sangat kesal padanya. Ia pun merasa kesal pada dirinya sendiri. “Simpan omelan mu untuk nanti, dan jangan menatapku seperti itu!”
“Apakah kamu tidak melepasnya sebelum berenang tadi siang?” Steve bertanya dengan suara yang tegas. Dia memijat-mijat keningnya, terlihat seperti seorang ayah yang sedang stress melihat anaknya membuat masalah.
“Tidak, aku lupa.” jawab Karina sambil memasang wajah cemberut. Ia merasa sangat bodoh karena tidak kepikiran untuk melakukannya sebelum ikut berenang. Tapi ia merasa dirinya tidak sepenuhnya salah, ia hampir tidak pernah berenang, jadi bukankah wajar jika ia lupa harus melepas cincinnya sebelum masuk ke kolam?
Steve mendecakkan lidahnya dengan kesal, masih menatapnya dengan ekspresi kesal yang sama. Dia kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Karina. “Bangunlah, aku akan meminta pelayan untuk mencarinya besok pagi.”
Karina menatap tangan Steve yang terulur ke arahnya. Masuk akal, kenapa tadi ia tidak kepikiran meminta tolong pada pelayan untuk mencari cincinnya. Namun, melihat keadaan dirinya yang sudah terlanjur basah kuyup, Karina pikir lebih baik ia mencoba untuk mencari lebih lama lagi. Ia dibesarkan untuk menjadi orang yang pantang menyerah. “Tidak, aku sudah terlanjut basah seperti ini, jadi aku akan coba mencari lebih lama lagi. Kamu tidur saja duluan.”
Tanpa menunggu respon dari Steve, Karina langsung berbalik dan kembali menyelam masuk ke dasar air. Ia akan terus mencoba selama yang ia bisa, sampai jari-jarinya berkerut, atau bahkan sampai perutnya kembung karena terlalu banyak menelan air kolam. Ia bertekad untuk tidak keluar dari kolam ini sampai cincin itu kembali melingkar di jarinya.
Apa yang tidak Karina sangka adalah suara ceburan lain yang kembali memecah keheningan malam. Di dalam kolam, Karina melihat siluet lain yang bergabung bersamanya di dasar kolam. Awalnya, Karina melihat lengan biru muda dari baju tidur sutranya, kemudian tangan panjang yang familiar dengan cincin yang melingkar di jarinya. Kemudian, ia melihat wajahnya.
Bahkan dengan pencahayaan yang buruk di dalam kolam, Karina bisa melihat wajah Steve cukup jelas. Steve memberikannya tatapan kesal sebelum berenang ke arah yang berlawanan, mencari ke tempat lain.
Tadinya, Karina yakin Steve akan langsung kembali ke kamar dan naik ke kasur untuk tidur. Ia tidak menyangka Steve akan ikut masuk ke dalam kolam bersamanya di malam yang sudah semakin larut ini, di mana air kolam sudah tidak sehangat di siang hari, dan angin malam yang dingin berhembus menusuk kulit. Walaupun Steve sepertinya membantu karena terpaksa, hal ini tetap membuat satu senyum lebar mengembang di wajah Karina.
•
•
aku mampir nih thor... semangat ya!
😭